Mubadalah.id – Nawaning konon adalah bentuk plural (jama’) dari kata Ning. Ini adalah panggilan kehormatan bagi keturunan perempuan Indonesia dari poro Kiai dan Nyai, khususnya para pemilik pondok pesantren di Jatim. Mungkin sekarang sudah nyebar ke daerah lain sehingga sebutan ini tidak lagi eksklusif Jatim.
Pendidikan dan Daurah
Terlibat sebagai fasilitator Pendidikan Ulama Perempuan Swara Rahima dan Dawrah Kader Ulama Perempuan Pesantren Fahmina banyak membuatku kenal dengan Nawaning. Lebih-lebih setelah terlibat dalam penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada tahun 2017.
Berbeda dengan poro bu Nyai yang pada umumnya sudah senior, Nawaning peserta pelatihan pada umumnya Mahmud (mamah-mamah muda), bahkan sangat muda alias remaja dewasa. Aku paling takut tanya usia mereka karena tidak siap dengan gap usia yang aduhaiii. Bayangkan, aku sudah ndosen aja mereka ada yang baru lahir. Ngeriiih, gais!
Masio masih muda, Nawaning ini punya otoritas cukup kuat di pondok masing-masing yang jumlah santrinya bisa ratusan bahkan ribuan. Mereka akrab dengan teks-teks berbahasa Arab termasuk kitab kuning, dan sangat familiar dengan konsep-konsep kunci dalam sistem pengetahuan keislaman klasik.
Mereka juga sarjana, ada yang di keilmuan keagamaan, ada pula keilmuan umum, sehingga familiar dengan tradisi ilmiah, objektif dan rasional. Tak sedikit yang juga punya pengalaman kuliah di luar negeri, ada yang di Timur Tengah, ada pula yang di Barat. Beberapa juga berprofesi sebagai dosen, bahkan memegang jabatan penting di kampus.
Pendidikan dan Daurah ini memang berlangsung sebentar. Apalagi jika dibandingkan dengan mondok yang mesti bertahun-tahun. Tapi kalau dibandingkan dengan umumnya training, pendidikan dan daurah ini sangat puwanjang. Sekali pertemuan umumnya berlangsung 3 hari 2 malam, tapi serial loh yaaa alias berkali-kali.
Fokus pada Kajian Metode Studi Islam
Dalam durasi yang terbatas tersebut, Rahima dan Fahmina sama-sama fokus pada kajian tentang metode studi Islam dengan ciri tertentu, antara lain;
- Mensinergikan sumber-sumber pengetahuan tekstual dan kontekstual;
- Memperkuat perspektif keadilan, yang mempertimbangkan persamaan semua pihak dalam setiap relasi (Mubadalah), dan juga perbedaan masing-masing, terutama perempuan (Keadilan Hakiki Perempuan).
Berproses bersama mereka sangat menyenangkan. Apalagi rata-rata sudah familiar juga dengan isu gender. Seperti umumnya Muslimah, mereka pada umumnya juga mengalami kegamangan-kegamangan dalam menghubungkan konsep keadilan gender dengan teks-teks keislaman.
Tidak hanya peserta, fasilitatornya juga dulu melewati fase serupa. Aku sendiri yo mengalami masa-masa kecewa berat, marah, gusar, resah, dan gelisah tapi gak tahu mesti diarahkan pada siapa. Malah jaman semono belum ada training-training gender berbasis keislaman seperti pendidikan dan daurah ini.
Beruntung aku kuliah di jurusan tafsir dan nulis tesis dan disertasi terkait metode tafsir. Proses panjang kuliah sekalian menjadi proses pencarian jati diri sebagai Muslimah. Ditempa dengan sirkel pergaulan dengan sesama aktifis perempuan Muslim, akhirnya nemu perspektif Keadilan Hakiki Perempuan, yang semoga bisa menjawab kegamangan Muslimah lainnya.
Mubadalah dan Keadilan Hakiki Perempuan
Perpaduan Mubadalah kang Faqih Abdul Kodir dan Keadilan Hakiki Perempuan ini memang sama-sama penting dalam proses pemanusiaan penuh perempuan. Pesan utama Mubadalah adalah perempuan sama-sama manusia sehingga jangan dikecualikan dalam prinsip-prinsip dan nilai dasar kebaikan universal.
Islam ingin menjadi rahmat (anugerah) bagi semesta, termasuk bagi perempuan. Islam juga ingin menyempurnakan akhlak mulia manusia, termasuk akhlak pada perempuan. Tujuan pernikahan adalah ketenangan jiwa, termasul jiwa perempuan. Kemanusiaan yang adil dan beradab, termasuk adil dan beradab pada perempuan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat perempuan. Ini adalah pesan utama Mubadalah dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Sementara Keadilan Hakiki Perempuan fokus pada perbedaan perempuan dari laki-laki. Minimal perbedaan secara biologis karena perbedaan sistem reproduksi keduanya, dan perbedaan kerentanan sosial karena sistem patriarki yang memperlakukan keduanya secara berbeda. Pesan utamanya adalah jangan jadikan laki-laki sebagai standar tunggal keadilan bagi perempuan!
Singkat kata, apa yang disebut adil tidak boleh membuat pengalaman biologis khas perempuan seperti mens, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui yg sdh adza (sakit), kurhan (melelahkan dan sakit yang berlipat, menjadi semakin sakit, walaupun laki-laki tidak mengalaminya.
Konsep Adil
Apa yang disebut adil juga tidak boleh mengandung atau berdampak stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda pada perempuan hanya karena menjadi perempuan, meskipun laki-laki tidak memiliki kerentanan sosial sebagai perempuan ini.
Ingin mewujudkan anugerah, akhlak mulia, ketenangan jiwa, kemanusiaan yang adil dan beradab, juga keadilan sosial, maka pastikan dengan cara-cara yang tidak menyebabkan pengalaman reproduksi khas perempuan makin sakit dan tidak pula mengandung atau berdampak ketidakadilan pada perempuan hanya karena menjadi perempuan. Singkat kata, selalu pertimbangkan pengalaman kemanusiaan khas perempuan, baik biologis maupun sosial.
Laki-laki tidak akan mengalami pengalaman biologis dan kerentanan sosial khas perempuan tersebut. Karena itu, pada umumnya tidak tahu dan tidak peka, bahkan menganggap tidak ada, lalu tidak mempertimbangkannya. Sementara, laki-laki masih mendominasi peran sebagai pengambil keputusan, baik dalam perkawinan, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, pendidikan maupun agama, dan bidang lainnya.
Laki-laki tidak mengalami, maka wajar tidak tahu sehingga tugas perempuanlah untuk.memberi tahu dan tidak menganggap pengetahuan tentang pengalaman perempuan ini sebagai sesuatu yang tabu. Laki2 yang sudah diberi tahu pun kadang masih tidak mau tahu. Nah, ini sudah tidak wajar.
Kemaslahatan Islam
Jika kita yaqin bahwa kemaslahatan Islam adalah termasuk untuk perempuan, pasti Islam melarang tindakan apapun yang bagi laki-laki maslahat sementara bagi perempuan mafsadat apalagi mudlarat. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan sistem reproduksi antara laki-laki dan perempuan dan sistem patriarki yang memperlakukan keduanya secara berbeda.
Tentu turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur juga menunjukkan adanya tahapan dakwah Islam menuju kemaslahatan bersama antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, maka sangat mungkin ada ajaran yang bersifat Titik Berangkat, Target Antara, dan Tujuan Final berkaitan dengan kemaslahatan bersama ini.
Mari refleksikan perbedaan dampak biologis dan sosial bagi laki-laki dan perempuan dalam nikah anak. Anak laki-laki tentu tidak akan mengalami hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui, sedangkan perempuan sangat mungkin akan mengalaminya. Jika semua pengalaman ini sudah wahnan ala wahnin saat dijalani oleh perempuan dewasa, maka apalagi masih anak-anak. Tentu pengalaman biologis ini melahirkan dampak sosial yang juga banyak.
Begitupun dengan hubungan seksual saat PMS (gejala menjelang menstruasi yang sakit) atau darah nifas baru saja berhenti. Bagi laki-laki sungguh tidak ada rasa sakit secara biologis dalam kondisi-kondisi ini, namun bagi perempuan tentu berbeda. Kemaslahatan yang dikehendaki Islam tentu saja bukan hanya terbebas dari rasa sakit secara biologis tapi juga secara psikis. Jika rasa sakit istri ini dijadikan alasan untuk tindakan lain yang menyakiti psikis istri, maka mestinya tidaklah sebuah masalah diatasi dengan menambah masalah lainnya.
Forum Lain
Kini, semakin banyak forum offline dan online serupa yang bisa dijangkau oleh Nawaning, baik forum-forum formal seperti perkuliahan, seminar workshop, dan training, maupun forumforum informal seperti pengajian, baik berdurasi sebentar maupun lama. Bahkan beberapa perguruan tinggi Islam sudah pula membuka program studi terkait.
Banyak juga berjumpa dengan Nawaning yang berproses di tempat berbeda. Bahkan ketemu sudah punya ketajaman perspektif keadilan dalam kajian keislaman. Berproses sendiri-sendiri untuk sampai ke frekuensi yang sama.
Melihat otoritas dan kapasitas Nawaning ini sejujurnya aku optimis dengan masa depan pesantren di Indonesia, bahkan masa depan Islam di Indonesia. Mereka adalah perempuan-perempuan yang pengetahuan keislamannya mumpuni, keterikatan primordial dengan tradisi keilmuan klasik sangat kuat, dan jika perspektif Mubadalah dan Keadilan Hakiki Perempuannya makin tajam, maka kuyakin akan jadi kekuatan unik yang bisa mewarnai kesadaran keislaman yang adil bagi laki-laki sekaligus perempuan di Indonesia.
Tentu peran Gawagis (Gus-gus) juga penting. Namun dalam konteks Keadilan Hakiki Perempuan, Nawaning sungguh punya peran yang sangat kunci. Mereka tidak hanya tahu tapi juga sangat mungkin mengalami langsung beberapa bentuk pengalaman biologis dan sosial kemanusiaan khas perempuan. Jika mereka sudah mengenali dan menggunakannya sebagai perspektif, Insya Allah ada banyak cara untuk menjadikannya sebagai kesadaran kolektif pesantren.
Semoga bisa terus berproses bersama di tempat dan dengan cara masing-masing agar bisa terus mendekap erat-erat tradisi keilmuan Islam klasik yang baik (al-Qadim ash-Shalih) sambil terbuka menyerap keilmuan Islam modern yang lebih baik (al-Jadid al-Ashlah) sebagai sarana menebar anugerah Islam bagi semesta, baik semesta kecil keluarga hingga semesta besar bangsa bahkan dunia, baik bagi laki-laki maupun terutama bagi perempuan. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin. []