• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rekomendasi

Jangan Pulang, Ketika “Kamu” Mengaku Perempuan

Jangan pulang kalau kamu perempuan. Pergilah sejauh mungkin dan kembali apabila kamu telah memiliki kekuatan dan pembuktian untuk mematahkan opini itu

Miri Pariyas Miri Pariyas
13/03/2022
in Rekomendasi, Sastra
0
Film Penyalin Cahaya

Perempuan

266
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menjadi perempuan tak selamanya indah layaknya dongeng di berbagai siaran televisi. Ihwal, selalu berakhir kebahagian padahal tak semua begitu. Barang kali strata sosial kadang kala menjadi kunci kebahagaian tersebut. Itulah yang terjadi  pada Amelia Imanda.

Ia adalah seorang perempuan yang berumur sekitar 23 tahun. Ia memiliki kepribadian yang amat mandiri. Tentu saja, begitu! Sebab, sejak berumur 10 tahun orang tuanya memilih untuk bercerai. Sejak itu, ia hanya memilih untuk tinggal bersama neneknya. Baginya apabila tinggal bersama kedua orang tuanya hanya meninggalkan kesedihan yang tak pernah usai.

“Sejak itu aku memang tidak lagi mengharapkan apapun dari keluargaku. Bahkan sejak itu, aku tak mengenal begitu detail seorang yang dulu ku sayang dan ku panggil “ayah” itu. Ia memilih meninggalkanku, adikku yang berumur 3 tahun, serta ibu yang ku lihat setiap harinya hanya menangis untuk menunggu kedatangan ayah. Ia memilih perempuan itu yang dia anggap lebih baik dari pada ibu. Ah, sial mengapa aku menangis?” singkat cerita Amelia itu.

Dia menceritakan semua yang terjadi pada ku. Aku tak bisa menimpali apapun. Aku hanya terdiam dan mengelus bahunya agar hatinya tetap kuat. Ia melanjutkan kembali ceritanya

“Sebenarnya, aku takut untuk pulang ke Kampung dengan usaiku yang tak lagi muda. Sedangkan, adikku mengharapkan kepulanganku,”

Baca Juga:

Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

Meruntuhkan Mitos Kodrat Perempuan

Kebingungan itu amat nampak di wajahnya. Ia yang Aku tahu, Amelia sudah lama kehilangan cinta, kasih sayang, bahkan impiannya. Sedangkan, apabila pulang, belum tentu mendapat keinginan yang lama yang telah hilang di dalam dirinya.

Namun, bulat tekadnya untuk menemani adiknya yang lama telah berpisah.

Sesampainya, di kampung yang masih asri itu. Ia jumpai rumah yang berwarna merah bata yang arsiteknya seperti rumah tempo dulu. Tentu, rumah itu adalah peninggalan si kakek yang sudah tiga tahun meninggalkannya.

“Mbakkkkkkkk!!!!!!!!” suara yang tidak terdengar asing dan selalu merindu apabila mendengar suara itu. Tentu suara itu tidak lain dan tidak bukan suara “adik Anggun” yang berumur 10 tahun lebih muda dibanding Amelia.

Amelia memeluk adiknya untuk melepas semua kerinduan yang begitu mendalam. Seperti kata pepatah orang, hutang yang tak pernah bisa terbalas di tiap waktu adalah kerinduan. Terobati hanya dengan bersua dengan orang yang dirindu.

“Akhirnya, mbak pulang aku sangat rindu,”

Dibalik kaca yang berwarna hitam, ternyata terdapat perempuan rentan juga menunggu Amelia. Wajahnya ingin menitipkan pesan begitu banyak, namun iya tak kuasa dan amat rapuh. Ia meneteskan air mata, dan Amelia mengambil tangan sebagai penghormatan sebagaimana tradisi orang terdahulu.

“Kamu sudah sampai,” dengan suara yang begitu lirih dan mata yang terlihat memerah, ia mengelus kepala Amelia. Pesan orang dulu jika orang tua mengelus kepala si anak, katanya ada pesan, nasehat, ataupun kerinduan yang ingin dipesankan, namun hanya dapat dikomunikasikan dengan gerak gerik tubuhnya.

“Lekaslah merapikan pakaian, setelah itu makan agar tubuh tak kelelahan,” tambahannya pula.

Ah sial, rumah ini memang peninggalan kakek, tapi ada sejarah yang begitu mendalam tentang Amelia dan keluarga kecilnya. Tak sadar air matanya keluar di peluk matanya. Ternyata pepatah kenangan kuburlah sedalam-dalam itu hanya ilusi.

Kenangan itu memang tak pernah dapat dilupakan walaupun sekuat tenaga melupakan hal itu. Barangkali, kita dapat belajar dari sebuah kata yang bernama “iklas”. Setidaknya mengubah kenangan menjadi sebuah pembelajaran. Bukankah, pengalaman adalah guru yang terbaik untuk kita?

Tradisi ketika sampai di rumah dari perantau, wajiblah bersalaman kepada tetangga dan sanak famili, sebagai kabar bahwa yang telah datang dari perantauan, selain itu sebagai wujud memperkuat silaturahmi.

Setelah, membaringkan tubuh yang amat letih, Amelia bergegas bersiap untuk melakukan tradisi tersebut. Mendatangi dari satu pintu ke pintu selanjutnya, hanya untuk merajut silaturhami. Namun, na’as yang terjadi beberapa pintu yang didatangi, menanyakan sesuatu yang sensitf bagi Amelia, akan tetapi Amelia menyadari hal itu menjadi lumrah di halaman kampungnya.

“Mel, kapan datang?”tanya tetangga.

“Tadi ibu, sekitar jam 12.00 WIB.”

“Kamu kapan nikah? Kamu udah kerja? Cepat nikah nanti kamu jadi perawan tua, dan gak laku. Toh, kodrat perempuan tetap melahirkan dan berada di dapur,”

Mendengar itu tidak ada jawaban apapun dari Amelia. Hanya sekedar menimpali dengan senyuman. Ia melanjutkan kembali.

“Nanti, kamu kalau nikah jangan cari lelaki yang keluarganya cerai. Biar nanti tidak cerai juga!” tegasnya.

Dalam hatinya tak henti berbicara “Tak mungkin aku menuai nasib yang sama, bukankah setiap orang, baik aku dan keluarga memiliki nasib yang berbeda. Mengapa orang lebih cukup lincah untuk mengatur masa depan dibanding pemilik alam ini, tidak jangan tumpah di sini, kuat Amel , kuat Amel. Tuhan tidak memberikan masalah ataupun takdir yang melampaui batas manusia itu sendiri.”

“Enggeh Bu, terima kasih saya pamit enggeh,”

Begitulah pemikiran publik tentang otoritas tubuh seorang perempuan ditambah stigma pada anak broken home. Pemikiran semacam itu ternormalisasi untuk hari ini, utamanya di kampung yang jauh dari segala hirup piruk keadilan gender.

Tidak hanya di keluarga, Amelia juga dihadang pertayaan semacam itu di keluarganya. Dipaksa menikah dengan dalih takut ia bakal menjadi perawan tua, padahal sanak saudara yang lelaki yang umur lebih tua tak pernah dipaksa untuk menikah. Katanya “Biarkan saja berproses, karena dia akan jadi calon pemimpin.”

Rasa sakit yang menyengat yang dirasa oleh Amelia, apakah perempuan tidak bisa menjadi pemimpin? Bukankah mengarungi rumah tangga tak hanya cukup dengan satu pikiran si suami saja? Bukankah butuh pemikiran dua belah pihak yang sama agar perahu terus berlabuh.

“Sudah, Amel nanti kamu tak kembali lagi. Dia di sini menikah kodratmu hanya di dapur nanti. Setinggi apapun pendidikanmu kamu tetap menjadi perempuan yang melayani suami dan membesarkan anak”

Amelia yang berucap dalam hati, “Sudah ku pahami bahwa pulang mengobati rindu memang ada, namun juga menelan obat pahit karena aku perempuan yang tak kunjung menikah. Sudahlah aku tak ingin membahas itu menyakitkan biarkan aku menjadi perempuan yang bebas atas diriku sendiri.”

Simpulnya Amelia mengatakan, menjadi perempuan seperti badai yang mendatangkan kehinaan. Tapi, ia sadar itu hanya opini publik. Di sisi lain, menjadi perempuan adalah anugerah yang patut disyukuri yang memiliki “hak keistimewaan” yang patut dijaga dengan sekuat mungkin.

Tapi, jangan pulang kalau kamu perempuan. Pergilah sejauh mungkin dan kembali apabila kamu telah memiliki kekuatan dan pembuktian untuk mematahkan opini itu. []

 

 

Tags: Break The Biascerita pendekGenderpatriarkiperempuanSastrastigmaTradisi
Miri Pariyas

Miri Pariyas

Penyuka bunga mawar

Terkait Posts

Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Surat

Surat yang Kukirim pada Malam

6 Juli 2025
Film Rahasia Rasa

Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

6 Juli 2025
Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Lebih Religius

    Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengebiri Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID