Kasus pemerkosaan di Indonesia masih sering kita jumpai. Saya menegaskan kalau media dalam memberitakan perkosaan terkesan biasa saja, seolah itu semata-mata persoalan individual. Bahkan tidak sedikit media justru menganggapnya seperti kisah sedih layaknya sinetron.
Satu contoh aku temukan baru-baru ini, portal berita Tribunnews memberitakan kasus pemerkosaan dengan judul yang tak ramah perempuan.
Kasus pemerkosaan yang terjadi di Tanggerang pada 22 Juni kemarin, Tribun memberikan judul dengan kalimat “Seorang Pria di Tangerang Tak Kuasa Melihat Kemolekan Tubuh Sepupunya Tertidur di Sofa.”
Diksi yang digunakan dalam judul di atas justru memberikan perspektif keliru kepada pembaca. Pembaca akan beranggapan bahwa peristiwa itu terjadi karena salah perempuannya sendiri, seolah itu terjadi karena perempuannya bertubuh molek dan tidur di atas meja.
Kata “tak kuasa” dalam judul juga terkesan victim blaming, seolah justru korban yang menyebabkan peristiwa itu terjadi.
Selain itu, portal yang merajai pasar berita online itu tidak melindungi privasi identitas korban. Meski tak menyebut langsung nama korban, tapi ia menyebutkan bahwa korban adalah sepupu pelaku, sedangkan nama pelakunya ditulis jelas.
Mereka seolah tidak peduli dengan kondisi psikologi perempuan, bagaimana ketika semua orang mengetahui bahwa dia korban pemerkosaan.
Masih dalam berita yang sama, tak ada diksi yang menekankan bahwa kekerasan seksual itu adalah kejahatan yang luar biasa.
Tanggug Jawab Media dalam Memberitakan Perkosaan
Media harus menyadari bahwa diksi dan kalimat yang menggunakan menggiring pola pikir pembaca. Menurut Malcom X, media menjadi kekuatan yang besar dalam menentukan persepsi atau cara pandang yang ada di masyarakat.
Menurut pandangan konstruksionis, keberhasilan mentransformasikan perkosaan menjadi masalah sosial tergantung pada narasi persuasif yang membuat “seksualitas koersif ” sebagai sebuah fenomena fundamental sosial.
Dalam kasus pemerkosaan, isu seksualitas koersif dapat menjadi konstruksi naratif yang bervariasi sebagai cerita tentang kejahatan, tentang kejatuhan moral individual, tentang penyakit, atau sekitar sosialisasi (Chasteen, 1998, pp. 13-18).
Dalam penulisan kasus ini, media selalu berlindung dibalik kata objektifitas berita. Pada dalam kasus seperti ini, media harus punya keberpihakan terhadap korban.
Penulis Wajib Hati-hati Memilih Diksi
Setelah mengetahui kekuatan dahsyat media, maka penulis yang memproduksi media jangan asal dalam memakai diksi.
Penulis harus menyadari betul bahwa setiap kata yang ia pilih membentuk perspektif pembaca. Dia harus mengambil sikap menyuarakan kebenaran.
Jika penulis masih menganggap kenetralan adalah satu hal yang harus diutamakan, maka dia juga harus tahu bahwa tidak ada berita yang bebas nilai.
Menurut Matthew Kieran dalam Eriyanto (2002) bahwa “berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa, berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu”.
Masih menurut Eriyanto bahwa peristiwa itu dimediasi sebuah kategori, interpretasi dan evaluasi atas realitas. Setiap peristiwa dapat dilihat dengan kacamata dan pandangan tertentu.
Pembaca harus diberikan pemahaman bahwa pemerkosaan adalah kejahatan yang sangat serius. Sehingga tulisan juga mengajak pembaca untuk mencegah terjadinya pemerkosaan lagi.[]