Mubadalah.id – Di kuliah Pengantar Ilmu Hukum seorang mahasiswi bertanya: “Bu, bagaimana caranya berlatih agar kita terbiasa menggunakan pendekatan kemanusiaan dalam penerapan keadilan hukum? Sebab banyak hukum yang wajahnya tidak manusiawi, masa ada seorang ibu yang mereka tahan karena mencuri susu di supermarket terpaksa membawa anak balitanya ke penjara?”
Mendapat pertanyaan itu dalam hati rasanya senang sekali. Pertanyaan-pertanyaan kritis keadilan hukum macam ini penting dan sangat bagus menjadi pemantik diskusi.
Sesaat kemudian ingatan saya langsung tertuju pada penjelasan Bu Nur Rofiah tentang kondisi khas biologis dan sosiologis perempuan yang membuat perempuan menjadi rentan.
Secara biologis, perempuan memiliki organ reproduksi yang berbeda dengan laki-laki. Karena perbedaan itu, maka fungsi reproduksinya juga berbeda. Perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Sementara laki-laki tidak sama sekali memiliki pengalaman itu semua.
Pengalaman Biologis Perempuan
Rentetan pengalaman biologis yang hanya perempuan alami, sementara laki-laki tidak mengalaminya ini, kemudian menimbulkan anggapan bahwa ini bukan masalah kemanusiaan melainkan masalah perempuan saja. Jika ada gangguan-gangguan, pelanggaran terhadap pemenuhan hak-hak tubuh perempuan, hak-hak reproduksi perempuan, bahkan kejahatan terhadap tubuh perempuan, maka dianggap ini hanya masalah perempuan, bukan masalah kemanusiaan.
Maka jangan heran ketika terjadi kasus perkosaan biadab yang menimpa Yuyun sampai meninggal dunia, hebohnya sebentar saja kemudian berlalu.
Selain pengalaman bilogis, perempuan juga memiliki pengalaman sosiologis yang berbeda, apalagi dalam kultur patriarki yang man centered. Perempuan sering disisihkan, anggapannya kurang cakap, kurang kontributif, dianggap genit, mengganggu, matre, lemah, sebagai sumber maksiat, dan banyak anggapan-anggapan negatif lainnya. Sehingga berdampak pada keseluruhan hidup perempuan.
Dalam bahasa kerennya, perempuan mengalami stereotip, stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan. Atau ketidakadilan gender. Ketidakpahaman terhadap pengalaman biologis dan sosiologis perempuan ini membuat orang kemudian tidak berempati pada pengalaman perempuan. Parahnya tidak hanya ketiadaan empati, banyak juga yang memposisikan perempuan korban sebagai sumber permasalahan.
Mewujudkan Keadilan Hukum bagi Korban
Dalam konteks keadilan hukum, kita dapat melihat ketiadaan empati pada korban misalnya pada kasus perkosaan. Tidak sedikit orang menyalahkan perempuan korban sebagai penyebab terjadinya perkosaan. Mereka semua bilang jika perempuan itu genit, menggoda, disalahkan karena pakaiannya minim. Lalu kita abai terhadap kebutuhan korban untuk mendapatkan perlindungan, keadilan apalagi pemulihan akibat trauma.
Anggapan ini tidak hanya datang dari masyarakat, aparat penegak hukum pun banyak yang demikian. Tidak sedikit hakim yang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan korban.
Korban anggapannya pemberi peluang terjadinya perkosaan, atau mereka pertanyakan kenapa tidak berusaha melawan. Sudut pandang yang hakim gunakan adalah sudut pandang non korban yang tidak memahami situasi, pengalaman dan perasaan korban. Sudut pandang pandang khas patriarkhi yang melihat perempuan hanya sebagai objek seksual.
Dengarkan Pengalaman Perempuan!
Lebih jauh, pengabaian terhadap pengalaman perempuan akan semakin menjauhkan kita dari keadilan substantif. Seorang ibu terpaksa mencuri susu karena dalam kultur sosial kita, perempuanlah yang berperan sebagai penanggungjawab makanan keluarga.
Oleh karena itu perempuan miskin menjadi kelompok yang amat rentan karena kebutuhan dasar mereka tidak tercukupi sedangkan bantuan pemerintah sering tidak tepat sasaran. Yang tak kalah miris, di beberapa daerahkita itemukan, saat covid kemarin ada keluarga yang tidak terdata sebagai penerima bantuan karena dalam kartu keluarga kepala keluarganya adalah seorang perempuan.
Akhirnya, menjawab pertanyaan mahasiswa tadi. Salah satu dari sekian banyak cara agar kita terbiasa menggunakan pendekatan kemanusiaan dalam penerapan keadilan hukum adalah belajar mendengarkan, belajar berempati dengan cara memvalidasi pengalaman perempuan dan/atau korban.
Bukan karena kita tidak mengalami maka masalah itu tidak ada, dianggap tidak penting dan kita bisa begitu mudah mengabaikannya. Karena itu kita harus mendengarkan pengalaman perempuan untuk mewujudkan keadilan hukum di negeri ini. []