Mubadalah.id – Perjalanan ke Eropa dan liburan selama sebulan di sana, ternyata justru menjadikan keduanya dekat. Perjalanan waktu juga tanpa disangka mengeratkan keduanya. Mereka menganggap bahwa mereka menemukan teman senasib. Pada cerita sebelumnya Layangan Putus: Kisah Pilu Seorang Perempuan Muda, Sahara menjanda, dan tak bisa mempertahankan rumah tangganya bersama Cakra, serta Bara yang berkeluarga tetapi merasa menduda. Mereka juga merasa menemukan teman yang cukup nyaman untuk diajak bercerita, atau berkeluh kesah.
Tapi kebersamaan keduanya sebenarnya amat keliru karena kedekatan yang dianggap tak wajar. Sahara dan Bara sering terlihat ke mall bersama, menonton film, pertunjukan musik, tour ke asia, bahkan sampai terlihat dalam acara-acara resmi perusahaan keduanya dengan baju yang sangat serasi. Seperti pasangan suami istri. Yang paling mengejutkan adalah gosip bahwa keduanya pernah tinggal dalam satu hotel yang sama.
“Mamah kenapa jarang berkunjung?” tanya Shinta.
Selasa itu Sahara menyempatkan diri menjemput kedua anaknya di sekolah. Seusai rapat penting dengan agen dari Perancis, Sahara langsung meninggalkan kantor.
“Mamah sibuk, sayang,” jawabnya sambil merapikan poni Shinta.
“Mamah sibuk terus,” sambung Rama terlihat kecewa. Wajahnya merengut.
Sahara terhenyak. Merasa bersalah. “Sayang, Mamah, kan kerja buat beli baju, mainan, dan ipod buat kalian. Jadi kalian harus mulai belajar dan terbiasa sama kesibukan Mamah, ya?” sahutnya.
Kedua anaknya tak bergeming. Sahara jadi sedih. Tapi seberkas senyum lekas ia kembangkan.
“Udah, jangan ngerajuk lagi. Hari ini, kan kita mau jalan-jalan,” rayunya riang.
“Jalan-jalan, Mah? Asyiiik!!!” Shinta melompat kegirangan. Sahara mengangguk sembari mencubit gemas pipi Shinta.
“Tapi mobil Mamah mana?” Rama menelusuri berbagai arah untuk mencari mobil mamahnya.
“Kita naik mobil Om Bara, ya sayang. Hari ini kita diajak jalan-jalan sama Om Bara.”
Rama dan Shinta mengangguk bersamaan. Sebelumnya mereka sudah dikenalkan dengan Om Bara itu. Yang kata beberapa orang dianggap sebagai ‘pacar’ mamahnya.
“Tuh mobilnya datang. Yuk.” Sahara menggandeng tangan Rama dan Shinta bersisian. Berjalan menuju mobil Bara dan masuk ke dalamnya.
Mereka layaknya keluarga lengkap yang pergi ke taman hiburan, belanja, dan menonton film di bioskop. Bara bahkan membelikan mereka 3 setel baju serta tas dan sepatu bermerek untuk Sahara. Potret keluarga bahagia yang sebenarnya sangat berduka.
“Cepat pulang. Sudah lewat jam 9 malam.” Di ujung telepon, Cakra, mantan suami Sahara menelepon dengan menahan berang. Memaksa Sahara segera mengantar Rama dan Shinta pulang.
“Mas, kan aku sudah bilang mau ngajak Rama dan Shinta nginep di apartemenku,” sergah Sahara.
“Gak ada! Besok mereka harus sekolah. Jarak tempuh apartemenmu dan sekolah mereka jauh. Lagian, kamu memberi contoh buruk dengan membawa mereka bersama selingkuhanmu!”
“Mas!!!”
Klik. Telepon dimatikan.
“Kenapa, sayang?” Bara mendekati Sahara dan menyentuh bahunya.
Mereka bahkan sudah saling memanggil sayang.
“E, gak papa. Aku cuma harus nganter pulang Rama sama Shinta,” jawabnya.
“Lho, kenapa gak nginep aja? Lagian, kan udah malem?”
Sebelum Sahara menjawab pertanyaan Bara, handpone Bara keburu berbunyi. Bara segera mengangkatnya dan kabar yang diterima amat mengejutkan.
“Apa, dok? Istri saya kritis?”
Bara terlihat panik dan dengan buru-buru berlari ke parkiran. Setelah sebelumnya menyuruh Sahara agar pulang dengan sopir pribadinya yang datang 20 menit kemudian.
Setelah itu tak ada kabar apapun dari Bara sampai empat hari berikutnya, Bara meneleponnya.
“Sayang, Sabira mau ketemu kamu,” ucapnya lirih di ujung telepon.
Sahara terbelalak. Bagaimana bisa dalam kondisi kritisnya Sabira ingin bertemu Sahara? Yang justru adalah affair dari suaminya? Saat itu Sahara berpikir bahwa Bara dalam keadaan tertekan sampai-sampai mau saja mengabarkan hal demikian. Hati Sahara ketar-ketir dan dengan emosi dia menjawab enggan.
“Aku mohon. Demi aku. Demi kita,” pinta Bara memelas.
Demi kita.
Sahara mendesis dan mengumpat kesal.
Baik. Akan ia lakukan. Entah demi Bara, demi Sabira atau demi dirinya sendiri, Sahara tetap tak sampai hati menolak permintaan seseorang yang tengah berjuang melawan kanker.
Sesampainya di rumah sakit Bara langsung mengajaknya ke ruangan istrinya. Sabira, istri Bara, memakai seragam rumah sakit dan ternyata dia berjilbab. Wajah pucatnya tak dapat menyembunyikan kecantikan paras Sabira. Kulit kuning langsat dan wajah yang terlihat menawan saat tersenyum. Tubuhnya sangat kurus. Peralatan medis menempel dibeberapa bagian tubuhnya. Sangat mengenaskan. Jika ditilik, Sabira seusia dengannya, 34 tahun.
Bara mempersilahkan Sahara duduk di kursi dekat ranjang Sabira. Dia bertanya kabar sekedar basa-basi. Walau sejujurnya dia gugup sekaligus malu. Namun kegetiran telah menelan rasa malunya dan justru menimbulkan rasa iba mendalam.
Sabira tersenyum kemudian mengulurkan tangannya. Meminta agar Sahara menggenggamnya. Sahara menuruti. Selanjutnya Sabira dengan terbata mengucapkan kata-kata yang sangat menyesakkan.
“Terima kasih karena kamu sudah membuat suami saya merasa memiliki teman berbagi lagi. Terima kasih karena kamu, suami saya terlihat riang akhir-akhir ini. Saya memang sungguh tak pantas menjadi istrinya lagi. Saya tak mampu memberikan hak-haknya sebagai suami. Saya justru merepotkan dia. Padahal dia dengan terus berjuang tanpa henti menafkahi kami. Saya sangat berterima kasih sama kamu. Kalau memang kamu mencintai Bara, jagalah dia dan ikatlah dia dengan janji suci sehidup semati. Saya ikhlas.”
Air mata membanjiri wajah Sabira. Suara isakan tangis Bara di belakangnya juga mengejutkannya. Sangat memilukan. Sebuah suasana yang sangat mengiris hati. Meski dia paham betul maksud dari ucapan Sabira, tetapi Sahara benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Hanya saja matanya mulai ikut berkaca-kaca. Dia menoleh ke Bara. Bara balik menatapnya dengan sorotan putus asa.
Sementara itu, dalam ranjangnya Sabira menangis tersedu. Bara meninju tembok sampai memerah kepalan tangannya. Masing-masing mengenang saat-saat di mana, Bara mengenalkan Sahara dan cerita tentang hubungan mereka.
“Aku bekerjasama dengan agen travel untuk membantu mempromosikan hotel dan wisataku. Pemiliknya adalah seorang ibu muda yang bertalenta. Sepintas dia mirip kamu waktu muda dulu. Gigih, cerdas, pantang menyerah, berani, dan teguh pendirian.”
“Kami mulai dekat. Entah kenapa jalan dengannya membuatku benar-benar merasa jalan berdua denganmu beberapa tahun yang lalu. Segala tentang dia membuatku termotivasi dan bertekad agar bekerja lebih keras untuk kamu dan Rafael.”
“Kemarin aku menuruti saran kamu untuk ngajak Rafael bertemu Sahara. Awalnya dia memang bersikap acuh. Tapi Sahara, yang memang humble orangnya dengan mudah membuat Rafael menerimanya. Kemarin Sahara memberi hadiah buat Rafael berupa sepatu yang sudah lama Rafael inginkan. Rafael terlihat sangat gembira saat menerima hadiah itu.”
“Hari ini aku diajak bertemu dengan Rama dan Shinta. Mereka pasti gembira aku ajak jalan-jalan ke tempat di mana kita sekeluarga sering menghabiskan waktu bersama.”
Sabira merasa apa yang dilakukannya adalah tepat. Meski kelak dia akan menyakiti dirinya sendiri dan mendapat cemoohan dari keluarga. Sabira sudah siap. Dia tidak bisa terus-terusan mengurung Bara dalam derita berkepanjangan hanya untuk menghabiskan hidup dengan mengurusi wanita sakit sepertinya. Sabira sudah terlanjur sakit raga. Menambah dengan sakit batin tidaklah masalah. Dia sudah merasa benar-benar tak berdaya.
Karena itulah, dia meminta Bara agar terus mendekati Sahira dan menjalin hubungan dengan janda muda itu. Sebab Sabira melihat, bahwa ada cahaya yang memancar kembali dari mata Bara saat menceritakan Sahara. Dia juga membantu untuk beberapa hal, semacam saran kepada Bara dalam mendekati Sahara, juga terkadang meminta Bara agar melakukan sesuatu demi membahagiakan Sahara.
Jika dengan demikian dia dianggap kuat, sebenarnya itu salah. Sejatinya ia rapuh. Sejujurnya ia berdusta.
***
Sedangkan Sahara, malamnya dia tidak bisa memejamkan mata. Hatinya benar-benar kalut, sedih dan gelisah. Dalam keadaan sakit fisik ditambah sakit batin yang dideranya, apakah Sabira benar-benar sekuat itu. Pasti sulit menjadi Sabira. Bahkan lebih sulit lagi. Sedangkan dia, di saat kisah kerajaan rumah tangganya kandas, haruskah justru merangsek ke kerajaan rumah tangga orang lain agar kisah kerajaannya kembali hidup? Tidak. Dia tidak sekejam itu.
Sahara yakin itu bukan cinta. Sebab cinta tidak dibangun di atas cinta orang lain. Meskipun benar perasaan jatuhnya adalah pemberian. Itu bukan cinta. Itu nafsu!
Hari-hari bersama Bara memang sangat menyenangkan dan membahagiakan. Bahkan tanpa dipungkiri dia benar-benar jatuh cinta pada lelaki itu. Bara juga demikian. Hanya saja kisah yang mereka bangun bukan di lembar buku mereka sendiri, melainkan milik orang lain. Sahara tidak setega itu. Melihat latar belakang Sabira yang lulusan pesantren, tak heran jika kesabaran Sabira sekokoh itu. Cocok dengan namanya yang berarti sabar.
Awalnya saat kedekatan mereka semakin erat Sahara mulai meragukan kesetiaan Bara pada istri sahnya. Namun demi melihat beban yang dipikul Bara, Sahara mulai mau memahami dan memaklumi. Sikap respeknya ia tunjukkan dengan terus ada di samping Bara untuk menguatkan laki-laki malang itu.
Bara meneleponnya dan mengatakan bahwa semuanya sudah terlanjur terbuka lebar. Tak ada lagi rahasia sedikitpun. Sabira sudah merestui. Karena memang dari dulu dia mendekati Sahara juga atas keputusan Sabira. Pilihan Sabira tinggal dua, dimadu atau dicerai. Tapi seandainya Sabira memilih diduakan, akan sangat sulit bagi Bara untuk adil dan beristri dua, yang juga justru malah akan semakin menyakiti gadis manis berjilbab itu. Karena itulah Bara akan memutuskan.
Tapi Sahara tidak mau mendengar keputusan Bara. Telepon dimatikannya secara sepihak.
Bara rupanya juga tidak menyerah. Dia mengirim sebuah pesan, “Kalau kamu mau, aku akan memilihmu.”
Tidak. Tidak ada yang harus dikorbankan. Pilihan bukan ditangan Bara atau Sabira. Tapi ditangannya sendiri.
***
“Mamah, tante Sabira video call.” Rama berteriak dari ruang keluarga sambil tangannya mengangkat ipad ke arah mamahnya.
Sahara berlari-lari kecil dari kamar dan meraih ipad yang diulurkan Rama.
“Aaaa, halo, Sa, gimana kabarnya? Mana Rafael?” Sahara langsung terlibat percakapan dengan Sabira.
“Aku baik. Rafael lagi siap-siap mau ikut ujian SNMPTN. Doain, ya.” Di seberang sana Sabira terlihat segar dan rapih dengan balutan jilbab hijau yang dikenakannya. Dia duduk di kursi roda. Ruang tamu rumahnya terlihat berantakan dengan beberapa buku yang tergeletak begitu saja. Pasti buku-buku latihan milik Rafael.
“Pasti, dong, aku doain. Bilangin jangan gemeter. Aku udah siapin hadiah kalo dia lulus nanti.” Sahara tersenyum tulus.
“Siapa, Mah?” seorang pria, tak lain adalah Cakra, menghampiri dan ikut melongok-longok ke layar ipad. Di tangannya secangkir kopi masih panas mengepul.
“Sabira, Pah,” jawab Sahara. Mendekatkan ipad ke wajah suaminya.
“Oooh, halo Sabira. Mana buayamu? Jadi gak gitu ketemu lusa buat cari mangsa investasi? Hahahaaa…” ujar Cakra disertai gelak tawa.
Sahara ikut tertawa. Di layar Sabira juga ikut terkekeh.
Sahara telah memutuskan. Dia belajar banyak dari Bara dan kisah rumah tangganya, juga kehidupannya sendiri.
Setelah kejadian mengharukan itu, Sahara memutuskan untuk menghentikan hubungannya dengan Bara dan ikut berpartisipasi merawat Sabira. Dia menolak dengan tegas permintaan Sabira untuk menikah dengan Bara. Sahara juga memutuskan rujuk dengan Cakra, dan dengan rela meninggalkan karirnya yang semakin gemilang. Cakra menerima Sahara kembali dengan tangan terbuka. Karena Cakra sendiri sebetulnya juga sulit melepas Sahara.
Bisnis Sahara diambil alih oleh adik Cakra yang telah menyelesaikan studinya di Jerman. Dari Bara Sahara belajar perjuangan untuk keluarga. Dari Sabira dia belajar kesabaran dan keikhlasan. Dari rumah tangganya sendiri dia juga belajar pentingnya kebersamaan. Kisahnya membawa Sahara pada penyadaran akan kesetiaan, sikap terbuka, dan menerima. Yang paling terpenting adalah menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.
Sahara juga meyakini, bahwa bohong jika Sabira tidak terluka seandainya dia benar-benar dimadu. Karena siapapun, pasti akan merasa sakit sekaligus berat saat memiliki madu. Walau diiming-imingi surga, Sahara rasa itu keliru. Meski juga perempuan itu mengatakan rela atau ikhlas dipoligami, itu dusta semata.
Dia pun yang dulu pernah dianggap sebagai pelakor, tepatnya suami Sabira (Bara) sejatinya ikut merasa sakit walau dia diprioritaskan. Hidup sebagai perebut benar-benar menyedihkan. Diliputi ketidaktenangan dan perasaan was-was. Juga tentunya label rendah diri karena hanya bisa merebut dan dicap sebagai perempuan murahan, atau bahkan tidak laku.
Perselingkuhan, membuka lebar mata Sahara bahwa siapa pun yang terlibat hubungan gelap dalam percintaan tidak akan mendapat kepuasan atau jalinan yang maksimal. Kebanyakan memang merasa tertantang dengan perselingkuhan, namun memiliki kehidupan seperti itu bukanlah kehidupan yang membahagiakan. Justru dari perselingkuhan juga dia melihat tidak adanya ketulusan dari sana. Bisa jadi sebagai pelarian atau pemuas nafsu belaka.
Kini kedua keluarga itu menjalin hubungan lebih dekat. Sahara sudah menganggap Rafael sebagai anaknya sendiri, begitupun sebaliknya. Kanker Sabira yang dengan keajaiban Tuhan berhasil disembuhkan (mungkin hadiah atas ketabahan Sabira), berjanji akan lebih fokus memperhatikan Bara dan Rafael. Sahara juga begitu. Jika bukan dia yang membentuk karakter Rama dan Shinta, lalu siapa? []