• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Nasib Perempuan Pedalaman di Tengah Pembangunan Ekonomi

Kehidupan masyarakat adat saat ini seperti keadaan anak piatu: gagap dalam masa transisi dan jauh dari kondisi sejahtera. Pembangunan ekonomi dan investasi di wilayah terisolasi kerap membawa dampak menyusahkan ketimbang menyejahterakan

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
23/08/2022
in Publik
0
Nasib Perempuan

Nasib Perempuan

478
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Lima tahapan besar dilakukan oleh Ir. Joko Widodo dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin dalam membangun Indonesia. Lima tahapan tersebut antara lain meneruskan pembangunan infrastruktur, mengembangkan sumber daya manusia, dan membuka pintu investasi selebar-lebarnya. Lalu memajukan agenda reformasi birokrasi, dan mengatur penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran. Entah bagaimana nasib perempuan negeri ini ke depannya.

Namun sepertinya, tujuan yang kita cita-citakan masih jauh panggang daripada api. Karena kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya,  dan sumber daya alam nyatanya hanya dinikmati oleh  kelompok masyarakat tertentu saja. Atas dasar investasi, masyarakat pedalaman yang menggantungkan hidupnya pada kekayaan alam, dan nasib perempuan semakin termarginalkan.

Bagai tikus yang mati di lumbung padi, kekayaan alam semakin terkeruk dan tak banyak yang bisa masyarakat lakukan kecuali hanya melihat lalu lalang kendaraan mobilitas besar yang mengangkut kekayaan dari bumi yang singgahi. Mereka harus tersisih, dan terpaksa meninggalkan desa yang melimpah sumber dayanya demi mengadu nasib ke luar kota bahkan mancanegara.

Kekayaan Alam Mentawa yang Dicuri

Nasib perempuan pedalaman di tengah kehidupan masyarakat adat ini terpotret jelas dalam penelitian Beta Muslimah dkk  (2020) yang berjudul program Sepuluh Kisah Peduli masyarakat Adat dan Lokal Terpencil Nusantara selama periode 2014-2020.

Salah satu kisah yang diceritakan dalam temuan penelitiannya adalah mengenai lika liku perjuangan masyarakat adat untuk setara bermartabat di Mentawa. Kehidupan masyarakat adat saat ini seperti keadaan anak piatu: gagap dalam masa transisi dan jauh dari kondisi sejahtera. Pembangunan ekonomi dan investasi di wilayah terisolasi kerap membawa dampak menyusahkan ketimbang menyejahterakan.

Baca Juga:

Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Two State Solution: Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

Alih-alih memikirkan bagaimana agar masyarakat bisa meningkatkan perekonomian dengan memanfaatkan jasa lingkungan ekosistem hutan, masyarakat adat justru hanya memanfaatkan sumber daya alam secara ala kadarnya. Sedangkan pebisnis atas undangan pemerintah hadir sebentar, mengambil kekayaan alam di sekitar, lalu semua ia bawa keluar.

Eksklusivisme Gender dan Ekonomi di Masyarakat Baduy

Setali tiga uang, permasalahan eksklusifitas gender dan ekonomi juga terjadi masa masyarakat Baduy. Perempuan Baduy secara umum cenderung lebih tertutup dibandingkan kaum laki-laki. Mereka menutup dan membatasi interaksi dengan orang lain, terutama yang berasal dari luar Baduy. Perempuan Baduy selama ini hanya berkutat dengan persoalan di domain privat seperti mengurus rumah, mengasuh anak, dan melayani suami.

Sebenarnya perempuan Baduy juga terlibat dalam urusan produksi dengan mengelola ladang, menenun kain dan berjualan. Ini menjadi bukti kuat bahwa mereka turut meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Namun adat mereka sangat ketat untuk tidak mengikutsertakan perempuan dalam urusan-urusan sosial pemerintahan, sekalipun banyak keputusan tersebut terkait dengan urusan perempuan dan keluarga.

Sepertinya ada konsensus tak tertulis dan pembagian tugas berdasarkan jenis kelamin: perempuan cukup berkutat di ranah domestik dan laki-laki boleh bergiat di ranah publik. Karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, nasib perempuan Baduy tidak banyak memiliki kesempatan terbuka seperti laki-laki, pun dalam isu-isu strategis baik di level kampung dan desa yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya tradisi adat yang membatasi peran perempuan yang tidak sama dengan peran laki-laki. Hal ini sangat berpengaruh pada pengetahuan perempuan terhadap proses upaya penambahan lahan yang mereka usulkan. Mereka tidak mengetahui upaya yang sedang masyarakatnya sendiri perjuangkan untuk menjawab kebutuhan lahan.

Nasib perempuan Baduy hanya bisa menerima kepahitan akan lahan yang terus berkurang. Tanpa diberi hak dan akses untuk bertanya kemana lahan yang menghidupi keluarga? Yang mereka tahu, dampak dari semakin sempitnya lahan adalah semakin tertutupnya akses untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Sehingga perempuan Baduy harus memutar otak, mencari penghasilan tambahan sebagai dampak semakin menyempitnya lahan pertanian.

Perempuan Kangean dan Transmigran

Ketidakmerataan ekonomi juga terlihat di wilayah kangean tepatnya di Desa Pajanangger Pulau Kangean menjadi potret buruk pelayanan publik di wilayah terpencil. Ironisnya wilayah ini tidak masuk kebijakan akselerasi pembangunan seperti yang pulau-pulau terluar rasakan. Walaupun kondisinya juga memprihatinkan.

Jalan dari kota kecamatan ke desa ini begitu buruk sampai puncaknya pada musim penghujan ketika jalan sama sekali tak bisa kita lalui. Warga harus menggunakan jalur sungai mengitari hutan bakau ke arah laut. Situasi ekonomi yang tidak begitu bagus dan persoalan infrastruktur yang tak kunjung mengalami perbaikan membuat lebih dari separuh warga usia produktif memilih untuk bekerja di luar desa, misalnya merantau ke Malaysia atau negara-negara Timur Tengah.

Kelompok Sasak dan Perebutan Lahan

Permasalahan ekonomi juga tampak di wilayah Kelompok Sasak pendatang berasal dari desa Masbagi dan Ketangga di Lombok Timur. Sekitar tahun 1980- an mereka bermigrasi ke dusun Tumpangsari dengan alasan ekonomi, yaitu mendapatkan lahan untuk bertani. Mereka mengharapkan kehidupan yang lebih makmur sebagai petani di tempat yang baru. Awalnya tinggal berbaur dan warga desa menerima mereka yang telah lebih dulu bermukim.

Seiring dengan semakin tingginya kompetisi guna memenuhi kebutuhan hidup, mulailah terjadi eksklusi sosial, terutama terkait akses terhadap sumber daya lahan. Tanah merupakan problem laten di Lombok. Saat ini rata-rata kepemilikan tanah penduduk Lombok hanya 0,2 hektar/KK. Persaingan untuk mendapatkan tanah meningkat seiring dengan bertambahnya populasi dan kebutuhan ekonomi. Pada tahun 1999-2000, terjadi perambahan hutan di dekat desa Mekarsari. Kelompok pendatang kesulitan mendapat akses kelola hutan.

Benarkah Pembangunan Ekonomi dan Investasi untuk Masyarakat?

Kemakmuran perekonomian nyatanya hanya terasa oleh kelompok kecil saja dengan merampas hak-hak masyarakat terpencil. Orientasi provit telah menggerus rasa kemanusiaan di balik narasi investasi. Bahkan perempuan yang tinggal di pedalaman mendapatkan beban ganda.

Nasib perempuan pedalaman harus menerima untuk dinomorduakan, dan di satu sisi mereka juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di tengah segala keterbatasan. Kemungkinan terburuknya, perempuan di pedalaman harus meninggalkan desanya demi mencari pemenuhan kebutuhan ekonomi di luar kota bahkan luar negeri meskipun kekayaan alam di daerahnya melimpah ruah. Lantas untuk siapa sebenarnya pembangunan ekonomi dan investasi selama ini? []

 

 

 

 

Tags: Daerah TerluarDaerah TerpencilDaerah TertinggalIndonesiaNasib PerempuanPembangunan
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Patung Molly Malone

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID