Ada unggahan di Twitter yang viral dan saya juga ikut berkomentar tentang itu. Unggahan itu berisi tentang video TikTok perempuan muda, dengan konten “Pacarku Posesif Check”. Isi videonya begini, “WhatsApp disadap. Gak boleh ada kontak cowok lain kecuali saudara. Lacak lokasi. Gak boleh Live Instagram sendiri karena banyak cowok genit katanya. Gak boleh keluar rumah kecuali sama dia, sekalinya keluar tanpa dia harus nurut apa yang dia bilang.”
Unggahan ini mendapatkan berbagai macam respon dari netizen, mulai dari respon yang lucu seperti, “Itu pacar apa sistem politik Korea Utara?”, sampai banjir cerita tentang pengalamannya sendiri yang berada dalam toxic relationship.
Saya ikut beropini, “Kalau sudah jadi suami: dipukul, HP disita, gak boleh keluar rumah, dimanipulasi, kekerasan seksual, ekonomi dan verbal. Lalu mohon-mohon minta maaf. Bilang ‘I love you’. Diulang lagi kekerasannya. Jangan mau diginikan. Pacar bukan berlian, meski mahal tetap aja obyek.”
Dari komentar saya, ada yang menanggapi begini, “Ini sih suudzon banget” dan “Yang cewek juga senang-senang saja.” Kemudian saya sertakan beberapa artikel psikologi yang menjelaskan dampak posesif dalam hubungan. Ada juga komentar yang membuat saya geleng-geleng, “Kok bisa ya orang-orang uwu kaya gini.”
Sebagaian orang, seperti dalam video yang viral ini, menganggap posesif adalah normal dan wajar dalam hubungan, baik dalam pacaran maupun dalam pernikahan. Sebagian malah meromantisasi posesif. Saya tak bisa membayangkan memiliki pasangan yang begitu posesif sampai sadap WhatsApp. Ini belum juga bentuk posesif lainnya yang sangat mungkin belum disebutkan.
Memiliki pacar yang posesif seperti itu, layaknya diikuti oleh CCTV tanpa henti. Ini baru pacar sudah ngatur-ngatur lebih dari orangtua, gimana kalau sudah jadi suaminya nanti?
Menurut Psikolog, Verty Sari Pusparini, posesif adalah suatu keadaan dimana seseorang merasa tidak aman dengan hubungan yang dijalani dan dirinya sendiri. Dia tidak percaya diri dan takut bahwa seseorang yang lebih baik darinya merebut pasangannya. Benar, posesif ini seringkali adalah masalah personal seseorang yang kemudian menjadi permasalahan dalam relasi.
Banyak netizen yang menceritakan tentang pengalamannya bersama mantan pasangannya yang abusive, orang-orang di sekitarnya hingga kasus artis di Indonesia. Sungguh saya bersyukur ada teman-teman yang ikut membagi pengalaman lepas dari mantannya yang posesif. Saya bisa membayangkan bahwa hidup mereka jauh lebih baik tanpa orang-orang posesif dan abusive.
Ada yang bercerita bahwa mantannya selalu mendominasi, mengatur cara berpakaiannya, sosial medianya dikuasai (digital dating abuse), padahal dia tak mau tahu kehidupan pasangannya ini. Ada yang bercerita bahwa tetangganya yang seorang guru tak diizinkan memiliki HP oleh suaminya, HPnya selalu dibanting saat mendapatkan panggilan dari temannya.
Ada yang mengatakan, “Biasanya nih ya, biasanya yang posesif malah yang lebih besar peluang selingkuhnya.” Lalu direspon netizen lain, “Asli gua pernah nih ngalamin gak boleh ngobrol sama cowok lain, gak boleh foto rame-rame kalau posisinya dekat cowok, pokoknya gak boleh semua deh. Eh gak lama dari siru dia selingkuhin gua lebih dari 3 kali (beserta sumpah serapahnya).” Ada yang bercerita bahwa pasangan temannya yang posesif kemudian selingkuh, padahal temannya ini sedang hamil.
Okay, saya sudah cukup banyak mengambil contoh dari kasus-kasus nyata dalam Twitter. Di sekitar saya pun, tidak sedikit saya menemukan teman atau kerabat saya yang memiliki kasus serupa.
Dalam tulisannya, Lisa Firestone, Ph.D, seorang Psikolog Klinis, mengatakan bahwa tidak mengherankan jika penelitian menunjukkan bahwa kecemburuan dan perilaku pengawasan yang berkaitan dengan sikap posesif ini, menyebabkan ketidakpuasan hubungan dan perilaku destruktif. Masalah ini memiliki akar dari masa lalu, salah satunya adalah bentuk attachment dengan orangtua.
Menurut data KOMNAS Perempuan, ada 1.815 kasus kekerasan dalam pacaran (KDP) sepanjang tahun 2019. Faktanya, KDP seringkali disembunyikan, jarang dilaporkan dan ditindaklanjuti, sering dianggap bukan masalah serius dan tak jarang juga pelaku dan keluarganya melakukan berbagai langkah untuk menghambat proses penyelesaian masalah secara hukum.
“Korban seringkali disalahkan dalam KDP, yang tidak jarang dilakukan oleh orang yang dikenal baik secara fisik, psikologis ataupun seksual. Kekerasan seksual seringkali berdampak traumatik dan mengubah keseluruhan hidup individu yang membuatnya semakin kompleks. Stigma sosial kepada korban menempatkan perempuan korban kekerasan dalam situasi rentan terjerat bentuk-bentuk kekerasan lain”, ungkap KOMNAS Perempuan.
Contoh lain KDP menurut Yayasan Pulih adalah mengontrol atau mengatur pasangan terkait cara berpakaian, melarang pacar bergaul dengan orang lain, dan pembatasan-pembatasan lainnya. Juga memaki dan atau memanggil dengan kata-kata kasar dan merendahkan seperti “bodoh”, “binal”, “jelek”, dan seterusnya, cemburu berlebihan (posesif), mengancam, memukul atau menyakiti secara fisik, meminta dengan paksa untuk biaya kencan, tidak mengizinkan pacar mengikuti suatu kegiatan, dan lain-lain.
Apa saja tandanya ketika seseorang menjadi korban KDP menurut Yayasan Pulih? Pertama, saat bersama pacar merasa khawatir kena marah. Kedua, bila akan melakukan aktifitas terutama keluar rumah, diwajibkan melapor akan ke mana, dengan siapa dan akan melakukan apa. Kamu di mana, dengan siapa, semalam berbuat apa?
Ketiga, sulit bergaul dengan teman-teman bahkan keluarga sendiri karena dibatasi. Keempat., pacar sering mengancam baik secara kasar atau halus bila ada permintaan yang tidak dituruti. Kelima, sering mengalami luka di tubuh baik berupa memar, benjol, lecet hingga luka. Keenam, dipaksa bercumbu seperti berciuman hingga hubungan seksual dengan dalih sebagai bukti cinta.
Jadi, apa yang harus kita lakukan saat kita atau orang di sekitar kita menjadi korban KDP?
Pertama, cari tahu tentang KDP sebanyak-banyaknya sehingga kita bisa mengenali tanda-tandanya. Kedua, katakan tidak saat pasangan melakukan tanda-tanda itu atau jika berani langsung putuskan hubungan dengannya. Ketiga, jika kita merasa takut dan ragu, maka mintalah bantuan. Ceritakan pengalaman ini pada orangtua, keluarga, pihak sekolah, dokter, psikolog, LSM atau KOMNAS Perempuan dan Yayasan Pulih.
Jangan normalisasi benih-benih kekerasan dalam hubungan seperti posesif ya. Ingat kan, apa yang terjadi pada Lala dan Yudhis dalam film Posesif? “You have the power to change your life. Say no to violence! Speak up for yourself and others.” []