Mubadalah.id – Iyem merupakan seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) selama bertahun-tahun, ia bekerja pada seorang tetangga di daerah rumahnya. Pekerjaan ia mulai sejak subuh hingga sore hari dengan tugas membersihkan rumah dan memasak. Karena rumahnya dekat maka ia tidak perlu menginap di tempat sang pemberi kerja.
Iyem memulai pekerjaannya pagi-pagi sekali saat orang lain masih terlelap. Ia harus menyiapkan makanan untuk satu keluarga besar sang pemberi kerja. Sebelum subuh ia harus sudah memasak karena aktivitas pemberi kerja dimulai dini hari. Pemberi kerja Iyem merupakan seorang wirausaha pembuat lontong yang kemudian didistribusikan ke pasar dan pedagang-pedagang.
Setelah memasak, ia bertugas untuk mencuci piring dan bersih-bersih rumah. Iyem tidak harus stay di rumah pemberi kerja. Saat tugasnya sudah selesai, ia bebas untuk pulang atau melakukan aktivitas lainnya. Saat siang ia akan kembali untuk mencuci piring dan di sore hari ia akan bersih-bersih rumah. Tanpa sadar, Iyem telah menjadi korban eksploitasi tenaga kerja.
Upah dibayar Murah
Namun kendati demikian, tenaga yang ia keluarkan tidak sebanding dengan upah yang ia dapatkan. Iyem hanya mendapatkan upah Rp25 ribu dalam seminggu yang berarti upah bulanannya hanya Rp100 ribu.
Walaupun makannya ditanggung oleh pemberi kerja, namun tentu saja upah tersebut jauh dari kata layak. Bagaimana mungkin tenaga PRT yang Iyem keluarkan dalam satu bulan hanya dihargai Rp100 ribu?
Bahkan menyuruh Iyem juga untuk mencuci baju, namun seringnya ia tidak menerima uang untuk membeli sabun pencuci pakaian. Sayangnya Iyem tidak punya pilihan lain selain bertahan, ia memilih untuk melanjutkan sebagai PRT dibanding tidak bekerja sama sekali.
Selain itu kata ‘tetangga’ membuat dia terima dengan upah yang diberikan. Padahal Iyem juga membantu dalam melakukan proses bisnis sang pemberi kerja.
Baginya yang terpenting adalah ia bisa makan tanpa khawatir, upah Rp25 ribu adalah bonus untuk membeli keperluan lainnya. Ia tidak sadar bahwa dia berhak untuk mendapatkan upah yang lebih layak dari upahnya saat ini.
Korban Eksploitasi Tenaga Kerja
Iyem merupakan satu dari sekian banyak PRT yang menjadi korban eksploitasi tenaga kerja. Di mana mereka rentan mengalami tindak kekerasan dan sulit mendapatkan perlindungan serta jaminan sosial. Tempat tinggal yang jauh dari peradaban kota membuat posisi PRT semakin rentan.
Penyebutan istilah PRT saja jarang digunakan oleh pemberi kerja. Masih banyak yang menggunakan istilah Asisten Rumah Tangga (ART) bahkan pembantu. Hal tersebut yang kemudian membuat pemberi kerja tidak menganggap profesi PRT sebagai tenaga kerja.
Ketika pemberi kerja tidak menganggap mereka sebagai pekerja, maka yang terjadi adalah upah yang tidak layak dan perlakuan yang sewenang-wenang. Bertambah pekerjaan rumah tangga mereka anggap sebagai ranah domestik yang tidak memiliki nilai ekonomis. Sehingga pekerjaan PRT seringkali kita pandang sebelah mata.
Hal tersebut yang kemudian membuat kehidupan PRT dalam negeri jauh dari kata layak. Mereka belum bisa menaikkan taraf hidup dan keluar dari kemiskinan. Banyak PRT dalam negeri yang menerima upah hanya cukup untuk bertahan hidup. Bahkan tidak sedikit yang upahnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Minimnya upah yang PRT terima, membuat mereka juga kesulitan dalam mengakses jaminan kesehatan. Yakni dengan upah tersebut PRT akan memprioritaskan kebutuhan dasar mereka. Iyem adalah salah satu dari sekian banyak PRT yang tidak mendapatkan subsidi dari pemberi kerja untuk membayar jaminan kesehatan.
Sehingga ia hanya mampu mengakses posyandu untuk lansia yang diadakan setiap satu bulan sekali untuk mengecek kesehatannya. Di mana posyandu tersebut hanya melayani cek kesehatan dasar.
Lingkaran Kemiskinan
Berdasarkan data dari JALA PRT sebanyak 20-30% penduduk miskin Indonesia adalah PRT. JALA PRT mendasarkan ini pada upah yang PRT terima. Di Semarang PRT full time menerima upah Rp800.000, di Medan Rp700.000, di Makassar Rp 800 ribu, dan Jakarta sekitar Rp1-1,5 juta.
Padahal PRT sangat berkontribusi pada produktivitas pemberi kerja. Pemberi kerja bisa bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah tanpa perlu memikirkan pekerjaan rumah seperti memasak, bersih-bersih, mencuci, dan lain sebagainya.
Mereka akan menikmati suasana rumah yang nyaman karena semua pekerjaan rumah sudah selesai PRT lakukan. Riset JALA PRT tahun 2012 mengungkap tanpa PRT, pengeluaran pemberi kerja kelas atas bisa naik lima kali lipat.
Sementara pada pemberi kerja kelas menengah, pengeluaran mereka meningkat dua kali lipat jika tanpa PRT. Riset ini mengungkap, pada kelas menengah mengeluarkan Rp300.000-Rp400.000 untuk kebutuhan sekali makan.
Angka ini menyumbang modernitas tidak hanya pemberi kerja, tapi seluruh penghuni rumah, termasuk kebersihan, kerapihan, dan lain-lain. Tidak hanya itu, banyak PRT yang luput dari bantuan sosial. Riset JALA PRT terhadap 668 PRT menunjukkan 89% PRT tidak mendapatkan dana bantuan sosial.
Salah satu faktornya adalah kriteria penerima dana bansos berdasarkan properti dan pendapatan. Padahal, kepesertaan PRT dalam program keluarga harapan (PKH) bisa mereka gunakan untuk menutupi pemenuhan hak PRT yang tidak bisa berikan oleh pemberi kerja.
Data-data tersebut menunjukkan bagaimana ketimpangan yang PRT alami di Indonesia hingga saat ini.
Negara Abai terhadap Nasib PRT
Walaupun telah banyak data yang menunjukkan bagaimana nasib PRT di Indonesia, negara belum juga berkontribusi untuk PRT.
RUU PRT yang sudah digagas sejak dua dekade lalu belum juga disahkan hingga saat ini. Pada tahun ini RUU PRT memang mengalami kemajuan dengan masuk sebagai RUU inisiatif DPR pada Maret lalu, namun pengesahannya terus tertunda hingga hari ini.
Ketika para wakil rakyat memilih untuk tidak mengesahkan RUU PRT dengan segera, semakin banyak PRT yang menjadi korban kekerasan fisik bahkan ekonomi. Para pemberi kerja juga semakin semena-mena dalam memberikan upah kepada PRT, karena tidak adanya sistem yang negara gunakan untuk menyesuaikan upah PRT di dalam negeri.
Walaupun di Indonesia ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Di mana dalam peraturan tersebut telah mengatur PRT sebagai pekerja, pemberi kerja, serta penyalur tenaga kerja PRT, namun mengenai hak-hak PRT, Permenaker ini masih dianggap jauh tertinggal.
Kita membutuhkan payung hukum Undang-undang yang mengakui bahwa PRT adalah jenis pekerjaan sama seperti pekerjaan lainnya. Sehingga secara hukum hak dan kewajiban sebagai pekerja akan melekat termasuk perlindungan jam kerja, upah, jaminan sosial, dsb.
Dalam RUU PRT telah mengatur mengenai pengakuan PRT sebagai pekerja, perlindungan PRT, penghapusan PRT anak, Hak dan Kewajiban PRT, serta sanksi hukum. Sehingga sangat penting bagi negara untuk segera mengesahkan RUU PRT, agar PRT mendapat perlindungan secara hukum.
Dengan pengesahan RUU PRT juga kita harapkan ada penyesuaian untuk upah PRT di seluruh Indonesia agar angka kemiskinan pun ikut turun. []