Mubadalah.id – Salah satu ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa dalam dunia tasawuf, kata hijab digunakan untuk menyebut penutup/pengahalang dalam menemukan hakikat dan makrifat (mengenal Allah secara dalam).
Semakin dekat manusia dengan Allah, makin terbuka hijab-hijab penutupnya. (Baca juga: “Swarga Nunut Neraka Katut” Tidak Dibenarkan dalam Akidah Islam)
Dalam dunia tasawuf, hijab justru semakin hilang. Untuk itu, bagi mereka yang sedang menuju jalan tasawuf akan melakukan berbagai cara dan proses agar mereka tak terhalang bertemu dengan Allah.
Demikianlah, hijab tak hanya berguna sebagai pemisah ruang, tapi juga sebagai istilah dalam ilmu-ilmu Islam. (Baca juga: Suami Bertanggung Jawab Itu Tidak Berbuat Kekerasan dan Ketidakadilan)
Meski demikian, penggunaan kata hijab tidak bergeser dari makna bahasanya yakni penutup, tirai, penghalang, sekat, dan sejenisnya.
Hijab dalam Ilmu Faraid
Nyai Badriyah mengungkapkan, dalam ilmu faraid (ilmu tentang pembagian warisan), derivasi kata hijab, yakni kata mahjub (yang tertutup).
Kata mahjub, menurut Nyai Badriyah, berguna untuk menyebut ahli waris yang tidak mendapat bagian warisan karena tertutup atau terhalang oleh ahli waris lain yang posisinya lebih dekat dengan almarhum dan almarhumah. (Baca juga: Dear Zavilda TV Berdakwahlah dengan Ma’ruf, bukan Memaksa dan Menghakimi)
Misalnya, Nyai Badriyah mencontohkan, cucu menjadi mahjub karena masih ada orang tuanya (anak almarhum atau almarhumah). (Rul)