Mubadalah.id – Di masa ketika sudah dianut banyak orang, Nabi Muhammad masih setia dan disiplin untuk tidak serakah dengan rumus hidup Nabi yang sederhana namun revolusioner. Rumus hidup Nabi itu terkandung di dalam ungkapan sederhana “berhenti sebelum kenyang“—tidak hanya kenyang jasmani, namun juga dari kenyang politik, kenyang kultural, kenyang eksistensial dan segala kenyang-kenyang kebendaan temporer lainnya.
Suatu rumus hidup Nabi bertransformasi yang mengandung ilmu kesehatan multi-dimensi (psikologis, fisiologis dan harmoni kosmologis). Sebuah formula pendidikan interdisiplin buat manusia yang mampu mencegahnya agar tak binasa oleh keserakahannya sendiri.
Budaya menahan diri pula terpendar dari peristiwa Thaif saat ia terlempari batu dan kotoran oleh penduduk sana. Nabi Muhammad memilih untuk visioner, siapa tahu anak-cucu mereka berkesempatan mereguk penyadaran ini. Satu sikap yang mungkin akan masyarakat modern tuduh sebagai utopian, irrasional.
Tapi ia tetap, Muhammad men-tidak-kan tawaran malaikat yang ingin menimpakan gunung ke kaum tersebut. Terbukti dengan ketekunannya, konsistensi dan kesabaran, hal itu menjadi nyata terkabul. Barangkali sekelumit fragmen hidupnya itu yang mempengaruhi penyair besar Jerman, Johann Wolfgang von Goethe semasih muda, menuliskan himne Mahomets Gesang.
Intisari Ihram
Semangat, dan rumus hidup Nabi yang berorientasi pada keabadian, membawa kita agar membaca Muhammad. Umpamanya dalam intisari ihram, bahwa setiap manusia perlu mentransendensikan dirinya melampaui rumbai-rumbai gelar, sematan pangkat, jabatan, kedudukan politis, kelas sosial. Lantas berubah menjadi “sama rata sama rasa” di hadapan-Nya. Bahwa pada prinsipnya kita sama-sama manusia yang hanya terlapisi sehelai kain putih dan tanpa jahitan sama sekali.
Aspek-aspek kehidupan perlu kita orientasikan untuk menuju rahmatan lil-‘alamin, yang di dalamnya mencakup spektrum sangat luas (manusia, alam semesta, dan Tuhan sebagai pusatnya); melingkupi kemanusiaan, pemeliharaan lingkungan, ghiroh penempaan spiritual. Tidak hanya sebatas rahmatan lil-‘arabiyin, lil-muslimin, lil-jawiyyin dan seterusnya.
Bukan saja sebangsa, sesuku, seagama, apalagi separtai, seormas, sealmamater, sekomunitas. Tapi semua, hewan, tetumbuhan, tanah, udara, air, cakrawala, mentari, langit, dan bahkan tidak hanya di bumi, melainkan seluruh semesta raya.
Tapi, ya Muhammad. Agaknya terlalu naif aku memuji-mujimu di bibir sambil masih tetap meneladani Abu Jahal dalam tindakan dan pikiranku. Strategi hidupmu yang nir-keserakahan sama sekali jauh dibandingkan kekancilan dan keiblisan watak perilakuku. Politikmu nan bijak masih sulit kujangkau melampaui rasialisme cebong-kampret negeri batinku.
Kemuliaan Nabi Muhammad SAW
Keikhlasanmu, puasamu, keuletan dzikir dan istighfarmu, bagai dasar bumi dan ujung langit dengan kepongahan, kedangkalan, dan pelampiasan berahi nafsu-nafsu materialisme dalam lubuk jiwaku. Laku prihatinmu, thariqoh berperih-pedih hidupmu yang masih rela tidur di atas sesobek pelepah kurma hingga ada jejak goresan di pipimu, yang kemudian membuat Ibnu Mas’ud yang sedang melintas terheran, “ini orang menguasai seantero jazirah Arab, tapi hidupnya seperti ini.”
Kemuliaan itu adalah semesta agung dibandingkan debu-debu kerdil nan hina dari sikapku yang tolol, serta tidak sadar bahwa aku ini tolol.
Ya Muhammad, satu tanganku menjunjung tinggi keadilan dan pluralisme, sambil tanganku yang satunya menudingkan kebencian kepada pihak intoleran. Mulut hati, mulut jasmaniku fasih mengkampanyekan perdamaian dunia. Namun sambil diam-diam aku menyumpah dan mendeklarasikan perang terhadap sekelompok manusia lain yang berbeda denganku.
Muhammad, sanggupkah aku menirumu? Bisakah aku meneladanimu? Mampukah aku memuhammadkan segala tindak-tanduk hidupku yang kebak dosa dan maksiat ini, yang seakan-akan aku mengemis neraka untuk diriku sendiri?
Ya Rasuli, ya Habibi, akan jadi apalah umatmu satu ini jika tidak engkau ciprati denga cahya suci-Nya. Perkenankan aku, sekali lagi, untuk meneguhi keislamanku mulai dari awal lagi. Mulai dari nol lagi. Setiap hari, setiap nafas, sampai ajal menjemputku nanti.[]