Mubadalah.id – Menjadi bulan yang penuh berkah, tiap detik Ramadan merupakan waktu yang dianggap ijabah bagi seluruh umat Muslim. Doa-doa yang terpanjatkan dipenuhi dengan harapan keselamatan juga ampunan. Baik kepada diri sendiri, orang-orang terkasih, dan umat manusia secara keseluruhan. Momen yang sungguh mendamaikan, karena kita tetap dapat berbagi walaupun melalui untaian doa-doa yang hanya didengar oleh-Nya dan penduduk langit lainnya.
Namun, ternyata momen mendamaikan tersebut juga terkadang kita sertai dengan kebimbangan. Bolehkah aku memohonkan ampunan untuk orang tua beda agama, baik yang masih ada maupun yang telah tiada? Marahkah Tuhan, bila ku melakukan doa tersebut? Apakah hubunganku dengan orang tuaku terputus begitu saja karena agama yang tak sama? Adakah celah bagiku untuk tetap mengharapkan kebaikan dan keselamatan untuk orang tuaku?
Bagaimana kita membantu rekan-rekan yang sedang bimbang tersebut untuk keluar dari peperangan dari batinnya? Dia sedang galau lho, apakah agama Islam tidak dapat memberikan jawaban yang dapat memuaskan dan diterima dengan sepenuh hati oleh mereka. Apakah Islam menjadi begitu eksklusif, bahkan dalam tataran doa?
Mendoakan Orang Tua yang Beda Agama
Para ulama berbeda-beda pendapat tentang diperbolehkannya atau tidak perihal mendoakan orang tua beda agama ini. Ada yang membolehkan hanya ketika mereka hidup saja, dengan harapan mereka akan mendapat hidayah untuk memeluk Islam. Hal ini berdasarkan pada sebuah riwayat Abu Hurairah, di mana Kanjeng Nabi tidak membaca doa ketika menziarahi ibunya. Kita juga harus memastikan, apakah sikap beliau tersebut karena memang mutlak dilarang, atau ibunya telah mendapatkan derajat yang mulia sehingga tidak memerlukan doa.
Karena bagaimanapun, orang tua Kanjeng Nabi, Kakeknya, dan leluhurnya adalah pemeluk agama hanif yang berasal dari ajaran Ibrahim, sehingga secara runtutan waktunya, mereka juga umat mukmin dan muslim. Berbeda dengan pendapat pertama tadi, ternyata tidak sedikit yang membolehkannya dengan alasan, urusan diterima tidaknya sebuah doa adalah hak preogratif Allah Swt. (Al-Mu’min: 60).
Saya tidak akan mendiskusikan adillah-adillah dari dua perspektif tersebut, karena akan membutuhkan waktu dan tulisan yang sangat panjang. Saya hanya ingin sedikit menuliskan dari sebagian kisah yang saya saksikan sendiri. Hidup di masyarakat yang multi agama, suku, dan bahasa, saya terbiasa mendengarkan almarhum Ayah menjawab persoalan-persoalan yang juga bersifat multi perspektif ini.
Suatu waktu, seorang muallaf sowan pada Ayah dan menyampaikan kegalauannya perihal status doa yang ia panjatkan untuk orang tuanya yang berbeda agama. Ayah menjawab, boleh-boleh saja. Lantas orang tersebut bertanya lagi, apakah doanya akan diterima atau tidak. Ayah menjawab, itu urusannya Allah. Mendengar jawaban dari Ayah, orang tersebut tampak berseri-seri wajahnya, ia giat beribadah dan seserawungan dengan baik kepada saudara-saudara lainnya yang berbeda agama.
Masalah selesai. Jawaban Ayah tersebut tidak saja berdampak pada aspek psikologis sang penanya, tapi juga aspek pemahamannya terhadap ajaran agama yang baru dipeluknya, sehingga ia mampu menjadi muslim terdepan yang berakhlakul karimah dalam bersosialisasi dengan pemeluk agama yang berbeda.
Birrul Walidain
Sikap Ayah ini juga sesuai dengan jawaban Mbak Nyai Layyinah. Anggota Dawrah Kader Ulama Perempuan Fahmina Institite dan juga Bunda dari Mas Jindan yang merupakan lulusan Universitas Imam Nafi’ Maroko sanjang, “Mendoakan orang tua non Islam yang sudah meninggal nggak papa. Karena urusan kita adalah birr al-walidain. Tapi urusan diterima-tidaknya dan sampai-tidaknya doa tersebut bukan lagi kuasa dan urusan kita.
Lagi-lagi, baik itu Ayah maupun Mbak Nyai Layyinah, modal teks yang keduanya miliki tentu beragam. Perbedaan sikap keagamaan yang mereka gunakan dalam rumusan jawaban atas asilah tersebut karena mereka mampu menegoisasikan teks tersebut dan mempertanggungjawabkannya sebagai sebuah inspirasi kebaikan.
Tidak hanya Ayah maupun Mbak Nyai Layyinah, kita semua juga harus memahami konteks realita yang terjadi agar tidak terjadi pertentangan yang tidak berarti. Seandainya mendoakan juga berperilaku baik kepada orang tua beda agama (baik yang masih ada maupun yang telah tiada) merupakan suatu hal yang terlarang, lantas mengapa Kanjeng Nabi meneladankan agar kita seserawungan dengan baik dengan Raja Najasyi, dengan para kaum Yahudi Madinah, juga umat Nashrani yang tidak memeranginya?
Apakah kita mengeneralisir bahwasanya yang tidak memeluk Islam adalah kaum kafir yang wajib kita jauhi dan tidak boleh menerima amal baik kita? Mengapa Abu Lahab mendapat keringanan kubur di hari Senin? Karena akhlak karimahnya saat bahagia menyambut kelahiran Nabi. Juga riwayat yang menyatakan bahwasanya Abu Thalib mendapat dispensasi hukuman terendah kelak di akhirat, karena apa? Karena akhlaknya selama hidup untuk menjaga dan melindungi Kanjeng Nabi.
Pentingnya Akhlak
Yupz, kadar iman atau kafirnya seseorang hanya Allah Swt. yang mengetahui. Tapi indikator selamat tidaknya seseorang adalah karena akhlaknya. Demikianlah risalah penugasan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. di akhir zaman ini. Apakah semua pemeluk agama Islam pasti mukmin? Jawabannya, belum tentu. Dalam memaknai kafir, almarhum Ayah tidak pernah merujuk pada orang lain, melainkan pada kondisi diri sendiri.
Dengan mengutip Alquran surah Ibrahim ayat 7 Ayah sering mengingatkan, “lain syakartum laaaziidannakum wa lainkafartum inna adzabi lasyadiid.” Yang artinya, jika kalian bersyukur niscaya akan Ku tambah (nikmatKu) pada kalian, dan jika kalian kufur/mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih.”
Bagaimana cara bersyukur kepada Allah? Ayah kembali memberikan bayan atas penjelasan Alquran surah Al-Baqarah ayat 152, “fadzkurnii adzkurkum, wasykuruulii wa laa takfuruun.” Artinya, maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar pada-ku.
Karena pendekatan yang Ayah gunakan adalah pendekatan tasawuf amali, falsafi juga akhlaki, sehingga ia memaknai kufur sebagai sifat orang kafir adalah kondisi di mana seseorang yang tidak dapat bersyukur atas nikmat Allah. Cara bersyukur tersebut adalah dengan senantiasa berzikir pada-Nya. saat hati terputus menyebut namanya dalam hembusan nafas, saat itulah kita menjadi orang kafir.
Senada dengan pernyataan Ayah, Ajengan Sandisi juga mengingatkan pada jamaah, agar jika lupa hati berzikir untuk mengingat dan disambung lagi, begitu seterusnya hingga akhir hayat.
Sikap Keberagaman KUPI
Dengan pemaknaan yang demikian, mencari orang kafir tidak harus jauh-jauh. Kembali ke diri kita masing-masing. Apakah kita banyak lupanya, atau banyak ingatnya. Ayah menambahkan, ciri orang yang banyak ingatnya adalah tampaknya buah dari konsistensi tersebut yang berupa akhlakul karimah. Baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Baik kepada yang sama identitasnya maupun yang berbeda, apapun itu jenisnya.
Bukankah salah satu diseminasi sikap keberagaman KUPI adalah tentang bahaya kekerasan atas nama agama? Semuanya bisa kita mulai dari realita-realita kecil yang bersandingan langsung dengan kita, termasuk dalam memaknai istilah kufur dan iman. Sehingga seseorang tidak akan mudah melakukan kekerasan-kekerasan dengan narasi agama yang sangat merugikan kaum rentan, terutama perempuan.
Visi Islam adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam, melingkupi seluruh makhluk dan seluruh dimensi kehidupan yang melingkupinya (alam kandungan, alam dunia, alam kubur, dan alam akhirat). Kita tidak cukup berakhlak baik kepada sesama hanya ketika dia terlahir di dunia. Tetapi juga saat jiwanya belum tercipta, atau bahkan ketika ia tiada.
Terlebih kepada kedua orang tua yang membantu kita terlahir di dunia. Akhir kata, masih menjawab isu ini, saya ingin membagikan sedikit kisah. Saat terjadi politik identitas atas nama agama, Ayah menasihati kami dengan menyampaikan bagian dari doa rabithoh yang berbunyi, “yaa man ahla waqtihi kulluhum aailatuh.”
Merujuk pada keberadaan Guru Mursyid yang menganggap bahwa orang-orang yang sezaman dengannya, semuanya merupakan keluarganya. Tanpa memandang etnis, agama, negara, bangsa, bahasa, dan lainnya. Semuanya ia mintakan keselamatan dan kesejahteraannya. So, jangan berhenti berdoa, kebaikan-kebaikan atas doa kita sendiri yang akan merasakannya kelak. []