• Login
  • Register
Minggu, 20 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Hukuman Menelanjangi dan Menceburkan ke Laut tidak Ada dalam Kamus Islam

Pengendalian nafsu makan dan minum adalah salah satu cara saja agar kita belajar terus mengendalikan nafsu ego yang lebih besar, sehingga tidak mudah destruktif bagi diri dan orang lain

Redaksi Redaksi
17/04/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Hukuman Menelanjangi

Hukuman Menelanjangi

638
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Berita persekusi dua orang perempuan yang diduga tidak berpuasa di sebuah café di salah satu daerah di Sumatra Barat menyentak kesadaran moral banyak umat Islam Indonesia. Bisa jadi, para pelakunya berdalih bahwa yang mereka lakukan adalah untuk membela ajaran Islam. Mereka beranggapan orang yang tidak puasa, atau berbuat sesuatu yang melanggar agama di bulan puasa, adalah musuh Islam. Karena mereka pandang musuh, maka hukuman apapun menjadi sah. Termasuk dengan menelanjangi dan menceburkannya ke laut.

Tetapi benarkah Islam mengajarkan demikian? Bolehkah menghukum orang yang tidak berpuasa? Atau yang melanggar aturan agama pada bulan puasa? Bolehkah masyarakat menghukum langsung para pelaku kesalahan atau kejahatan? Apakah ada hukuman menelanjangi dan menceburkan seseorang ke laut dalam Islam?

Menghukum Orang yang Tidak Berpuasa

Berpuasa pada bulan Ramadan tentu saja wajib. Yang tidak melakukannya juga berdosa dan salah. Tetapi apakah semua kesalahan itu harus berujung pada hukuman? Tentu saja tidak. Hukuman dalam Islam adalah bagian dari pendidikan (ta’dib), sehingga harus kita lihat betul, apakah suatu hukuman akan benar-benar mendidik seseorang menjadi lebih baik, atau justru sebaliknya.

Di samping ta’dib, hukuman juga untuk menjerakan (zajr), artinya harus untuk membuat seseorang dan masyarakat, jera dari perbuatan salah itu, sehingga tidak boleh melampaui batas-batas penghormatan martabat kemanusiaan.

Belum lagi, kita tahu semua, kewajiban berpuasa tidak berlaku bagi semua orang. Ada perempuan yang menstruasi, hamil, menyusui, orang yang sedang dalam perjalanan, orang yang sakit, orang-orang lansia yang tidak mampu, yang bekerja secara berat yang membuatnya tidak mampu berpuasa, anak-anak yang belum dewasa, orang-orang non-muslim. Bahkan siapapun yang secara fisik tidak mampu untuk berpuasa. Mereka semua tidak diwajibkan berpuasa. Sehingga, tidak semua orang yang tidak berpuasa adalah orang yang bersalah.

Baca Juga:

Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

Ketika Zakat Profesi Dipotong Otomatis, Apakah Ini Sudah Adil?

Sound Horeg: Antara Fatwa Haram Ulama’ dan Hiburan Masyarakat Kelas Bawah

Ukhuwah Nisaiyah: Solidaritas Perempuan dalam Islam

Jika melihat orang tidak berpuasa, bisa jadi: ia memiliki alasan untuknya. Sehingga sama sekali tidak boleh kita salahkan. Apalagi sampai harus kita hukum. Dalam kaidah hukum Islam, suatu hukuman harus kita lepaskan ketika ada keraguan karena ada alasan yang bisa melepaskanya (tudra’u al-hudud bi asy-syubuhat). Di sini, banyak sekali alasan seseorang untuk bisa dan boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadan.

Belum lagi, dalam Islam, banyak sekali kesalahan dan dosa yang dikembalikan menjadi ruang pendidikan diri, keluarga, dan masyarakat, tanpa hukuman yang ditentukan. Seperti berkata bohong, tidak menghormati orang tua, tidak menyayangi anak kecil, tidak menepati janji, salah membaca bacaan salat, salah membayar zakat, tidak menafkahi istri dan keluarga, tidak mendidik anak, dan banyak lagi yang lain. Tidak semua kesalahan harus berujung dengan hukuman.

Bolehkah masyarakat ikut menghukum?

Hukuman adalah bagian dari politik publik yang harus kita atur dan dikelola negara. Dengan negara sebagai pengelola, hukuman menjadi bisa kita batasi dan tidak sewenang-wenang. Tujuan hukuman untuk mendidik dan menjerakan kita harapkan juga lebih efektif. Karena itu, yang memutuskan seseorang bersalah dan pantas menerima hukuman adalah negara, melalui pengadilan yang fair dan bisa disaksikan semua pihak. Kemudian, negara juga, melalui pemerintah, yang melaksanakan hukuman tersebut.

Jika masyarakat dibolehkan menghukum langsung, maka bisa terjadi chaos, atau kekacauan sosial, bukan tertib sosial. Karena itu, sering disebut sebagai main hakim sendiri, yang bisa menumbuhkan premanisme. Di mana yang kuat akan menghukum yang lemah. Hal ini tentu saja tidak sesuai dari tujuan penghukuman dalam Islam, apalagi tujuan pendidikan masyarakat. Alih-alih mendidik orang yang bersalah agar sadar yang menjadi lebih baik, ‘main hakim sendiri’ bisa membuat kekacauan meluas dan bisa merusak tatanan masyarakat.

Tentu saja, masyarakat masih memiliki peran untuk membuat hukuman-hukuman yang bersifat sosial, sebagai pendidikan publik. Tetapi bukan dalam bentuk fisik yang bisa mencedarai, melukai, menyakiti, apalagi sampai fatal dan berpotensi pada hilangnya nyawa seseorang. Bahkan, hukuman fisik yang mencedarai dan melukai, saat ini, tidak boleh dilakukan negara, karena tidak mendidik, dan belum tentu membuat para pelaku kesalahan akan jera.

Adakah hukuman menelanjangi dan menceburkan ke laut dalam Islam?

Tentu saja tidak ada jenis hukuman seperti ini dalam hukum Islam. Memang ada hukuman yang keras dalam Islam, seperti qishash, potong tangan, dan cambuk. Tetapi ini semua di samping sesuai konteks pada saat itu, sehingga penerapannya pada masa sekarang menuai perdebatan para ahli hukum Islam, di satu sisi. Juga, di sisi lain, hukuman seperti itu hanya untuk pidana-pidana tertentu yang sudah ditegaskan saja, dan dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Di mana menurut para ahli juga, belum tentu bisa kita terapkan pada konteks kita sekarang.

Terlebih dari semua hal di atas, bulan puasa adalah masa di mana kita semua, terutama yang berpuasa diminta melatih diri untuk bisa mengendalikan nafsu masing-masing. Pengendalian nafsu makan dan minum adalah salah satu cara saja agar kita belajar terus mengendalikan nafsu ego yang lebih besar, sehingga tidak mudah destruktif bagi diri dan orang lain. Yakni dengan menjadi pribadi yang mulia, saling menolong dan saling menghormati.

Akan lebih indah jika yang berpuasa menghormati yang tidak berpuasa. Begitupuan sebaliknya. Jika terjadi kesalahan, atau tindakan-tindakan kriminal, yang benar adalah kita serahkan kepada aparat hukum. Lalu, jika aparat abai, kita ingatkan para aparat, bukan dengan main hakim sendiri. Jika suatu tindakan, kita anggap buruk, tetapi belum dianggap buruk oleh negara dan aparat, akan lebih baik kita dorong melalui pendidikan dan advokasi sosial. Hal ini lebih baik untuk tertib sosial dan tidak menimbulkan ketakutan dan kekacauan. Bukankah demikian itu lebih baik?  . Wallahu a’lam. (faqih)

 

Tags: Hukum IslamHukum Menelanjangiislampuasaramadan
Redaksi

Redaksi

Terkait Posts

Sejarah Ulama Perempuan

Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan

20 Juli 2025
Yamal

Yamal, Mari Sadar!

19 Juli 2025
Penghayat Kepercayaan

Tantangan Menghadapi Diskriminasi Terhadap Penganut Penghayat Kepercayaan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

19 Juli 2025
Cita-cita Tinggi

Yuk Dukung Anak Miliki Cita-cita Tinggi!

19 Juli 2025
COC

COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan

18 Juli 2025
Mengantar Anak Sekolah

Mengantar Anak Sekolah: Selembar Aturan atau Kesadaran?

18 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Cita-cita Tinggi

    Yuk Dukung Anak Miliki Cita-cita Tinggi!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Membentuk Karakter Anak Sejak Dini: IQ, EQ, dan SQ

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membentuk Karakter Anak Lewat Lingkungan Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Biarkan Fondasi Mental Anak Jadi Rapuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menguatkan Peran Ibu Nyai Pesantren dengan Penulisan Ulang Sejarah Ulama Perempuan
  • Membentuk Karakter Anak Lewat Lingkungan Sosial
  • Yamal, Mari Sadar!
  • Meneladani Nabi Muhammad Saw dalam Mendidik Anak Perempuan
  • Dilema Kepemimpinan Perempuan di Tengah Budaya Patriarki, Masihkah Keniscayaan?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID