• Login
  • Register
Jumat, 16 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Tradisi Munggahan dan Megengan; Islam Hadir Menjunjung Budaya Lokal

Banyak hal-hal positif dari tradisi peninggalan leluhur yang tetap kita lestarikan bersama. Tradisi yang berisikan nilai-nilai Islami yang telah dibangun bahkan sebelum Islam datang

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
01/04/2022
in Pernak-pernik, Rekomendasi
0
Tradisi Munggahan dan Megengan; Islam Hadir Menjunjung Budaya Lokal

Tradisi Munggahan dan Megengan; Islam Hadir Menjunjung Budaya Lokal

297
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Menghitung bulan Ramadan yang akan tiba dalam beberapa hari lagi, masyarakat Muslim Indonesia sedang bersuka-cita menyambut kedatangannya. Banyak tradisi unik yang ditunggu dan dipersiapkan setiap bulan Sya’ban akan berakhir, seperti Mak Meugang dalam tradisi Aceh, Munggahan dalam tradisi Sunda, atau Megengan dalam tradisi Jawa.

Pada tradisi masyarakat Sunda (khususnya tradisi keluarga suami saya), Munggahan dilaksanakan dengan kerabat serta sanak-saudara. Umumnya, para keturunan yang masih hidup pergi ke makam-makam orang tua dan leluhur yang telah tiada. Mereka membersihkan makam bersama-sama. Tradisi membersihkan makam ini dikenal juga dengan istilah ngoret.

Biasanya mereka membawa nasi liwet yang dihidangkan di atas daun pisang dan kemudian disantap bersama setelah kegiatan ngoret selesai. Tentu, saat makan bersama (botram) ini, tidak lupa mereka melaksanakan doa bersama untuk kebahagiaan arwah para leluhur yang telah tiada, dan juga untuk mereka yang masih hidup di muka bumi, ngaruwahkeun.

Pada era modern saat ini, terdapat perubahan budaya. Munggahan tidak sekedar tradisi saja, melainkan agenda kegiatan yang dilakukan pada segala instansi ketika Ramadan akan segera tiba. Dengan tidak menghilangkan substansi-substansi yang ada, Munggahan tetap dilaksanakan dengan cara yang lebih kekinian, seperti dilakukan di tempat-tempat wisata, tempat bekerja, lembaga pendidikan, dan lainnya. Yang menjadi poin pentingnya, perubahan yang ada lagi-lagi tidak meniadakan doa bersama, makan bersama, dan berkumpul bersama-sama orang yang dikasihi.

Tradisi munggahan yang demikian tentu merupakan manifestasi dari istilah itu sendiri, yakni Munggahan yang memiliki arti naik. Maksudnya ialah hamba manusia memanjatkan dan melangitkan rasa syukurnya kepada Yang Kuasa karena dipertemukan kembali dengan bulan Ramadan yang mulia, sehingga mereka saling berbagi rejeki, dan juga berkumpul antar sesamanya.

Serupa namun ‘tak sama. Dalam tradisi masyarakat Jawa, tradisi menyambut bulan suci Ramadan dikenal dengan istilah Megengan. Megengan sendiri memiliki makna menahan. Hal ini sebagai tanda dan peringatan, bahwa bulan Ramadan yang identik dengan menahan nafsu akan segera datang, sehingga manusia harus segera mempersiapkannya dengan suka-cita.

Baca Juga:

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

Tana Barambon Ambip: Tradisi yang Mengancam Nyawa Ibu dan Bayi di Pedalaman Merauke

Berfatwa Ala KUPI

Selain membersihkan makam leluhur, masyarakat Jawa juga melakukan Selametan yang diadakan secara individu (tiap rumah) maupun secara kolektif (Masjid, Mushala, dan RT). Seperti halnya Liwet, dalam masyarakat Jawa juga terdapat suguhan yang menjadi ciri khas dalam tradisi Megengan, yakni Ambengan  dan Apem.

Saya masih ingat dengan jelas, Bude-bude dan Mbah selalu antusias saat telah memasuki bulan Ruwah. Bahkan Mbah membuat Ingkung khusus beserta komponen yang lain dan diletakkan dengan apik dalam lengser yang besar. Suguhan ini Mbah simpan di kamar pribadinya. Kata Mbah, “Ngko Mbah Nang-mu teko.” Walaupun Ruh Mbah Nang datang, ia tidak akan akan memakan sajen/makanan yang disajikan ini, melainkan yang masih hiduplah yang akan menikmatinya.

Mbah juga ater-ater kepada anak-menantunya yang telah berkeluarga, dan anak-menantunya juga mengirimkan hal serupa kepada Mbah. Kadang saya berpikir, kalau isinya sama, kenapa harus diputer-puter dan riwa-riwi sih? Tapi sebagai anak-anak tentu suka-suka saja, karena ketika kita diminta untuk ater-ater, di saat itulah pundi-pundi rupiah juga bertambah.

Yang menarik lagi, Mbah juga selalu membuat Apem. Apem yang sudah jadi ini biasanya Bude (kakak Ayah) lempar ke atap rumah gedek Mbah sambil komat-kamit. Tentunya dalam hati, “Wah, mubazir banget makanan dibuang-buang, walaupun cuma satu, tidak seperti Ingkung yang masih bisa dimakan, Apem yang dilempar dan jatuh kena pasir Kelud ini pasti kotor.” Kata Bude, “Ra popo, iki mang digawe awak dewe njaluk ngaporo (Afwu) nang Pengeran.”

Ketika semua makanan sudah siap, yang memiliki hajat mengundang sanak-saudara dan tetangga untuk mengirimkan doa kepada ruh para leluhur dan dilanjutkan dengan makan ambengan bersama. Sungguh nikmat, bahkan rasa masakan khas Megengan buatan Mbah masih bisa dibayangkan hingga saat ini.

Saat itu, saya melihat hal-hal ini sebagai sesuatu yang unik, banyak hal baru yang saya temui dalam tradisi ini dan juga pada diri Mbah dan Bude-bude dalam mempersiapkannya. Sekarang saat memikirkannya, saya bisa mengatakan, bahwasanya Islam hadir di masyarakat kita dengan tetap menghargai dan menghormati budaya lokal. Islam yang berkembang di masyarakat kita telah sesuai dengan visi-misinya, yakni sebagai rahmah (kasih sayang) kepada seluruh alam. Bagaimana tidak, mari kita intip sedikit:

Secara psikologi, tradisi Munggahan dan Megengan ini memberikan rasa ‘bahagia’ kepada mereka yang melakukannya. Bahagia yang tercipta karena mereka dapat berkumpul dengan mereka yang dikasihi dan masih hidup. Bahagia pula karena mereka memiliki momen untuk mengingat orang terkasih yang telah tiada.

Seperti contoh Mbah saya, dengan senang hati ia menyiapkan sajen yang dibuat untuk suaminya, walaupun dia tahu hal tersebut tidak mungkin dimakan oleh suaminya yang telah tiada, namun persiapan memasakkan makanan terbaik untuk suaminya ‘kembali’ membawanya kepada peristiwa-peristiwa indah di masa lampau. Momen ini memberikan semangat dan kebahagiaan yang hanya dapat ia sendiri ciptakan.

Berkumpulnya sanak-saudara yang masih hidup pun tentunya membawa kebahagiaan. Berkumpul bukanlah suatu hal yang mudah, butuh pengorbanan untuk mewujudkannya di balik kesibukan keseharian masing-masing individu. Dengan berkumpul, tiap individu akan berbagi suka-cita, dan melakukan hal-hal yang dinantikan saat berkumpul bersama.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Seligman dalam Authentic Happines, bahwasanya dalam mencapai kebahagiaan, manusia memiliki cara yang berbeda antara satu dan lainnya, oleh karena itu cara untuk mencapainya juga berbeda-beda. Termasuk dalam tradisi ini, bagi leluhur kita, mengingat mereka yang telah tiada dan berkumpul bersama orang terkasih merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan.

Bahagianya mereka dapat kita lihat dari antusiasnya yang tinggi dalam penyelenggaraan Munggahan dan Megengan, semangat berbagi, semangat berkumpul, dan semangat saling membahagiakan dengan bersama-sama memanjatkan doa-doa kebaikan.

Secara Teologi, tradisi munggahan ini merupakan tradisi lokal yang dibalut dengan nilai-nilai Islami. Apakah bertentangan? Saya rasa tidak: semua berkumpul untuk saling mendoakan, kepada yang telah tiada dan yang masih ada; semua berbagi dengan liwet, ambengan, bahkan rupiah, sebagai bentuk syukur yang merupakan bagian dari sedekah.

Semua saling berkumpul dan mengunjungi, yang merupakan bagian dari silaturahim; semuanya memberikan tanda, bahwa manusia adalah hamba yang memiliki kewajiban secara vertikal kepada Tuhannya, dan juga horizontal kepada sesamanya. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa Sunan Kalijaga tetap melestarikan tradisi yang tidak memiliki pertentangan dengan Syara’ tersebut.

Secara sosial, tradisi ini memberikan ruang agar sesama manusia memiliki kesadaran bahwa sebagai makhluk sosial, masing-masing individu memiliki kewajiban dan tanggung-jawab untuk saling membahagiakan: dengan membantu yang memiliki hajat Munggahan atau Megengan untuk mempersiapkan sajen yang berupa liwet dan ambengan; meluangkan waktu untuk berkumpul demi kebutuhan bersama; mengikhlaskan hati dan diri untuk mendoakan, yang bukan hanya dituju untuk diri sendiri, melainkan juga orang lain; dan lain-lain.

Dari sini dapat kita lihat, banyak hal-hal positif yang kita dapatkan dari tradisi munggahan, peninggalan leluhur yang kita lestarikan bersama ini. Tradisi yang berisikan nilai-nilai Islami yang telah dibangun bahkan sebelum Islam datang. Tradisi yang menjadi bagian dari kebahagiaan kita. Tradisi yang mengikat kita untuk memiliki identitas sebagai Muslim Indonesia yang beragam.

Sebagaimana pernyataan Presiden ke-4 NKRI, KH. Abdurrahman Wahid, “Islam datang bukan untuk merubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab, bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana,’ bukan ‘sampean’ jadi ‘antum,’ bukan ‘sedulur’ jadi ‘akhi.’ Pertahankan apa yang menjadi milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan  budaya Arabnya.”

Demikian penjelasan tradisi Munggahan dan Megengan, Islam hadir menjunjung budaya lokal. Semoga bermanfaat. []

Tags: IndonesiaMunggahanNusantararamadanTradisi
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Suami

5 Kewajiban Suami untuk Istri yang sedang Menyusui

15 Mei 2025
Ketika Perempuan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

15 Mei 2025
Qiyas Perempuan Menjadi Pemimpin

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

15 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nakba Day; Kiamat di Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami
  • Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan
  • Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!
  • Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban
  • 5 Kewajiban Suami untuk Istri yang sedang Menyusui

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version