Binar Mata yang Berbeda
Aku kembali ke kamar dengan perasaan kacau. Tak kudapati siapapun disana sehingga aku dapat menikmati kekacauanku sendiri. Aku duduk di depan lemari, mengambil bantal yang berada di sisiku lalu kugunakan sebagai tempat untuk membenamkan wajahku.
Hatiku masih sulit menerima apa yang Ibu Nyai katakan, namun naluriku sebagai santrinya pun sulit untuk menolak apa yang beliau tawarkan. Akhirnya tangisku pecah. Aku merasa sangat bingung. Aku tak tahu harus bagaimana, menerima lamaran kang Zul demi Ibu Nyai dan membohongi perasaanku sendiri, atau menolaknya dan mengungkapkan apa yang sesungguhnya aku rasakan.
Seseorang kemudian datang menghampiriku.
“Rahmi, kenapa?”
Itu Rina, suara khasnya dapat kutebak meski aku belum melihat wajahnya. Aku tak menjawab apapun. Aku masih terus terisak sambil memeluk bantal yang mulai basah oleh air mata. Rina pun semakin mendekatiku, berlutut di depanku, kemudian mengelus pundakku lembut.
“Menangislah sepuasmu. Asal jangan lupa kalau kamu punya teman untuk berbagi duka.”
Rina masih mengelus pundakku meski aku belum berkata apapun kepadanya.
“Oh iya. Aku punya jus alpukat. Kamu mau gak?”
Rina kemudian membuka kantong plastik yang ia bawa. Semerbak aroma jus alpukat pun menyeruak. Aku sangat tergoda, namun air mataku tak kunjung reda. Akhirnya aku mulai sedikit mengangkat kepala demi melihat hadiah kecil yang dibawa oleh Rina.
“Udah dong nangisnya. Nih diminum dulu!” Rina menyerahkan jusnya kepadaku. Kemudian beranjak mengambil tisu dari dalam lemarinya.
“Makasih banyak, Rin!” Dengan suara parau, aku mulai berbicara, mengambil selembar tisu dari Rina setelah agak banyak meneguk jus alpukat yang ia berikan.
“Udah mendingan?” Tanyanya. Rina memang sahabatku yang super pengertian. Dia tak pernah memaksaku untuk bercerita jika aku sedang berduka. Tapi dia akan menunggu hingga aku bersedia untuk menceritakan dukaku kepadanya. Jika akhirnya aku tak bercerita pun, ia akan menghiburku dengan berbagai hal yang aku suka.
“Rin… Kang Zul melamarku melalui Ibu Nyai”
“Hah?” Rina terlihat sangat terkejut. Tentu saja ia tak menyangka jika kang Zul yang tak pernah sekalipun aku bahas ternyata diam-diam menyimpan rasa padaku. “Kang Zul abdi dalem? Kok bisa?”
“Gak tau!” Air mataku kembali menetes. Aku masih sulit untuk kenyataan ini. Rina kembali menenangkan.
Tak lama kemudian Mbak Zidni dan Mbak Vivi datang membawa seperangkan alat syuting dari mulai kamera, tripod, stabilizer hingga alat-alat lain yang mereka bawa dalam sebuah ransel.
“Loh, Rahmi kenapa?” Mbak Vivi pun penasaran melihat mataku yang sembap. Ia adalah kakak kelasku. Di pesantren, ia diamanahi untuk mengelola media dari mulai media cetak hingga media sosial. Pesantren kami memang pesantren salaf, namun Ibu Nyai membebaskan para santri untuk berekspresi dan berkreasi sehingga dibentuklah media yang berfungsi untuk menampung dan menyebarkan karya para santri dalam berbagai bentuk. Dari media yang dikelola oleh Mabk Vivi dan kawan-kawan jugalah kami dapat mengetahui berbagai informasi yang sedang viral di luar sana melalui buletin dan mading yang setiap minggunya selalu up to date.
Aku tak menjawab pertanyaan Mbak Vivi. Aku belum siap bercerita kepadanya mengenai masalahku kali ini. Bukan karena aku tak percaya, Mbak Vivi justru merupakan penasehat yang ulung. Ia selalu memberikan masukan yang tidak menggurui sehingga membuat siapapun yang mendengarnya merasa nyaman. Namun ada suatu hal yang membuatku enggan untuk menceritakan masalahku kali ini kepadanya.
Sebagai admin media pesantren, Mbak Vivi diberi wewenang oleh pengasuh untuk menggunakan HP inventaris demi keperluan pengelolaan media. Ia juga diperbolehkan untuk menggunakan HP pribadi untuk keperluan kuliahnya yang sudah memasuki semester akhir. Aku dan teman-temanku yang lain pun sebetulnya boleh membawa HP, hanya saja pesantren mengizinkan kami menggunakannya hanya di hari Jumat, saat pengajian pesantren libur. Selebihnya, HP dikumpulkan di bagian keamanan pondok.
Saat Mbak Vivi duduk di samping Rina dan hendak bertanya mengenai apa yang terjadi padaku, tiba-tiba HP pribadinya yang saat itu ia taruh di sampingnya berbunyi. Ada sebuah panggilan masuk dari nama yang sangat kukenal. Nama yang selama ini aku idam-idamkan. Nama yang membuatku ingin menolak Kang Zul karena hanya nama itulah yang selama ini bertahta di dalam hatiku.
Mbak Vivi lalu mengangkat telponnya.
“Assalamu’alaikum, gimana Fid?” Sapanya kepada orang di seberang sana. Kemudian Mbak Vivi menyimaknya dengan serius.
“Oh gitu. Ya sudah, besok kita syuting lagi!” Ucapnya kemudian, lalu menutup teleponnya setelah mengucapkan salam. Percakapannya membuat hatiku perih. Ingin sekali aku ikut berbincang dengan orang yang menelpon Mbak Vivi demi untuk meredakan gejolak hatiku.
“Kenapa, Vi?” Tanya Mbak Zidni yang juga mengetahui siapa yang menelepon Mbak Vivi.
“Hasil syuting tadi kurang maksimal. Ada beberapa video yang anglenya kurang pas.”
“Lah, kok bisa?”
“Sepertinya Ilham kurang fokus waktu ambil video. Dia kayak belum sehat banget setelah kemarin sakit.”
“Terus gimana?”
“Ya mau gak mau kita harus syuting lagi”
“Besok?”
“Iya, besok saja lah. Sore ini aku dapat tugas buat badalin pengajiannya Ustad Syamsul.”
“Ya udah atuh!”
Aku mendengarkan percakapan Mbak Vivi dan Mbak Zidni demi mengetahui aktivitas terbaru kang Hafid. Ya, dia adalah Kang Hafid. Nama lengkapnya Muhammad Hafid. Cukup sederhana. Namun di mataku dia sungguh istimewa. Aku pertama kali mengenalnya saat ia memotret para calon khatimat Juz ‘Amma di aula pondok tahun lalu. Saat itu kebetulan aku menjadi koordinatornya.
Awalnya aku meminta Mbak Vivi untuk memotret. Namun karena Mbak Vivi sedang ada tugas lain, jadi ia meminta Kang Hafid untuk menggantikannya. Dengan ditemani oleh Mbak Zidni yang juga merupakan salah satu anggota tim multimedia, Kang Hafid begitu telaten mengatur gaya dan posisi para khatimah sebelum difoto. Ia dengan sabar memotret para calon khatimah yang terkadang melakukan gerakan yang tidak perlu sehingga menyebabkan hasil foto kurang maksimal.
Sesekali kang Hafid menghardik para khatimat dengan candaan-candaannya, seperti “Kepalanya gak usah miring-miring, emang mau foto selfie apa?” atau “Senyumnya biasa ajah yah, gak usah mencu-mencu kaya selebgram!” atau “Nunduk dikit!”, “Tegak dikit kepalanya!”, “Mundur lagi!”, “Geser kiri setengah langkah!” dan ucapan lainnya yang membuat kami semua tertawa.
Saat itu aku memperhatikannya sambil mengecek dan mencatat kehadiran para khatimat yang hendak difoto. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Terkadang wajahnya serius, terkadang ia menyeringai tipis, terkadang juga tersenyum lebar sambil memamerkan gigi gingsulnya, terkadang juga tertawa gemas menghadapi seorang calon khatimat yang sulit diarahkan ketika akan difoto.
Peluh yang mengucur dari dahinya membuatnya terlihat lebih manis. Sesekali ia meminum teh botol yang kusediakan di samping tempat duduknya. Sesekali ia juga mengibaskan kerah kemejanya karena kepanasan, kemudian membuka pecinya sehingga nampaklah rambutnya yang sedikit berantakan namun membuatnya terlihat semakin manis.
Sebetulnya nama Kang Hafid sudah tidak asing lagi di telinga para santri, terlebih ia adalah fotografer andalan pesantren. Setiap ada acara, tamu atau kegiatan-kegiatan pesantren pasti Kang Hafid-lah yang akan mendokumentasikannya. Dengan lihai ia berjalan kesana kemari, menyibak keramaian dan mengambil posisi tertentu demi mendapatkan foto yang maksimal. Kang Hafid adalah santri multitalenta.
Di pesantren, jarang sekali ditemukan santri seperti dia. Sebelum diamanahi untuk mengelola media pesantren, Kang Hafid sering diikutsertakan dalam Musabaqoh Qiraatil Kitab. Ia juga sering menjadi juru bicara dalam acara bahstul masail dan sesekali menjadi moderatornya. Pengetahuan dan pemahaman kitab kuningnya cukup luas. Pemikiran dan wawasannya kemudian mulai berkembang saat ia memasuki bangku kuliah. Ia pun mulai mengikuti organisasi intra kampus dan diskusi-diskusi terbuka.
Selain tetap eksis menjadi moderator bahsul masail, ia juga sering ditunjuk untuk menjadi moderator seminar di kampusnya. Namanya kian melambung saat ia juga aktif menulis di mading pesantren. Dari sana, kemudian Ibu Nyai memintanya untuk bergabung dengan tim multimedia agar tulisan-tulisannya juga bisa menjadi konten di berbagai media pesantren.
Setelah bergabung dengan tim multimedia tulisan-tulisannya kemudian juga terbit di website. Banyak alumni yang mengetahui informasi terkini mengenai pesantren melalui tulisan-tulisannya itu. Ide dan pengetahuannya juga sering dikemas dalam desain grafis untuk mengisi konten Instagram, facebook dan twitter. Selain itu setelah bergabung dengan tim multimedia, juga membuat Kang Hafid tertarik untuk menggeluti dunia fotografi.
Jika acara tidak membutuhkan moderator atau ia tidak diminta untuk menjadi MC, maka ia akan muncul sebagai seorang fotografer. Bagi Kang Hafid pesantren bukan hanya tempat menuntut ilmu, tapi juga menjadi tempat untuk mengembangkan minat, bakat dan hobinya. Begitulah kurang lebih cerita perjalanan Kang Hafid yang aku tahu dari Mbak Zidni dan membuatku semakin terkagum-kagum kepadanya.
Ada satu hal yang membuatku enggan untuk menyimpan perasaan khusus kepada Kang Hafid. Mbak Vivi, yang juga merupakan rekan kerjanya dan telah berteman sejak mereka duduk di bangku Aliyah, membuatku selalu menampik perasaanku kepada Kang Hafid. Mbak Vivi memang selalu mengaku bahwa ia dan Kang Hafid hanya berteman, lebih dari itu mungkin sahabat. Mbak Vivi selalu menampik jika ada yang mengatakan bahwa ia cocok dengan Kang Hafid karena memiliki hobi, bakat dan minat sama.
Namun aku kerap kali menyaksikan ada binar mata yang berbeda saat Mbak Vivi berkomunikasi dengan Kang Hafid. Binar mata itu pun aku temukan pada saat yang sama tatkala aku mulai jatuh ke dalam pesona Kang Hafid, yaitu pada saat Kang Hafid sedang sibuk memotret para calon peserta khatmil juz ‘amma. Saat itu tiba-tiba Mbak Vivi muncul di pintu aula dengan membawa kamera DSLR. Mula-mula ia hanya melihat sekitar sambil memperhatikan khatimat yang sedang difoto. Kemudian Mbak Zidni yang melihat kedatangannya pun memanggilnya.
“Vivi!” Ucap Mbak Zidni sedikit berteriak sehingga mengalihkan perhatian Kang Hafid.
“Hai!” Mbak Vivi melambaikan tangan kemudian berjalan ke arah Mbak Zidni.
“Kok ke sini, Vi? Katanya sedang ada tugas?” Tanya kang Hafid.
“Iya. Kamu bawa lensa fix gak, Fid? Pinjem dong!” Mbak Vivi menyampaikan maksud kedatangannya.
“Ini ada!” Kang Hafid lalu membuka ranselnya dan mengambil lensa kamera berukuran sedang.
“Aku pakai yah!”
“Iya, mangga!”
Sekilas percakapan mereka memang biasa saja. Namun aku seperti dapat melihat tatapan Kang Hafid yang penuh arti saat Mbak Vivi memangsang lensa itu di kameranya.
“Oke, sudah!” Ucap Mbak Vivi.
“Dicoba dulu, Vi!” Kang Hafid menimpali.
Mbak Vivi kemudian mengarahkan lensa kameranya ke salah satu jendela aula lalu membidiknya.
“Kok nge-blur yah?” Ia memperlihatkan hasil fotonya kepada Kang Hafid.
“Ya iya, autofocusnya belum diatur!” Ucap Kang Hafid sambil menekan salah satu tombol kamera Mbak Vivi. “Abis ini harus banyak latihan pake lensa fix lagi yah. Nih coba lagi!”
Cekrek! Mbak Vivi pun kembali membidik objek.
“Nah, oke! Aku bawa dulu yah Fid. Matur nuwun!”
“Sami-sami!”
Mbak Vivi kemudian beranjak pergi setelah sebelumnya juga menyapaku basa-basi.
Sepenjang mereka berbincang aku betul-betul memperhatikan. Itulah salah satu momen saat aku dapat melihat binar yang berbeda di mata Kang Hafid dan Mbak Vivi. Binar mata itu berhasil menimbulkan rasa perih di dalam hatiku. (Bersambung)