Jumat, 24 Oktober 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Resolusi Jihad

    Resolusi Jihad Santri: Dari Angkat Senjata hingga Media Sosial

    Nyai Badriyah

    Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas

    Ulama Perempuan Disabilitas

    Nyai Hj. Badriyah Fayumi: Ulama Perempuan Harus Menjadi Pelopor Keulamaan Inklusif dan Ramah Disabilitas

    Hak-hak Disabilitas

    UIN SSC Gelar Konferensi Nasional KUPI untuk Memperkuat Peran Keulamaan bagi Hak-hak Disabilitas

    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Krisis Iman Sebagai Keprihatinan Laudate Deum

    Praktik P2GP

    Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP

    Hari Santri Nasional

    Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya

    Perundungan

    Kita, Perempuan, Membentengi Generasi dari Perundungan

    Konferensi Nasional KUPI 2025

    Disabilitas di Konferensi Nasional KUPI 2025: Sebuah Refleksi

    Perempuan Disabilitas

    Refleksi Perempuan Disabilitas di Hari Santri Nasional

    Fiqh al-Murūnah

    KUPI Mengenalkan Fiqh al-Murūnah bagi Pemenuhan Hak-hak Disabilitas

    Hak Politik Penyandang Disabilitas

    Hak Politik Penyandang Disabilitas: Antara Jaminan Konstitusi dan Prinsip Keadilan Islam

    Moral Solidarity

    Makna Relasi Afektif di Pesantren: Collective Pride dan Moral Solidarity Santri

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Resolusi Jihad

    Resolusi Jihad Santri: Dari Angkat Senjata hingga Media Sosial

    Nyai Badriyah

    Nyai Badriyah Fayumi: KUPI Tegaskan Semua Manusia Adalah Subjek Kehidupan, Termasuk Disabilitas

    Ulama Perempuan Disabilitas

    Nyai Hj. Badriyah Fayumi: Ulama Perempuan Harus Menjadi Pelopor Keulamaan Inklusif dan Ramah Disabilitas

    Hak-hak Disabilitas

    UIN SSC Gelar Konferensi Nasional KUPI untuk Memperkuat Peran Keulamaan bagi Hak-hak Disabilitas

    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Krisis Iman Sebagai Keprihatinan Laudate Deum

    Praktik P2GP

    Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP

    Hari Santri Nasional

    Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya

    Perundungan

    Kita, Perempuan, Membentengi Generasi dari Perundungan

    Konferensi Nasional KUPI 2025

    Disabilitas di Konferensi Nasional KUPI 2025: Sebuah Refleksi

    Perempuan Disabilitas

    Refleksi Perempuan Disabilitas di Hari Santri Nasional

    Fiqh al-Murūnah

    KUPI Mengenalkan Fiqh al-Murūnah bagi Pemenuhan Hak-hak Disabilitas

    Hak Politik Penyandang Disabilitas

    Hak Politik Penyandang Disabilitas: Antara Jaminan Konstitusi dan Prinsip Keadilan Islam

    Moral Solidarity

    Makna Relasi Afektif di Pesantren: Collective Pride dan Moral Solidarity Santri

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Tradisi Munggahan dan Megengan; Islam Hadir Menjunjung Budaya Lokal

Banyak hal-hal positif dari tradisi peninggalan leluhur yang tetap kita lestarikan bersama. Tradisi yang berisikan nilai-nilai Islami yang telah dibangun bahkan sebelum Islam datang

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
5 Oktober 2022
in Pernak-pernik, Rekomendasi
0
Tradisi Munggahan dan Megengan; Islam Hadir Menjunjung Budaya Lokal

Tradisi Munggahan dan Megengan; Islam Hadir Menjunjung Budaya Lokal

303
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menghitung bulan Ramadan yang akan tiba dalam beberapa hari lagi, masyarakat Muslim Indonesia sedang bersuka-cita menyambut kedatangannya. Banyak tradisi unik yang ditunggu dan dipersiapkan setiap bulan Sya’ban akan berakhir, seperti Mak Meugang dalam tradisi Aceh, Munggahan dalam tradisi Sunda, atau Megengan dalam tradisi Jawa.

Pada tradisi masyarakat Sunda (khususnya tradisi keluarga suami saya), Munggahan dilaksanakan dengan kerabat serta sanak-saudara. Umumnya, para keturunan yang masih hidup pergi ke makam-makam orang tua dan leluhur yang telah tiada. Mereka membersihkan makam bersama-sama. Tradisi membersihkan makam ini dikenal juga dengan istilah ngoret.

Biasanya mereka membawa nasi liwet yang dihidangkan di atas daun pisang dan kemudian disantap bersama setelah kegiatan ngoret selesai. Tentu, saat makan bersama (botram) ini, tidak lupa mereka melaksanakan doa bersama untuk kebahagiaan arwah para leluhur yang telah tiada, dan juga untuk mereka yang masih hidup di muka bumi, ngaruwahkeun.

Pada era modern saat ini, terdapat perubahan budaya. Munggahan tidak sekedar tradisi saja, melainkan agenda kegiatan yang dilakukan pada segala instansi ketika Ramadan akan segera tiba. Dengan tidak menghilangkan substansi-substansi yang ada, Munggahan tetap dilaksanakan dengan cara yang lebih kekinian, seperti dilakukan di tempat-tempat wisata, tempat bekerja, lembaga pendidikan, dan lainnya. Yang menjadi poin pentingnya, perubahan yang ada lagi-lagi tidak meniadakan doa bersama, makan bersama, dan berkumpul bersama-sama orang yang dikasihi.

Tradisi munggahan yang demikian tentu merupakan manifestasi dari istilah itu sendiri, yakni Munggahan yang memiliki arti naik. Maksudnya ialah hamba manusia memanjatkan dan melangitkan rasa syukurnya kepada Yang Kuasa karena dipertemukan kembali dengan bulan Ramadan yang mulia, sehingga mereka saling berbagi rejeki, dan juga berkumpul antar sesamanya.

Serupa namun ‘tak sama. Dalam tradisi masyarakat Jawa, tradisi menyambut bulan suci Ramadan dikenal dengan istilah Megengan. Megengan sendiri memiliki makna menahan. Hal ini sebagai tanda dan peringatan, bahwa bulan Ramadan yang identik dengan menahan nafsu akan segera datang, sehingga manusia harus segera mempersiapkannya dengan suka-cita.

Selain membersihkan makam leluhur, masyarakat Jawa juga melakukan Selametan yang diadakan secara individu (tiap rumah) maupun secara kolektif (Masjid, Mushala, dan RT). Seperti halnya Liwet, dalam masyarakat Jawa juga terdapat suguhan yang menjadi ciri khas dalam tradisi Megengan, yakni Ambengan  dan Apem.

Saya masih ingat dengan jelas, Bude-bude dan Mbah selalu antusias saat telah memasuki bulan Ruwah. Bahkan Mbah membuat Ingkung khusus beserta komponen yang lain dan diletakkan dengan apik dalam lengser yang besar. Suguhan ini Mbah simpan di kamar pribadinya. Kata Mbah, “Ngko Mbah Nang-mu teko.” Walaupun Ruh Mbah Nang datang, ia tidak akan akan memakan sajen/makanan yang disajikan ini, melainkan yang masih hiduplah yang akan menikmatinya.

Mbah juga ater-ater kepada anak-menantunya yang telah berkeluarga, dan anak-menantunya juga mengirimkan hal serupa kepada Mbah. Kadang saya berpikir, kalau isinya sama, kenapa harus diputer-puter dan riwa-riwi sih? Tapi sebagai anak-anak tentu suka-suka saja, karena ketika kita diminta untuk ater-ater, di saat itulah pundi-pundi rupiah juga bertambah.

Yang menarik lagi, Mbah juga selalu membuat Apem. Apem yang sudah jadi ini biasanya Bude (kakak Ayah) lempar ke atap rumah gedek Mbah sambil komat-kamit. Tentunya dalam hati, “Wah, mubazir banget makanan dibuang-buang, walaupun cuma satu, tidak seperti Ingkung yang masih bisa dimakan, Apem yang dilempar dan jatuh kena pasir Kelud ini pasti kotor.” Kata Bude, “Ra popo, iki mang digawe awak dewe njaluk ngaporo (Afwu) nang Pengeran.”

Ketika semua makanan sudah siap, yang memiliki hajat mengundang sanak-saudara dan tetangga untuk mengirimkan doa kepada ruh para leluhur dan dilanjutkan dengan makan ambengan bersama. Sungguh nikmat, bahkan rasa masakan khas Megengan buatan Mbah masih bisa dibayangkan hingga saat ini.

Saat itu, saya melihat hal-hal ini sebagai sesuatu yang unik, banyak hal baru yang saya temui dalam tradisi ini dan juga pada diri Mbah dan Bude-bude dalam mempersiapkannya. Sekarang saat memikirkannya, saya bisa mengatakan, bahwasanya Islam hadir di masyarakat kita dengan tetap menghargai dan menghormati budaya lokal. Islam yang berkembang di masyarakat kita telah sesuai dengan visi-misinya, yakni sebagai rahmah (kasih sayang) kepada seluruh alam. Bagaimana tidak, mari kita intip sedikit:

Secara psikologi, tradisi Munggahan dan Megengan ini memberikan rasa ‘bahagia’ kepada mereka yang melakukannya. Bahagia yang tercipta karena mereka dapat berkumpul dengan mereka yang dikasihi dan masih hidup. Bahagia pula karena mereka memiliki momen untuk mengingat orang terkasih yang telah tiada.

Seperti contoh Mbah saya, dengan senang hati ia menyiapkan sajen yang dibuat untuk suaminya, walaupun dia tahu hal tersebut tidak mungkin dimakan oleh suaminya yang telah tiada, namun persiapan memasakkan makanan terbaik untuk suaminya ‘kembali’ membawanya kepada peristiwa-peristiwa indah di masa lampau. Momen ini memberikan semangat dan kebahagiaan yang hanya dapat ia sendiri ciptakan.

Berkumpulnya sanak-saudara yang masih hidup pun tentunya membawa kebahagiaan. Berkumpul bukanlah suatu hal yang mudah, butuh pengorbanan untuk mewujudkannya di balik kesibukan keseharian masing-masing individu. Dengan berkumpul, tiap individu akan berbagi suka-cita, dan melakukan hal-hal yang dinantikan saat berkumpul bersama.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Seligman dalam Authentic Happines, bahwasanya dalam mencapai kebahagiaan, manusia memiliki cara yang berbeda antara satu dan lainnya, oleh karena itu cara untuk mencapainya juga berbeda-beda. Termasuk dalam tradisi ini, bagi leluhur kita, mengingat mereka yang telah tiada dan berkumpul bersama orang terkasih merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan.

Bahagianya mereka dapat kita lihat dari antusiasnya yang tinggi dalam penyelenggaraan Munggahan dan Megengan, semangat berbagi, semangat berkumpul, dan semangat saling membahagiakan dengan bersama-sama memanjatkan doa-doa kebaikan.

Secara Teologi, tradisi munggahan ini merupakan tradisi lokal yang dibalut dengan nilai-nilai Islami. Apakah bertentangan? Saya rasa tidak: semua berkumpul untuk saling mendoakan, kepada yang telah tiada dan yang masih ada; semua berbagi dengan liwet, ambengan, bahkan rupiah, sebagai bentuk syukur yang merupakan bagian dari sedekah.

Semua saling berkumpul dan mengunjungi, yang merupakan bagian dari silaturahim; semuanya memberikan tanda, bahwa manusia adalah hamba yang memiliki kewajiban secara vertikal kepada Tuhannya, dan juga horizontal kepada sesamanya. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa Sunan Kalijaga tetap melestarikan tradisi yang tidak memiliki pertentangan dengan Syara’ tersebut.

Secara sosial, tradisi ini memberikan ruang agar sesama manusia memiliki kesadaran bahwa sebagai makhluk sosial, masing-masing individu memiliki kewajiban dan tanggung-jawab untuk saling membahagiakan: dengan membantu yang memiliki hajat Munggahan atau Megengan untuk mempersiapkan sajen yang berupa liwet dan ambengan; meluangkan waktu untuk berkumpul demi kebutuhan bersama; mengikhlaskan hati dan diri untuk mendoakan, yang bukan hanya dituju untuk diri sendiri, melainkan juga orang lain; dan lain-lain.

Dari sini dapat kita lihat, banyak hal-hal positif yang kita dapatkan dari tradisi munggahan, peninggalan leluhur yang kita lestarikan bersama ini. Tradisi yang berisikan nilai-nilai Islami yang telah dibangun bahkan sebelum Islam datang. Tradisi yang menjadi bagian dari kebahagiaan kita. Tradisi yang mengikat kita untuk memiliki identitas sebagai Muslim Indonesia yang beragam.

Sebagaimana pernyataan Presiden ke-4 NKRI, KH. Abdurrahman Wahid, “Islam datang bukan untuk merubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab, bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana,’ bukan ‘sampean’ jadi ‘antum,’ bukan ‘sedulur’ jadi ‘akhi.’ Pertahankan apa yang menjadi milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan  budaya Arabnya.”

Demikian penjelasan tradisi Munggahan dan Megengan, Islam hadir menjunjung budaya lokal. Semoga bermanfaat. []

Tags: IndonesiaMunggahanNusantararamadanTradisi
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Membaca Buku
Publik

Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

18 Oktober 2025
Siti Ambariyah
Figur

Menelaah Biografi Nyai Siti Ambariyah; Antara Cinta dan Perjuangan

18 Oktober 2025
Guruku Orang-orang dari Pesantren
Buku

Guruku Orang-orang dari Pesantren; Inspirasi Melalui Lembaran Buku KH. Saifuddin Zuhri

18 Oktober 2025
Pernikahan Anak
Publik

Mengapa Masih Ada Tokoh Agama yang Terlibat dalam Pernikahan Anak?

7 Oktober 2025
Multitafsir Pancasila
Publik

Multitafsir Pancasila Dari Legitimasi Kekuasaan ke Pedoman Kemaslahatan Bangsa

4 Oktober 2025
Konflik Agraria
Publik

Konflik Agraria: Membaca Kembali Kasus Salim Kancil hingga Raja Ampat

29 September 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perundungan

    Kita, Perempuan, Membentengi Generasi dari Perundungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aplikasi Metode Mubadalah dalam Memaknai Hadits Bukhari tentang Memerdekakan Perempuan Budak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memaknai Kebahagiaan Lewat Filosofi Mulur Mungkret Ki Ageng Suryomentaram

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Idris : Ayah Imam Syafi’i yang sangat Wara’

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Krisis Iklim dan Krisis Iman Sebagai Keprihatinan Laudate Deum
  • Refleksi Kegiatan Monev Alimat dalam Membumikan Fatwa KUPI tentang Penghapusan Praktik P2GP
  • Aplikasi Metode Mubadalah dalam Memaknai Hadits Bukhari tentang Memerdekakan Perempuan Budak
  • Refleksi Hari Santri Nasional: Kemerdekaan Santri Belum Utuh Sepenuhnya
  • Memaknai Kebahagiaan Lewat Filosofi Mulur Mungkret Ki Ageng Suryomentaram

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID