Mubadalah.Id- Berikut ini artikel tentang memaknai diamnya perempuan dalam perizinan pernikahan. Ada hal yang cukup menarik waktu saya ikut Kajian Gender Islam bersama Ibu Nur Rofiah di Cirebon, dalam beberapa materi yang disampaikan pernyataan ijbar dan wali mujbir cukup membuat saya terkesan.
Selama ini yang saya pahami dan dapatkan dari kajian-kajian kitab kuning di pondok pesantren, yang disebut dengan hak ijbar ialah seseorang atau dalam hal ini ayah, mempunyai hak untuk memaksakan suatu perkawinan terhadap anak perempuannya.
Lebih lanjut, dalam penjelasan hak Ijbar juga dilengkapi dengan pernyataan bahwa tanda perempuan yang setuju atas rencana pernikahan tersebut ialah dengan diam.
Dalam hal ini penjelasan ibu Nur Rofiah menurut saya sangat menarik. Beliau menyampaikan bahwa, kita tidak bisa mengartikan diamnya perempuan adalah semuanya merupakan tanda setuju atau tanda keridhoannya untuk melakukan pernikahan dengan laki-laki yang telah dilipih oleh walinya tersebut.
Jika ketika perempuan ditanya “Neng mau enggak ayah nikahkan dengan laki-laki pilihan ayah”?. Lalu Perempuan tersebut meresponnya dengan diam namun wajahnya berseri tanda bahagia, itu bisa saja diartikan sebagai tanda persetujuan.
Namun, jika ketika seorang perempuan merespon pertanyaan di atas dengan diam tetapi sambil menangis dan terlihat keberatan. Itu sama sekali tidak bisa diartikan sebagai tanda persetujuan.
Mendengar penjelasan di atas, ingatan saya langsung tertuju pada teman kamar saya waktu di pondok pesantren dulu. Suatu malam ia memeluk saya sambil menangis. Waktu itu saya tidak berani bertanya mengapa dia bisa sesedih itu, namun setelah dia merasa tenang akhirnya dia mau menceritakan hal yang tengah dialaminya tanpa saya pinta.
Jadi, ayahnya menjodohkan dia dengan laki-laki yang sama sekali tidak ia kenal dan ketika mereka dipertemukan dalam acara khitbahan, ia sama sekali tidak mengehendaki laki-laki tersebut menjadi suaminya, tentu dengan beberapa alasan. Namun, sebagai anak perempuan yang lahir dan tumbuh dalam keluarga yang mendidiknya untuk selalu manut pada keputusan seorang ayah maka ia hanya bisa diam dan menyerah.
Sebab, akan percuma jika ia melakukan tawar menawar dengan ayahnya, suaranya sama sekali tidak akan didengar. Alih-alih dipetimbangkan justru mungkin akan dicap sebagai anak pembangkang.
Tentu cara seperti itu sangat jauh dari konsep ijbar yang semestinya. misalnya dalam buku fiqh perempuan karya K.H Husein Muhammad dijelaskan bahwa makna Ijbar dalam soal perkawinan ialah kekuasaan seorang ayah terhadap seorang perempuan untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, bukan dengan cara memaksakan kehendaknya sendiri tetapi atas dasar tanggungjawab terhadap anak perempuan yang belum atau tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak sendiri.
Sehingga ketika sang ayah hendak mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang telah ia pilih, yang harus diperhatikan terlebih dahulu ialah kerelaan sang anak. Sebab, jika ijbar itu adalah sebuah tanggungjawab ayah terhadap anaknya maka ia mempunyai kewajiban untuk memastikan anak dan cucu perempuannya mengalami kehidupan yang baik, aman dan nyaman.
Mengapa begitu?
Karena tujuan dari pernikahan adalah mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawwadah dan rahmah dan itu semua harus dirasakan oleh keduanya yaitu suami dan istri.
Selain itu, setelah menikah perempuan juga akan mengalami hamil, melahirkan, nifas dan menyusui, yang semua pengalaman itu mempunyai resiko dan dampak masing-masing baik pada fisik maupun kehidupannya di masa yang akan datang. Jadi, alangkah kejamnya seorang ayah bila tidak meminta izin dan kerelaan anak perempuannya dalam melakukan pernikahan tersebut.
Kesimpulannya, dalam tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan bahwa segala urusan di dalam keluarga, semua keputusan harus didasarkan pada hasil musyawarah antara semua anggota keluarganya, termasuk dalam mengambil keputusan untuk menikahkan anak perempuannya.
Berilah perempuan ruang untuk mengungkapkan isi hatinya, serta hargai pula keputusannya. Karena yang akan menjalani suka maupun duka dalam kehidupan berumah tangga tersebut bukan orangtua atau anggota keluarga yang lain, tetapi dirinya sendiri. Sehingga hal baik dan buruknya harus benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan.
Dengan demikian wali mujbir itu tidak dimaknai sebagai orang tua yang memaksa anaknya untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, tetapi dimaknai sebagai seseorang yang mempunyai kewajiban memastikan anak perempuannya bahagia dengan orang pilihannya.[]