Mubadalah.id – Seseorang mau menikah dengan orang lain, atau bersedia diajak menikah dengan orang lain, biasanya ada alasan yang menyertainya. Kata Nabi Saw, sebagaimana dicatat dalam Kitab-kitab hadits utama, bahwa ada empat hal yang biasanya dituju laki-laki dalam menikahi perempuan. Kecantikan fisik, keberlimpahan harta, kedudukan sosial, dan perilaku spiritual atau agama. Nabi Saw lalu menyarankan agar pertimbangan utamanya adalah agama (Sahih Bukhari, no.: 3708 dan Sahih Muslim, no: 5146).
Tentu saja, saran Nabi Saw ini juga berlaku sebaliknya. Yaitu bagi perempuan, penting juga untuk mempertimbangkan faktor agama yang ada pada laki-laki yang akan menikahinya. Di samping tiga faktor yang lain juga: kegantengan secara fisik, keberlimpahan harta, dan juga kedudukan sosial. Faktor-faktor ini dianggap banyak orang, laki-laki maupun perempuan, bisa menjadi modal untuk melangsungkan kehidupan rumah tangga sepanjang usia di dunia.
Keindahan fisik biologis tentu saja menjadi daya tarik banyak orang dalam memilih laki-laki maupun perempuan. Ia menjadi awal dari ketertarikan yang bisa ditangkap oleh indra mata yang memandang. Dengan basis keindahan ini, seseorang berharap kehidupan rumah tangganya akan mudah untuk dinikmati, dijaga, dan dipelihara sampai akhir hayat. Keindahan fisik bisa menjadi modal awal yang secara psikis bisa memacu semangat seseorang untuk berjuang memenuhi segala kebutuhan rumah tangga dan menjaga keberlangsungannya.
Kedudukan sosial yang dimiliki juga sama. Ia bisa menjadi dukungan atau semacam jaminan secara sosial, dari keluarga besar seseorang maupun jaringan yang dimilikinya, sehingga kehidupan rumah tangganya dapat melalui berbagai tantangan hidup yang dihadapi ke depan. Ia bisa merasa aman dan terlindungi, melalui kedudukan seseorang yang dinikahinya, sehingga kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik.
Kepemilikan harta tentu saja manfaatnya untuk keberlangsungan keluarga sangat nyata. Semua kebutuhan hidup keluarga bisa dipenuhi dengan harta yang dimiliki. Kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, hiburan, bahkan ritual keagamaan, semuanya memerlukan dukungan harta. Seseorang tentu saja ketika memilih calon mempelai akan mempertimbangkan harta apa yang sudah dimiliki, atau akan dimiliki, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Lalu Mengapa Mempertimbangkan Agama?
Mari kita baca dulu hadits Nabi Saw yang dimaksud:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ) .
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Saw, bersabda: “Seorang perempuan itu dinikahi karena empat hal: hartanya, status sosialnya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah perempuan yang memiliki agama, agar kehidupan (rumah tanggamu) lebih terpuji dan lestari”. (Sahih Bukhari, no.: 3708 dan Sahih Muslim, no: 5146).
Nabi Saw memberitakan tentang kebiasaan orang dalam memilih calon pasangan sebelum menikahi perempuan. Yaitu karena alasan harta, status, kemolekan tubuh, dan agama. Yang diperintahkan Nabi Saw sebagai pertimbangan utama hanya satu, yaitu agama. Walau, tidak salah juga mempertimbangkan yang lain. Namun, agama-lah yang akan mengikat harta, rupa, dan strata menjadi modal kebaikan bagi kelangsungan hidup berumah tangga.
Apa yang dimaksud agama di sini?
Tentu saja agama di sini adalah prinsip-prinsip yang diajarkan Islam sebagai pondasi moral dalam berumah tangga. Dimana seseorang, karena komitmennya pada prinsip-prinsip ini, akan menggunakan seluruh modal dan potensi yang dimilikinya untuk mendatangkan kebaikan dalam rumah tangganya, memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, melindunginya dari segala keburukan, dan membuatnya lestari sebagai ikatan penuh kebahagiaan satu sama lain, sebagaimana yang dianjurkan al-Qur’an (QS. Ar-Rum, 30: 21).
Prinsip-prinsip agama yang dimaksud adalah apa yang biasa dikenal dengan lima pilar pernikahan dalam Islam. Yaitu, pertama tentang pentingnya komitmen pada pernikahan sebagai ikatan yang kokoh (mitsaqan ghalizan, QS. An-Nisa, 4: 21). Kedua, prinsip berpasangan dan bermitra antara suami dan istri (zawaj, QS. Al-Baqarah, 2: 187 dan ar-Rum, 30: 21).
Ketiga, perilaku saling memberi kenyamanan dan saling meridhai satu sama lain (taradhin, QS. Al-Baqarah, 2: 233). Keempat, perilaku untuk saling memperlakukan dengan baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19). Kelima, kebiasaan pasutri untuk saling berembug atau musyawarah bersama (tasyawurin, QS. Al-Baqarah, 2: 233).
Tentu saja, agama dengan maknanya yang fundamental seperti demikian, akan menjadi basis utama dalam kehidupan rumah tangga yang bisa menghadirkan segala kebaikan untuk semua anggota keluarga, dan melindungi segala keburukan dari mereka. Ia akan menjadi pondasi moral saat menikahi perempuan, yang bisa mengikat keindahan tubuh, keberlimpahan harta, dan kebaikan status sosial, serta modalitas yang lain, agar benar-benar memberi manfaat dan menguatkan kehidupan rumah tangga.
Tanpa moralitas lima pilar ini, bisa jadi harta justru akan membuat keluarga akan berebut, bertengkar, dan mudah menyakiti. Keindahan fisik juga sangat mungkin menipu diri, sombong, dan kemudian merendahkan orang lain, termasuk anggota keluarga sendiri. Begitupun status sosial, sangat rentan untuk digunakan sebagai modal untuk menipu dan memanipulasi orang lain, sehingga berakibat buruk bagi kelangsungan rumah tangga.
Makna Hadits secara Mubadalah
Dengan penjelasan demikian, makna hadits Abu Hurairah ra di atas juga berlaku secara mubadalah. Artinya, yang diharapkan memiliki prinsip-prinsip agama, berupa lima pilar rumah tangga, adalah tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki.
Karena, jika hanya salah satu yang berpijak pada prinsip agama tersebut, maka tidak akan terjadi kehidupan rumah tangga yang sama-sama bahagia dan membahagiakan. Rumah tangga dianggap baik, sakinah, dan mashlahah, hanyalah jika kedua sayapnya, suami dan istri, benar-benar menerapkan kelima prinsip tersebut.
Karena itu, prinsip-prinsip agama ini menyasar kedua belah pihak dengan panggunaan kata kesalingan dan kerjasama dalam semua aspek. Mulai dari memandang pernikahan sebagai ikatan kokoh yang harus dijaga bersama, karakteristik pernikahan sebagai kemitraan, kesalingan dalam berbuat baik, kesalingan dalam bermusyawarah dan dalam memenuhi kerelaan masing-masing.
Dengan makna agama yang mubadalah ini, jawaban dari pertanyaan judul “Benarkah Menikahi Perempuan Karena Faktor Agama” di atas adalah tentu saja seratus persen YA. Namun, seratus persen yang sama juga perlu ada pada pihak calon mempelai laki-laki. Wallahu a’lam. []
(Catatan: Temukan pembahasan isu-isu hukum keluarga dengan perspektif kesalingan dalam Buku “Qira’ah Mubadalah” (2020). Selama Ramadan, buku ini sedang ada diskon khusus, yang berminat bisa chat ke admin buku langsung).