• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rujukan Metodologi

Membaca Hadis “Perempuan (bagai) Tawanan Lelaki” dalam Perspektif Mubadalah

Tentu, Kang Faqih, sapaan akrabnya, melakukan reinterpretasi sesuai spirit hadis tersebut. Sehingga menangkal tafsiran mainstream yang berkembang di masyarakat, yang notabene menyudutkan perempuan

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
24/07/2023
in Hadits, Rujukan
0
Perempuan (bagai) dalam tawanan lelaki

Perempuan (bagai) dalam tawanan lelaki

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id –“Hadis “Perempuan (bagai) tawanan lelaki”, bagaimana kesan kalian mendengarnya?. Pertanyaan retorik yang dilontarkan KH. Imam Nake’i ketika mengajar Bidayatul Mujtahid.

Relatif, jawabannya. Tergantung siapa yang menyampaikan dan siapa yang mendengarkan. Saya, dulu saat masih kecil, pertama kali mendengar hadis itu tidak tertarik. Namun seiringnya waktu, saat beranjak SD-SMP saya menghadiri acara pernikahan dan mendengar seorang da’i mengutip cuplikan hadis tersebut, rasanya beda.

Berbeda karena sang da’i dengan berapi-api menyampaikan suami harus berbuat baik kepada istri, lantaran istri adalah tawanan suami. “Perempuan (bak) tawanan lelaki” adalah frasa yang terus diulang-ulang sehingga menindih frasa “lelaki harus berbuat baik pada perempuan”.

Saya sendiri dan beberapa kawan (mulanya) mengamini ceramah sang da’i yang begitu menawan dengan selingan gelak-tawa. Alasannya saya mengafirmasi kala itu (begitupun kawan saya) karena merasa nyaman. Nyaman lantaran sesuai dengan (sikap keusilan) saya, ditambah justifikasi keagamaan.

Bahkan, tanpa sadar (berdosa) pernah melakukan kekerasan verbal dengan mengolok-olok kawan cewek bahwa mereka (perempuan) adalah tawanan kita-kita (lelaki). Sampai akhirnya saya sadar dan “murtad” akan cara pandang demikian.

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Penyampaian Hadis yang Bias

Barangkali itu satu fenomena yang juga banyak terjadi. Dan ceramah-ceramah sebagaimana deskripsi terus bermunculan dari satu generasi ke generasi, dari satu tempat ke tempat lainnya, dari dunia nyata hatta dunia maya.

Dalam konteks ceramah, yang menjadi persoalan bukanlah pengutipan hadisnya, sebagaimana yang  KH. Faqihuddin Abdul Kodir mengingatkan, melainkan interpretasi dan penyampainya yang bias. Membesar-besarkan bahwa perempuan adalah (bak) tawanan lelaki yang muaranya akan mengaburkan pesan utamanya: Lelaki hendaklah berbuat baik kepada pasangannya.

KH. Faqihuddin Abdul Kodir, dalam karya magnum opus-nya Qirā’ah Mubādalah, mencuplik hadis itu di pembukaan bab 2. Tentu, Kang Faqih, sapaan akrabnya, melakukan reinterpretasi sesuai spirit hadis tersebut. Sehingga menangkal tafsiran mainstream yang berkembang di masyarakat, yang notabene menyudutkan perempuan.

Adapun redaksi hadisnya yaitu sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunan sebagai berikut;

اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ

“Ingatlah, berbuat baiklah (laki-laki) kepada perempuan. Sebab, mereka (perempuan) itu (bagai) tawanan di sisi kalian. Padahal kalian (lelaki) tidak memiliki hak kuasa apapun atas mereka selain berbuat baik… (Sunan al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Ibnu Majah).

Hadis “Perempuan (bagai) Tawanan Lelaki” Perspektif Qirā’ah Mubādalah

Membaca hadis yang sedikit sensitif haruslah berhati-hati agar tidak terjebak dalam bias yang merugikan perempuan, misalnya. Oleh sebab itu, harus membaca dari berbagai sudut pandang dan perspektif. Di antaranya perspektif Qirā’ah Mubādalah.

Ada tiga step yang harus dilalui ketika mengoperasionalkan Qirā’ah Mubādalah sebagaimana diformulasikan oleh penggagasnya. Pertama, sebelum menguak makna yang terkandung dalam teks yang akan diinterpretasi, harus menemukan nilai universal yang melampaui jenis kelamin terlebih dahulu.

Dalam konteks hadis di atas, nilai universalnya adalah berbuat baik. Berbuat baik merupakan tindakan terpuji yang tidak memperhatikan jenis kelamin, bahkan spesies. Sebab, Tuhan memerintahkan kepada seluruh hambanya untuk berbuat baik, baik kepada sesama manusia; laki-laki-perempuan, atau sesama makhluknya.

Kedua, yaitu mengetahui spirit dari teks-teks yang akan diinterpretasikan. Dalam hadis di atas, spirit yang terkandung adalah membela dan berbuat baik kepada yang lemah, yaitu istri atau dan perempuan. Mengapa perempuan yang berada di posisi lemah, apakah memang kodratnya? Tidak!

Ungkapan Nabi Muhammad “Perempuan (bak) tawanan Lelaki” tidak lebih untuk mendeskripsikan situasi sosio-politik saat itu. Di mana perempuan memang dikuasai lelaki, dilemahkan dan dimarginalkan dalam setiap lini kehidupan. Dalam situasi demikian, patutlah jika perempuan dikatakan tawanan lelaki.

Oleh karena itu, Nabi menegaskan bahwa para lelaki harus secara kontinu berbuat baik kepada perempuan. Karena struktur sosio-politik laki-laki yang telah menawan hak-hak perempuan. Padahal, lelaki sama sekali tidak memiliki hak apa pun atas perempuan sebagaimana penegasan Nabi, “لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ (Padahal kalian (lelaki) tidak punya hak kuasa apa pun atas mereka selain berbuat baik).

Pemihakan Nabi Terhadap Perempuan dalam Hadis Tersebut

Tidak heran, jika Kang Faqih berkesimpulan bahwa hadis itu merupakan bentuk pemihakan Nabi secara nyata kepada orang-orang lemah, terutama perempuan. Gerakan Nabi untuk melawan budaya misoginis dan mengangkat martabat perempuan dari lembah struktur sosio-politik patriarki.

Selaras dengan kesimpulan itu, dalam hadis lainnya Nabi terus menghawatirkan perempuan-perempuan yang dilemahkan sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad. Tak perlu heran dengan kekhawatiran Nabi ini, karena pada faktanya sampai 15 abad berlalu sistem budaya patriarki dan misoginis terus melemahkan dan memarginalkan perempuan.

إِنِّيْ أُحَرِّجُ عَلَيْكُمْ حَقَّ الضَّعِيْفَيْنِ: اَلْيَتِيْمِ وَالْمَرْأَةِ.

“Sesungguhnya aku mengkhawatirkan hak dua orang yang dilemahkan kalian: anak yatim dan perempuan.”

Langkah ketiga dari operasional perspektif Qirā’ah Mubādalah adalah mengimplementasikan gagasan yang terkandung dalam teks kepada seluruh jenis kelamin, atau menjalarkan kepada jenis kelamin yang tidak ada dalam teks.

Hal ini berangkat dari paradigma bahwa seluruh teks-teks syariat menyapa seluruh manusia, apapun jenis kelaminnya. Sehingga, bila ada teks yang secara lahir menyapa salah satunya maka sesungguhnya juga menyapa jenis kelamin yang lain. Inilah gagasan KH. Faqihuddin Abdul Qadir dalam Qirā’ah Mubādalah.

Untuk hadis di atas, maka baik laki-laki maupun perempuan harus berbuat baik kepada pasangannya, apalagi dalam kondisi lemah. Dan yang paling urgen dari interpretasi hadis tersebut adalah cara menyampaikannya. Jangan sampai bias dalam menyampaikan hadis tersebut sebagaimana lumrah terjadi.

Seolah-olah spirit hadisnya adalah perempuan (bagai) tawanan lelaki dan mengaburkan perintah berbuat baik kepada pasangan sebagai semangat hadis sesungguhnya. Demikianlah pembacaan Qirā’ah Mubādalah terhadap hadis di atas.

Kenapa Perspektif Qirā’ah Mubādalah dipandang Sinis dan Skeptis?

Sayangnya, tidak semua orang bisa menerima gagasan yang Kang Faqih formulasikan. Sebab gagasan (baca: istilah) perspektif Qirā’ah Mubādalah itu masih terbilang baru, tidak familiar bagi sebagian kalangan bahkan terlihat asing.

Hal demikian sudah terbiasa terjadi dalam lembaran sejarah umat Islam, bahkan panggung intelektual dunia. Satu tokoh menangkal gagasan tokoh lainnya bahkan dari murid-muridnya sendiri. Konsep Sigmund Freud pernah dikritik oleh muridnya sendiri, Erich Froom. Dalam  muslim, misalnya, Imam Abu Hanifah yang memproklamirkan konsep Istihsan. Banyak kalangan Syafi’iyah, bahkan termasuk Imam Syafi’i sendiri, mengkritik habis-habisan.

Manusia secara fitrah cenderung melihat hal baru dengan sinis, skeptis dan penuh curiga serta lari dari hal-hal yang asing. Statement Imam al-Ghazali merepresentasikan kondisi tersebut.

لِأَنَّ الْفِطَامَ عَنْ الْمَأْلُوفِ شَدِيدٌ وَالنُّفُوسُ عَنْ الْغَرِيبِ نَافِرَةٌ

“Berpisah dengan hal yang lumrah (pembacaan maintream yang bias gender dan timpang) amatlah sulit sedangkan jiwa-jiwa lari terlunta-lunta dari hal asing (perspektif resiprokal/kesetaraan)” (al-Mustashfa, 9).

Hadis “Perempuan (bagai) Tawanan Lelaki” perspektif  Linguistik Ushul Fiqh

Oleh sebab itu, kita mengenalkan nilai-nilai mubadalah menggunakan istilah-istilah aman yang tidak mengundang kontroversi, sebagaimana penegasan Kang Faqihuddin. Dalam konteks pesantren, maka harus menggunakan istilah-istilah pesantren.

Misalnya, istilah-istilah dalam kajian ushul fiqh. Dalam ushul fiqh, hadis tentang wasiat berbuat baik kepada perempuan dan perempuan (bak) tawanan lelaki bisa mengkaji dari kacamata linguistik atau kajian kebahasaan. Menggunakan istilah Ahnaf, secara ‘Ibārat al-Nash (pemahaman yang terambil dari rangkaian kalimatnya) hadis itu membawa dua pesan sekaligus.

Pertama, bersifat ashalatan (spirit). Kedua, bersifat tab’an (situasional). Sebagaimana gagasan Kang Faqih, pesan ashalatan-nya adalah berbuat baik, berpihak, dan membela yang lemah, yaitu istri atau dan perempuan. Sedangkan makna tab’an-nya ialah perempuan tertawan hak-haknya oleh budaya dan sosio-politik.

Fungsi makna tab’an yaitu untuk menggambarkan situasi sosio-politik ketika Nabi menyampaikan hadisnya. Tentu tidak menjadikan makna tab’an sebagai pijakan, baik paradigma apalagi hukum, ketika paradoks dengan makna ashalata-nya.

Kontradiksi ini bisa terjadi bila seseorang yang menginterpretasi hadis di atas menyangkut-pautkan antara makna spirit dan situasionalnya. Sebab, dua makna itu adalah 2 hal yang berbeda dan memiliki domain masing-masing.

Sementara untuk melakukan interpretasi resiprokal sebagaimana step ketiga dalam perspektif mubadalah, bisa kita gunakan teori Masālik al-Illah Tanqīh al-Manāth. Syekh Zakariya al-Anshari mendefinisikan Tanqīh al-Manāth sebagai kerja-kerja interpretasi suatu teks yang menunjukkan suatu kausa/reason/ilat hukum menggunakan beberapa kriteria. Lalu mengeliminasi kriteria-kriteria itu dan memberlakukan hukum  lebih general, (Ghoyat al-Wushul, 133).

Dalam konteks hadis di atas, maka mengeliminasi kriteria subjek-objek (jenis kelamin) kemudian memberlakukan hukum berbuat baik untuk membela mereka yang lemah, baik laki-laki maupun perempuan. Demikianlah menyikapi teks-teks yang sering jadi alat melegitimasi tindakan bias gender.

Lalu, Bagaimana Kesan Kalian Mendengar Hadis “Perempuan (bagai) Tawanan Lelaki”?

Relatif, jawabannya. Tergantung siapa yang menyampaikan dan yang mendengarkan. Bila yang menyampaikan memiliki paradigma kesetaraan, pun yang mendengarkan, maka niscaya tidak akan ada diskriminasi karena jenis kelamin. Sebaliknya, bila yang menyampaikan dan yang mendengar sedari awal bias, tentu akan menimbulkan diskriminasi gender sebagaimana kasus di atas. Wallahu A’lam

Tags: buku qiraah mubaadalahHadisMerebut Tafsirperempuanperspektif mubadalahTafsir Hadis
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Idul Fitri

Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

30 Maret 2025
Idul Fitri

Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

30 Maret 2025
Membayar Zakat Fitrah

Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

26 Maret 2025
Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

18 Maret 2025
kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

15 April 2024
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version