Mubadalah.id – Samara, sebuah istilah baru yang berusaha mengimbangi istilah Samawa yang muncul lebih dahulu, ternyata menyimpan makna filosofi yang luhur. Kedua istilah tersebut sekurangnya memiliki dua kesamaan. Selain memang keduanya sama-sama popular, secara substansial juga mengandung nilai keluhuran yang sama. Melalui penjelasan ini, saya akan membahas tentang tafsir samara.
Saking populernya, nyaris para pengucapnya lebih akrab dengan kedua istilah itu daripada mengenal substansinya. Dengan kata lain, mayoritas umat hanya gemar mengucapkan tanpa peduli makna besar di balik kepopulerannya. Jika saja lautan maknanya diselami, pastilah pengucapannya akan jauh lebih indah dari yang pernah terucap.
Samara dan Samawa adalah akronim dari Sakinah Mawaddah Warahmah, tiga lambang besar kedamaian universal. Kami menyebut universal-walaupun sebenarnya ketiga term itu kita sematkan untuk dua pengantin baru yang cakupannya sangat kecil-karena relasi universal yang damai berawal dari relasi lokal yang damai pula.
Dalam tulisan ini, penulis bermaksud menyajikan makna term di atas dan tafsir samara menurut imam Fakhruddin Muhammad bin Umar ar-Rozi as-Syafi’i (w. 604 H) yang tertuang dalam Mafatih al-Ghaib, masterpiece-nya dalam bidang tafsir al-Qur’an.
Makna Sakinah
Sakinah adalah bentuk masdar dari sakana-yaskunu-sukunan-wa sakinatan yang berarti tenang. Ia merupakan antonim dari al-harakah yang berarti bergerak. Terdapat banyak kata sakinah atau yang sederivasi dengannya dalam al-Qur’an. Di antaranya disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 248, Allah berfirman;
وَقَالَ لَهُمۡ نَبِيُّهُمۡ إِنَّ ءَايَةَ مُلۡكِهِۦٓ أَن يَأۡتِيَكُمُ ٱلتَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٞ مِّن رَّبِّكُمۡ وَبَقِيَّةٞ مِّمَّا تَرَكَ ءَالُ مُوسَىٰ وَءَالُ هَٰرُونَ تَحۡمِلُهُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَةٗ لَّكُمۡ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ
“Dan, Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya tabut kepadamu. Di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu, dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh malaikat’. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagimu jika kamu beriman.”
Sakinah dalam ayat di atas dan di ayat-ayat lain, sejatinya adalah ungkapan dari suara ketenangan dan rasa aman. Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan;
وَاعْلَمْ أَنَّ السَّكِينَةَ عِبَارَةٌ عَنِ الثَّبَاتِ وَالْأَمْنِ، وَهُوَ كَقَوْلِهِ فِي قِصَّةِ الْغَارِ: فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ [الْفَتْحِ: 26] فَكَذَا قَوْلُهُ تَعَالَى: فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ مَعْنَاهُ الْأَمْنُ وَالسُّكُونُ
“Ketahuilah bahwa sakinah adalah ungkapan dari suara ketenagan dan rasa aman, seperti dalam kisah saat baginda Nabi bersama Abu Bakr di gua Tsur, Allah berfirman, ‘Lalu Allah Turunkan ketenangan kepada Rasulullah dan kaum mukminin’ (al-Fath: 26). Demikian halnya dalam firman Allah, ‘Di dalam Tabut (sebuah kotak yang di dalamnya tersimpan Taurat) ada ketenangan dari Tuhanmu’, maknanya adalah rasa aman dan kenyamanan.” (Mafatih al-Ghaib (juz 6, hal. 508))
Makna Mawaddah
Sebagaimana sakinah, mawaddah juga merupakan bentuk masdar dari wadda-yawaddu-waddan/widdan-wa mawaddatan yang berarti cinta yang sempurna (al-mahabbah at-kamilah). Seperti yang kita ketahui, cinta yang sempurna tak terhambat oleh apa pun.
Namun, mawaddah ini masih sangat terikat oleh syahwat, fisik yang tampan dan cantik dan banyak hal lainnya. Oleh karena mawaddah adalah cinta, maka segala hal yang terkait dengan cinta-termasuk tahap awal kemunculannya, yaitu melihat fisik-tetap melekat dan tak bisa terlepaskan kecuali setelah naik tingkat menjadi rahmah.
Dari itu, saya sering sampaikan, bahwa cinta suci tidak pandang rupa, harta, tahta dan kasta. Tetapi untuk mencapainya pasti melalui tahap melihat keseluruhan atau salah satunya.
Tanpa cinta, mustahil umat dapat berkembang biak dengan baik. Cintalah yang mendorong kita mengorbankan segalanya. Terutama cinta kepada pasangan dan kepada anak. Tanpa cinta kepada istri dan anak, tidak ada suami yang sudi banting tulang mati-matian demi menyejahtrakan mereka.
Demikian pula istri, sejak proses hamil hingga melahirkan bukanlah pilihan menyenangkan. Tetapi karena Allah titipkan cinta di sana, semua proses itu berubah menjadi sebuah kenikmatan.
Imam ar-Razi bilang;
وَاعْلَمْ أَنَّ الله تَعَالَى فِي إِيجَادِ حُبِّ الزَّوْجَةِ وَالْوَلَدِ فِي قَلْبِ الْإِنْسَانِ حِكْمَةً بَالِغَةً، فَإِنَّهُ لَوْلَا هَذَا الْحُبُّ لَمَا حَصَلَ التَّوَالُدُ وَالتَّنَاسُلُ وَلَأَدَّى ذَلِكَ إِلَى انْقِطَاعِ النَّسْلِ
“Ketahuilah, bahwa ada hikmah besar di balik diciptakannya cinta terhadap pasangan dan anak yang direkatkan pada hati kita masing-masing. Karena tanpa cinta, mustahil ada yang rela melahirkan, merawat anak dan seterusnya. Hal ini akan berujung pada terputusnya riwayat hidup umat manusia.” (Mafatih al-Ghaib (juz 7, hal. 162))
Makna Rahmah
Rahmah yang berarti kasih sayang ini ternyata seakar kata dengan ar-Rahman (maha pemberi kasih), ar-Rahim (maha pemberi sayang) dan rahim(un) (rahim perempuan). Karena ketiganya berasal dari satu akar yang sama, tentu memiliki substansi makna yang sama, substansi kasih sayang. Contoh paling dekat adalah rahim perempuan. Kita sebut rahim karena ia berada dalam kefungsian sebagai wadah kasih sayang untuk calon manusia yang akan meneruskan misi kekhalifahan di muka bumi ini.
Bayangkan saja, selama sembilan bulan bahkan ada yang sampai empat tahun, terproses menjadi manusia, bernafas, menyerap energi, bergerak, dan tumbuh di dalam wadah kasih sayang tersebut. Kalau bukan karena Allah meletakkannya di wadah kasih sayang, mustahil dapat melalui proses itu.
Terlebih saat ia keluar dengan selamat. Sehingga sebagian ulama berusaha membedakan cinta dan kasih sayang melalui sebuah kalimat pendek, “Berjuang demi cinta sejatinya adalah memperjuangkan hajat dan kebutuhan dirimu, sedang berjuang demi kasih sayang murni berjuang untuk selain dirimu”.
Contoh lain, seperti yang ar-Rozi tulis, jika salah seorang sedang berada dalam bahaya bersama anaknya, jelas mustahil demi menyelamatkan diri lalu menelantarkan sang anak, membiarkannya dalam bahaya. Justru yang ada malah berani menanggung resiko demi keselamatan sang buah hati. Kata ar-Rozi, Wama dzalika lisababil mahabbah wainnama huwa lisababirrahmah (Sikap demikian tentu bukan karena dorongan cinta, melainkan karena dorongan kasih sayang semata).
Pengertian lebih konkret tentang mawaddah dan rahmah, seperti yang sebagian ulama sebutkan, Mawaddat(un) bil mujama’ah wa rahmat(un) bil walad (Cinta itu akan tertuang penuh sebab hubungan seksual, dan kasih sayang akan tercurah limpah karena lahirnya seorang anak). Orang yang secara zahir-batin telah keluar dari mawaddah dan benar-benar memasuki rahmah, tidak lagi memperhitungkan fisik; tak peduli mulus atau keriput, langsing atau gendut, tua atau muda, hitam atau putih. Fisik bukan lagi berharga di mata mereka.
Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa sakinah adalah tujuan tertinggi dalam misi perjalanan rumah tangga. Di mana misi ini hanya bisa ditempuh dengan dua kendaraan; kendaraan pertama bernama mawaddah dan yang kedua bernama rahmah.
Kendaraan mawaddah ini sudah siap membawamu dari terminal yang bernama mujama’ah (seksual) dan akan transit di terminal yang bernama tawalud (melahirkan keturunan). Dari sinilah kendaraan rahmah siap mengantarkanmu ke tempat tujuan, yaitu sakinah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab. []