• Login
  • Register
Sabtu, 7 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Landasan Berpikir Pentingnya Ke-Ulama-an Perempuan

Mubadalah Mubadalah
29/11/2016
in Aktual
0
keulamaan

keulamaan

15
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Makna ulama yang awalnya bisa memasukkan orang yang ahli dalam bidang keilmuan apapun, pada kenyataannya juga telah mengalami penyempitan makna pada hanya orang yang ahli agama (Islam).

Terminologi ulama di masyarakat selama ini telah bergeser sedemikian rupa pada makna yang sangat maskulin. Awalnya kata ulama secara bahasa adalah bentuk jamak dari isim fa’il ‘alimun yang berasal dari kata alima-ya’lamu yang artinya mengetahui. Derivasi dari kata ini juga membentuk masdar ‘ilm yang artinya pengetahuan. Berarti kata ‘alimun adalah orang yang mengetahui. Kemudian dijamakkan menjadi ulama, artinya orang-orang yang berilmu atau berpengetahuan. Bentuk jamak yang seperti ini dalam ilum nahw disebut jamak taksir. Meskipun kata ulama diambil dari bentuk tunggal yang mudzakkar (male), tetapi maknanya tidak dikhususkan pada laki-laki. Karena kata ‘alimun jika akan dikhususkan ke dalam jenis kelamin laki-laki mengikuti bentuk jamak mudzakkar salim. Oleh karena itu bentuk jamak taksir ulama tidak bisa dimaknai secara spesifik pada jenis kelamin tertentu. Dengan demikian makna yang terkandung di dalamnya bisa menunjuk langsung dua jenis kelamin sekaligus, yaitu laki-laki dan perempuan. Ini artinya kata ulama sejatinya di dalamnya terdapat laki-laki dan perempuan yang berilmu. Namun demikian, pada kenyataannya, kata ini mengalami pergeseran makna yang luar biasa.

Makna ulama yang awalnya bisa memasukkan orang yang ahli dalam bidang keilmuan apapun, pada kenyataannya juga telah mengalami penyempitan makna pada hanya orang yang ahli agama (Islam). Di Indonesia, kata ulama tidak lagi menunjuk para ilmuwan atau orang-orang ahli ilmu apa saja dan siapa saja. Melainkan, ia memiliki makna khusus yang merujuk pada jenis kelamin tertentu dan keilmuan tertentu. Hampir menjadi jamak pengetahuan di masyarakat luas,  bahwa ketika disebut ulama maka yang terbayang adalah para kiai dan ustadz yang ahli kitab kuning. Sehingga menjadi kelaziman di masyarakat bahwa ulama sudah seharusnya adalah laki-laki saleh yang menguasai ilmu-ilmu agama. Masyarakat merasa aneh jika perempuan diikutkan dalam perbincangan soal ulama apalagi menyebut istilah baru dengan ‘ulama perempuan’.

Pandangan semacam ini perlu diluruskan. Masyarakat harus mulai diajak untuk merenungkan landasan pikir dan fakta yang ada hari ini. Bahwasannya Tuhan semesta alam ini menciptakan manusia dengan mengemban tugasnya sebagai khalifah fil ardh. Tugas kekhalifahan tentu saja bukan menjadi otoritas salah satu jenis kelamin, laki-laki atau perempuan saja. Namun keduanya sekaligus. Mereka bahkan disarankan untuk bekerjasama dalam mengemban misi kekhilafahan ini secara seimbang. Kekhilafahan dalam pemaknaan Kiai Sahal memiliki dua dimensi sekaligus, yaitu ibadatullah dan imaratul ardh. Artinya, menjadi khalifah di bumi tidaklah cukup hanya melakukan ubudiyah setiap hari dan meninggalkan kewajiban sosial lainnya. Tanggungjawab sosial haruslah menjadi bagian penting dalam tugas kekhilafahan manusia di bumi.

Nah, pergeseran pemaknaan ulama akhir-akhir ini telah menunjukkan sebaliknya. Ia bukan hanya mengapling jenis kelamin tertentu, tetapi juga membatasi ruang lingkup keulamaan pada wilayah tertentu, yaitu wilayah ibadatullah. Sementara hal-hal yang terkait dengan tugas imaratul ardh (melestarikan bumi) terabaikan dari perhatian para ulama. Distorsi ini telah menimbulkan kekosongan peran dan tanggungjawab manusia di bumi. Akibatnya, banyak persoalan sosial kemasyarakatan yang mendesak untuk disikapi terabaikan dari perhatian para ulama.

Baca Juga:

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Menelusuri Perbedaan Pendapat Ulama tentang Batas Aurat Perempuan

Memaknai Aurat Perempuan secara Utuh

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengembalikan atau bahkan mendefinisikan ulang term ulama. Ulama seharusnya menjadi orang yang harus memegang tongkat kekhalifahan. Karena ia adalah pewaris para Nabi. Sebagaimana peranan Nabi di masa lalu, mereka bukan saja mengajarkan dan mengawal persoalan-persoalan ubudiyah umat, tetapi terbukti juga ikut terlibat aktif dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Bahkan mereka menjadi rujukan pertama dan utama dalam penyelesaian permasalahan umat.  Pada masa ini, Nabi juga telah melibatkan aktif perempuan-perempuan shahabiyat dalam mensosialisasikan dan menentukan hukum dalam permasalahan kontekstual, khususnya yang berkaitan dengan diri mereka. Aisyah, sebagai istri Nabi, menjadi contoh paripurna bahwa Nabi tidak mendiskreditkan kemampuan perempuan dalam permasalahan sosial dan agama.

Sejarah perawi hadis, telah mencatat kurang lebih 1200an perawi hadis yang ikut meriwayatkan hadis pada masa shahabiyat ini. Masa ini termasuk masa paling subur melahirkan ulama perempan dalam sejarah Islam. Karena pada periode berikutnya, yakni periode tabi’in hingga tabiut tabi’in terus merosot hingga tinggal hitungan puluhan. Ulama perempuan pada masa tabi’in hanya sekitar 90 orang dan 16 orang pada masa tabiut tabiin. Sungguh penurunan yang luar biasa! Hal ini bukanlah faktor kecelakaan sejarah. Tetapi juga ada upaya yang sistematis dan terencana dalam menghapuskan nama-nama perempuan dari kesejarahan ulama Islam. Kita tahu bahwa perjalanan masa kekhalifahan paska khulafa’ur rasyidin bergerak ke arah sistem monarkhi yang semakin jauh dari nilai-nilai egalitarianism dalam Islam sendiri. System kekhalifahan membuat segregasi yang begitu tegas antara laki-laki dan perempuan. Untuk memperkuat system itu pun tidak sedikit yang menggunakan legitimasi teks-teks agama.

Kekosongan ulama dari peranan perempuan telah mengakibatkan sulitnya mengatasi problem masyarakat hingga ke akar yang paling dasar. Apalagi jika hal itu menyangkut kehidupan paling privat perempuan. Pada akhirnya problematika itu akan menumpuk dan tidak berhasil diselesaikan. Hal semacam ini bisa mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat secara luas. Persoalan kesehatan, misalnya. Kita bisa membayangkan seandainya tidak ada tenaga medis perempuan, berapa banyak pasien perempuan yang terabaikan dan tidak bisa teratasi permasalahannya. Karena ahli medis laki-laki tidak bisa dengan sempurna memahami penyakit perempuan, tanpa melibatkan pengalaman perempuan sendiri. Begitupula dalam bidang pendidikan. Jika tidak ada perempuan yang mampu menjadi guru, maka sulit sekali kita akan memberantas kebodohan yang dialami perempuan. Akibat dari kebodohan ini telah menyebabkan berbagai permasalahan sosial yang sangat rumit hingga hari ini. Karena kebodohannya, perempuan mejadi tak mampu menolak kekerasan yang menimpanya. Mereka menjadi miskin. Mereka tak mampu untuk hidup lebih mandiri. Mereka menjadi harus tergantung dengan laki-laki dalam berbagai sector kehidupan. Ketergantungan ini berimplikasi pada tindak kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan. Sehingga akan terus melanggengkan lingkaran kekerasan dalam masyarakat. Oleh karena itu, hari ini kita sudah harus menyadari betul akan pentingnya perempuan yang hadir dalam wilayah keulamaan. Bahkan, kita juga harus mampu mendefinisikan siapa itu ulama perempuan serta mengembalikan makna dan fungsi ulama sebagaimana pada masa awal zaman keislaman. Wallahua’lam bisshawab.***

 

Tags: perempuanulamaulama perempuan
Mubadalah

Mubadalah

Portal Informasi Popular tentang relasi antara perempuan dan laki-laki yang mengarah pada kebahagiaan dan kesalingan dalam perspektif Islam.

Terkait Posts

Kebangkitan Ulama Perempuan

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

19 Mei 2025
Rieke Kebangkitan Ulama Perempuan

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mendokumentasikan Peran Ulama Perempuan

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

19 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

19 Mei 2025
Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

18 Mei 2025
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • KDRT

    3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID