Mubadalah.id – Komunitas dunia sepakat bahwa ketidakadilan harus diakhiri melalui diktum-diktum hukum, termasuk fiqh. Hukum dinyatakan sebagai instrumen untuk menyelesaikan ketidakadilan dalam relasi antar manusia, termasuk relasi berdasarkan gender.
Hal yang ideal dari instrumen hukum adalah bahwa keputusannya memastikan tercapainya keadilan substansial. Akan tetapi produk perundang-undangan dan fiqh dengan mana hukum ia hasilkan dan putuskan, dalam banyak fakta tidak selamanya melahirkan keadilan bagi korban (perempuan).
Undang-undang Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam banyak hal belum sepenuhnya mengafirmasi keadilan bagi perempuan. Melalui undang-undang ini banyak perempuan belum merasakan keadilan, bahkan dalam banyak hal justru mengalami kekerasan dan menderita.
Demikian juga dengan sejumlah undangundang dan regulasi-regulasi yang lain. Keputusan Mahkamah Agung yang menolak uji materiil Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8/2005 yang merugikan kaum perempuan itu, untuk menyebut satu contoh saja, memperlihatkan bahwa keadilan subsansial belum terpenuhi.
Keputusan MA ini masih lebih memperhatikan aspek keadilan prosedural dan mekanistik belaka. Bahkan banyak pihak yang mempertanyatakan kesesuaiannya dengan undang-undang, lebih-lebih dengan konstitusi.
Dalam konteks Islam, adalah menarik bagi kita untuk mengemukakan pandangan ahli hukum Islam klasik, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 1350 M).
Ia mengatakan bahwa adalah tidak masuk akal jika hukum Islam menciptakan ketidakadilan, meskipun dengan mengatasnamakan teks-teks ketuhanan.
Jika ini yang terjadi, maka pastilah interpretasi (pemaknaan) atasnya dan rumusan-rumusan hukum positif tersebut mengandung kekeliruan.
Ia juga mengatakan bahwa keadilan manusia harus kita usahakan dari manapun ia kita temukan, karena ia juga adalah keadilan Tuhan yang hanya untuk tujuan itulah hukum Tuhan itu turun.
Dengan begitu, interpretasi dan pemaknaan atas teks ketuhanan yang tidak mampu menangkap essensi keadilan haruslah kita luruskan. Pandangan ini juga bisa menjadi rujukan bagi hukum-hukum positif yang lain. []