Mubadalah.id – Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu baru-baru ini menerbitkan laporan catatan tahunan (Catahu) 2022.
Peluncuran Catahu 2022 ini disampaikan secara luring di Hotel Grand Trisula Indramayu pada Selasa, 20 Desember 2022.
Catahu yang diluncurkan ini merupakan dokumentasi data-data kekerasan terhadap perempuan yang dialami sepanjang bulan November 2021 sampai Desember 2022 di Indramayu.
Adapun jumlah kasus yang ditangani yayasan Selendang Puan Dharma Ayu selama setahun itu sebanyak 25 kasus, yang terdiri dari 1 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), 19 kasus Kekerasan Seksual, 3 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), 2 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Dalam peluncuran Catahu tersebut, Ketua Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu, Yuyun Khoerunisa mengatakan bahwa penyebab terjadinya kasus tersebut karena pola asuh anak kerap kali membebankan pada neneknya karena orang tuanya berangkat keluar negeri.
Penyebab yang lain juga termasuk pergaulan beresiko antar orang muda, perkenalan melalui media sosial, dan persoalan beban ekonomi.
Sedangkan masalah yang mempengaruhi penyebab tersebut yaitu rendahnya pendidikan, perkawinan anak, putus sekolah dan kurangnya edukasi terkait kesehatan reproduksi bagi remaja.
Serta kurangnya pelibatan orang muda dalam pengambilan pengambilan keputusan di dalam keluarga dan masyarakat.
“Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu telah banyak melakukan layanan konseling dan pendampingan hukum terhadap kekerasan berbasis gender, juga memberikan bantuan biaya pendidikan, bantuan persalinan bagi korban pemaksaan perkosaan yang mengalami kehamilan dan bantuan sosial,” kata Yuyun, seperti dalam rilis yang Mubadalah.id terima.
“Serta melakukan upaya pencegahan kekerasan berbasis gender melalui kegiatan sosialisasi, dan diskusi terfokus. Serta medorong kebijakan yang inklusif, ramah terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Indramayu,” tambahnya.
Berharap Ada Dukungan
Lebih lanjut, Yuyun berharap adanya dukungan dari pemerintah daerah, kepolisian, dan kejaksaan. Serta masyarakat sekitar dalam upaya penanganan bagi korban kekerasan berbasis gender.
“Minimalnya ada dukungan moral, dengan tidak memberi stigma negatif terhadap korban dan keluarganya. Serta membantu korban agar ia mampu keluar dari trauma kekerasan yang ia alami,” jelasnya.
Sehingga, lanjut, kata Yuyun, dengan dukungan penuh tersebut, korban akhirnya berani bersuara, dan keadilan bisa kita tegakkan. “Yakni dengan memberikan hukuman setimpal bagi pelaku,” tukasnya. (Rilis)