Mubadalah.id – Jika merujuk penulis kontemporer, Abd al-Hakim al-Unais tentang hak anak dalam beragama, maka ia menyebutkan bahwa anak berhak untuk tumbuh kembang dalam keimanan kepada Allah Swt, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan keputusan takdir-Nya (QS. al-Thur: 21).
Hak anak dalam beragama ini tentang pentingnya mengajarkan kepada anak tentang adab dan rasa takut pada azab neraka (QS. al-Tahrim: 6).
Kemudian, hak anak hidup bersama keluarga untuk bertakwa kepada Allah Swt, serta meyakini dan merasakan kehadiran-Nya dalam seluruh kegiatan pengasuhan yang dilakukan (QS. al-Baqarah: 233).
Sementara itu, dalam beberapa hak anak terkait ekonomi, sebaiknya orang tua harus mempersiapkan harta yang cukup untuk anaknya. Lalu idak membagikan semuanya untuk orang lain atau untuk tujuan sosial (QS. al-Baqarah: 266).
Kemudian hak untuk menerima bagian pada saat ada pembagian waris keluarga, sekalipun ia bukan ahli waris (QS. al-Nisa : 8). Kemudian hak untuk memperoleh hak waris sebagaimana orang dewasa jika mereka masuk dalam kategori ahli waris (QS. al-Nisa: 1)
Pendekatan al-Unais dalam tafsir ayat-ayat mengenai hak anak ini membuka lebar-lebar. Terutama bagaimana inspirasi bisa merujuk pada al-Qur’an untuk pemenuhan dan perlindungan anak.
Sekalipun, dengan pendekatan ini, juga memunculkan pandangan yang sulit anak perempuan terima pada konteks kita sekarang.
Misalnya, al-Unais tidak boleh anak perempuan yang belum dewasa untuk menikah.
Al-Unais juga menyatakan bahwa anak perempuan yatim yang menikah dengan pengasuhnya sendiri itu berhak atas mahar secara penuh dan tidak boleh terkurangi (QS. al-Nisa: 3).
Hak-hak terakhir itu jelas sekali memperlihatkan konsep perindungan yang sangat personal. Ketika tataran lain di luar konteks keluarga sebagai pelindung belum eksis seperti kelembagaan perlidungan anak yang sediakan lembaga negara. (Rul)