Mubadalah.id – Lima tahapan besar dilakukan oleh Ir. Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin dalam membangun Indonesia. Lima tahapan tersebut antara lain meneruskan pembangunan infrastruktur, mengembangkan sumber daya manusia, dan membuka pintu investasi selebar-lebarnya. Lalu memajukan agenda reformasi birokrasi, dan mengatur penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran. Entah bagaimana nasib perempuan negeri ini ke depannya.
Namun sepertinya, tujuan yang kita cita-citakan masih jauh panggang daripada api. Karena kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sumber daya alam nyatanya hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu saja. Atas dasar investasi, masyarakat pedalaman yang menggantungkan hidupnya pada kekayaan alam, dan nasib perempuan semakin termarginalkan.
Bagai tikus yang mati di lumbung padi, kekayaan alam semakin terkeruk dan tak banyak yang bisa masyarakat lakukan kecuali hanya melihat lalu lalang kendaraan mobilitas besar yang mengangkut kekayaan dari bumi yang singgahi. Mereka harus tersisih, dan terpaksa meninggalkan desa yang melimpah sumber dayanya demi mengadu nasib ke luar kota bahkan mancanegara.
Kekayaan Alam Mentawa yang Dicuri
Nasib perempuan pedalaman di tengah kehidupan masyarakat adat ini terpotret jelas dalam penelitian Beta Muslimah dkk (2020) yang berjudul program Sepuluh Kisah Peduli masyarakat Adat dan Lokal Terpencil Nusantara selama periode 2014-2020.
Salah satu kisah yang diceritakan dalam temuan penelitiannya adalah mengenai lika liku perjuangan masyarakat adat untuk setara bermartabat di Mentawa. Kehidupan masyarakat adat saat ini seperti keadaan anak piatu: gagap dalam masa transisi dan jauh dari kondisi sejahtera. Pembangunan ekonomi dan investasi di wilayah terisolasi kerap membawa dampak menyusahkan ketimbang menyejahterakan.
Alih-alih memikirkan bagaimana agar masyarakat bisa meningkatkan perekonomian dengan memanfaatkan jasa lingkungan ekosistem hutan, masyarakat adat justru hanya memanfaatkan sumber daya alam secara ala kadarnya. Sedangkan pebisnis atas undangan pemerintah hadir sebentar, mengambil kekayaan alam di sekitar, lalu semua ia bawa keluar.
Eksklusivisme Gender dan Ekonomi di Masyarakat Baduy
Setali tiga uang, permasalahan eksklusifitas gender dan ekonomi juga terjadi masa masyarakat Baduy. Perempuan Baduy secara umum cenderung lebih tertutup dibandingkan kaum laki-laki. Mereka menutup dan membatasi interaksi dengan orang lain, terutama yang berasal dari luar Baduy. Perempuan Baduy selama ini hanya berkutat dengan persoalan di domain privat seperti mengurus rumah, mengasuh anak, dan melayani suami.
Sebenarnya perempuan Baduy juga terlibat dalam urusan produksi dengan mengelola ladang, menenun kain dan berjualan. Ini menjadi bukti kuat bahwa mereka turut meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Namun adat mereka sangat ketat untuk tidak mengikutsertakan perempuan dalam urusan-urusan sosial pemerintahan, sekalipun banyak keputusan tersebut terkait dengan urusan perempuan dan keluarga.
Sepertinya ada konsensus tak tertulis dan pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin: perempuan cukup berkutat di ranah domestik dan laki-laki boleh bergiat di ranah publik. Karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, nasib perempuan Baduy tidak banyak memiliki kesempatan terbuka seperti laki-laki, pun dalam isu-isu strategis baik di level kampung dan desa yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.
Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya tradisi adat yang membatasi peran perempuan yang tidak sama dengan peran laki-laki. Hal ini sangat berpengaruh pada pengetahuan perempuan terhadap proses upaya penambahan lahan yang mereka usulkan. Mereka tidak mengetahui upaya yang sedang masyarakatnya sendiri perjuangkan untuk menjawab kebutuhan lahan.
Nasib perempuan Baduy hanya bisa menerima kepahitan akan lahan yang terus berkurang. Tanpa diberi hak dan akses untuk bertanya kemana lahan yang menghidupi keluarga? Yang mereka tahu, dampak dari semakin sempitnya lahan adalah semakin tertutupnya akses untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Sehingga perempuan Baduy harus memutar otak, mencari penghasilan tambahan sebagai dampak semakin menyempitnya lahan pertanian.
Perempuan Kangean dan Transmigran
Ketidakmerataan ekonomi juga terlihat di wilayah kangean tepatnya di Desa Pajanangger Pulau Kangean menjadi potret buruk pelayanan publik di wilayah terpencil. Ironisnya wilayah ini tidak masuk kebijakan akselerasi pembangunan seperti yang pulau-pulau terluar rasakan. Walaupun kondisinya juga memprihatinkan.
Jalan dari kota kecamatan ke desa ini begitu buruk sampai puncaknya pada musim penghujan ketika jalan sama sekali tak bisa kita lalui. Warga harus menggunakan jalur sungai mengitari hutan bakau ke arah laut. Situasi ekonomi yang tidak begitu bagus dan persoalan infrastruktur yang tak kunjung mengalami perbaikan membuat lebih dari separuh warga usia produktif memilih untuk bekerja di luar desa, misalnya merantau ke Malaysia atau negara-negara Timur Tengah.
Kelompok Sasak dan Perebutan Lahan
Permasalahan ekonomi juga tampak di wilayah Kelompok Sasak pendatang berasal dari desa Masbagi dan Ketangga di Lombok Timur. Sekitar tahun 1980- an mereka bermigrasi ke dusun Tumpangsari dengan alasan ekonomi, yaitu mendapatkan lahan untuk bertani. Mereka mengharapkan kehidupan yang lebih makmur sebagai petani di tempat yang baru. Awalnya tinggal berbaur dan warga desa menerima mereka yang telah lebih dulu bermukim.
Seiring dengan semakin tingginya kompetisi guna memenuhi kebutuhan hidup, mulailah terjadi eksklusi sosial, terutama terkait akses terhadap sumber daya lahan. Tanah merupakan problem laten di Lombok. Saat ini rata-rata kepemilikan tanah penduduk Lombok hanya 0,2 hektar/KK. Persaingan untuk mendapatkan tanah meningkat seiring dengan bertambahnya populasi dan kebutuhan ekonomi. Pada tahun 1999-2000, terjadi perambahan hutan di dekat desa Mekarsari. Kelompok pendatang kesulitan mendapat akses kelola hutan.
Benarkah Pembangunan Ekonomi dan Investasi untuk Masyarakat?
Kemakmuran perekonomian nyatanya hanya terasa oleh kelompok kecil saja dengan merampas hak-hak masyarakat terpencil. Orientasi provit telah menggerus rasa kemanusiaan di balik narasi investasi. Bahkan perempuan yang tinggal di pedalaman mendapatkan beban ganda.
Nasib perempuan pedalaman harus menerima untuk dinomorduakan, dan di satu sisi mereka juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di tengah segala keterbatasan. Kemungkinan terburuknya, perempuan di pedalaman harus meninggalkan desanya demi mencari pemenuhan kebutuhan ekonomi di luar kota bahkan luar negeri meskipun kekayaan alam di daerahnya melimpah ruah. Lantas untuk siapa sebenarnya pembangunan ekonomi dan investasi selama ini? []