Mubadalah.id – Pada literatur kaum sufi, terdapat beberapa istilah seperti wali abdal yang kita gunakan untuk mengkategorikan waliyullah. Pembagian ini berdasarkan tugas dan ijtihad jasmani-rohaninya guna ber-taqarrub pada-Nya. Ada wali quthub (bertugas menjaga dua kutub bumi agar tidak mencair, tiap masa jumlahnya hanya satu dan menjadi pemimpin dari seluruh waliyullah di masanya. Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani adalah salah satunya.
Kemudian ada wali autad (wali paku/pasak bumi kalau istilah orang Jawa, bertugas menjaga kestabilan dan keseimbangan bumi dari 4 wilayah berbeda). Wali nuqabaa’ wa nujabaa’ (para wali yang bertugas untuk memperdalam hukum syara’ dan mengeluarkan manusia dari kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam hatinya). Wali abdal, yang bertugas menjaga ketujuh iklim yang ada di bumi, mereka diberi kekuasaan untuk menunjuk pengganti jika mereka wafat, dan masih banyak lagi.
Para wali ini adalah mereka yang tidak memiliki kekhawatiran dan kesedihan dalam hatinya (QS. Yunus ayat 62). Sebagaimana ta’rif yang Syekh Muhammad Sulaiman Al-Asyqar sampaikan dalam kitab Zubdah al-Tafsir min Fath al-Qadir, para waliyullah ini merupakan kaum mukmin pilihan, mereka melakukan ketaatan dan menjauhi segala bentuk larangan yang terdapat dalam syara’.
Menjadi Insan Terpilih
Mampukah kita menjadi salah satu dari sekian banyak insan yang memiliki derajat kewalian tersebut? Menjadi diri mukmin yang terpilih? Pengorbanan apa yang telah kita lakukan untuk mendekati menjadi kekasih-Nya? Sejauh mana bukti ketaatan yang telah kita lakukan? Dan larangan apa saja yang telah kita jauhi untuk sebuah bentuk ijtihad diri?
Tentu kita bukan Nabi, namun besar kesempatan bagi kita semua untuk menjadi kekasih-Nya dengan meneladani nilai-nilai Islami yang terdapat dalam diri Nabi. Pasti banyak sekali dari diri kehidupan pribadi dan sosial Nabi yang dapat kita contoh dan istiqamahkan sehari-hari, bahkan dengan tersenyum, selalu menebar aura positif, dan menyenangkan hati orang lain dalam kehadirannya saja bisa menjadi salah satu wasilah untuk masuk kriteria wali.
Tentu kita sering menyaksikan di sekitar kita, ada saja masyarakat yang mendapatkan khusnul khatimah di akhir hayatnya. Lalu menyisakan banyak kisah baik yang menjadi pembicaraan setelah kematiannya. Hal tersebut sebab amal semasa hidupnya yang ia istiqamahkan. Bukan terletak pada besar-kecil bentuk amalnya, melainkan konsistensinya.
Konsistensi merupakan ijtihad terbesar bagi seorang mukmin berdasarkan kemampuannya. Tentunya amal tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai syara, baik yang bersifat vertikal, maupun horizontal.
Derajat Kewalian
Konon, yang dapat mengetahui derajat kewalian seseorang adalah seorang wali pula. Dengan jumlah 124ribu orang wali setiap abadnya sesuai tugas dan maqamnya. Tentunya saat ini juga banyak wali yang berada di sekitar kita. Bukan tugas kita memilah mana manusia yang merupakan wali atau bukan. Namun justru tugas kita adalah berusaha untuk menjadi wali itu sendiri.
Ini tampak mustahil, namun salah satu nasihat almarhum Ayah saya berbunyi demikian. Menurut saya ini adalah definisi yang lebih relevan untuk era saat ini, tentang bagaimana manusia dapat dengan baik menjalankan syariat yang tidak saja ditujukan dan memiliki manfaat untuk diri sendiri. Melainkan juga untuk masyarakat, bahkan alam secara global. Bukankah menjadi kekasih Allah dan menjadi umat Nabi yang baik telah ada tuntunannya?
Tidak perlu menunggu karomah yang ‘wow’ menurut kita untuk membuktikan apakah seseorang itu dicintai Tuhannya apa tidak. Lihat saja bagaimana ia membuktikan ketaatan pada Tuhannya itu dalam kesehariannya.
Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Al-Fatawi Al-Haditsiyah juga menjelaskan, bahwa para wali itu memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan Allah Swt. karena mereka memiliki amanah secara spiritual, intelektual, maupun kultural kemasyarakatan, dengan bekal karomah sebagai buah dari usaha jasmani-rohani yang ia lakukan tersebut.
Anomali Iklim
Melihat fenomena yang terjadi saat ini, perubahan dan anomali iklim yang berdampak pada: curah hujan yang tinggi dan tidak menentu, mengakibatkan banjir bandang dan longsor; panas yang tidak terkendali temperaturnya. Bahkan mulai mengikis es-es di dua belahan kutub bumi, kebakaran-kebakaran hutan di berbagai belahan dunia, yang tentunya mempengaruhi habitat flora dan fauna; cuaca ekstrem yang mempengaruhi tingkat kesehatan manusia; dan masih banyak lagi.
Di manakah para wali abdal? Masihkah kita menyangsikan kehadirannya di sekitar kita? Mereka ada, namun kita tidak pernah mendukung ijtihadnya. Mereka ada di berbagai belahan dunia, ada yang dengan ilmu sainsnya bergerak untuk mengurangi pemanasan global.
Ada yang dengan ilmu batinnya mengajak manusia untuk hidup sederhana dan zuhud. Ada yang dengan ilmu sosialnya menghimbau masyarakat untuk perduli kepada lingkungan. Tanpa mereka, iklim dunia tidak akan terkendali, dan dunia ini akan segera berakhir.
Sebagai khalifah di muka bumi, juga sebagai umat dari Kanjeng Nabi, sudah seyogyanya kita memiliki kesadaran diri untuk mengambil bagian dari tugas ini, tidak lain untuk menjaga kelestarian dan kelangsungan kehidupan setelah kita, menjaga nilai-nilai Islami yang diajarkan Kanjeng Nabi.
Pentingnya Menjaga Alam
Jika menurut teorinya seorang wali abdal adalah mereka yang memiliki amaliyah lahiriyah yang selalu diam, terjaga dari tidur, lapar, dan uzlah. Maka indikator-indikator tersebut dapat kita semua lakukan dengan: diam, jika diam adalah emas. Maka untuk menjaga alam dan kestabilan iklimnya, diam yang baik adalah dengan menyuarakan dan mengedukasi khalayak umum tentang pentingnya menjaga alam.
Dan diam atas segala bentuk perlawanan dan penolakan dengan tetap terus bekerja dan berusaha. Terjaga dari tidur untuk memikirkan cara, strategi, dan kolaborasi yang dapat dilakukan bersama untuk menjaga kelestarian alam dan kestabilan iklim. Menjaga lapar dari urusan-urusan duniawi yang dapat memberikan kontribusi pada perusakan alam, seperti eksploitasi alam, pembuangan limbah rumahan.
Belum lagi bertambah dengan industri ilegal, penggunaan plastik dan bahan-bahan yang membahayakan lingkungan secara berlebihan. Uzlah dari pola hidup konsumtif (sandang-pangan-papan) yang tidak mendatangkan manfaat pada diri pribadi, masyarakat, dan kesemestaan.
Jika ada kesempatan beasiswa saja kita bersungguh-sungguh melengkapi persyaratannya. Lantas mengapa saat Alquran dan Sunnah telah memberikan banyak petunjuk dan ketentuan untuk menjadi kekasih-Nya, kita masih ragu-ragu dan menunda? Bukankah guru-guru kita semua telah menunjukkan jalannya untuk kita ikuti dan teruskan perjuangannya, baik untuk saat ini atau juga kelak saat mereka telah tiada? Waallahu a’lam bishshawwaab. []