Jumat, 3 Oktober 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Soka Gakkai

    Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

    Gus Dur dan Ikeda

    Masjid Istiqlal Jadi Ruang Perjumpaan Dialog Peradaban Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Fasilitas Ramah Disabilitas

    Teguhkan Komitmen Inklusif, Yayasan Fahmina Bangun Fasilitas Ramah Disabilitas

    UIN SSC Kampus Inklusif

    UIN SSC Menuju Kampus Inklusif: Dari Infrastruktur hingga Layanan Digital Ramah Disabilitas

    Makan Bergizi Gratis

    Ironi Makan Bergizi Gratis: Ketika Urusan Dapur Menjadi Kebijakan Publik

    Nyai Sinta Nuriyah

    Kunjungi Aktivis yang Ditahan, Nyai Sinta Nuriyah Tunjukkan Keteguhan Ulama Perempuan dalam Membela Rakyat

    Hari Tani

    Hari Tani Nasional 2025: Menghargai Petani dan Menjaga Pangan Negeri

    Jaringan WPS

    5 Tuntutan Jaringan WPS Indonesia atas Penangkapan Perempuan Pasca Demonstrasi

    Kampanye Inklusivitas

    Inklusivitas di Era Digital: Strategi Baru Kampanye di Media Sosial

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    kerja domestik

    Meneladani Nabi Muhammad dalam Kerja Domestik

    Fiqhul Bina'

    Belajar dari Musibah Ponpes Al Khoziny: Menghidupkan Fiqhul Bina’ di Dunia Pesantren

    Ekosistem mangrove

    Perempuan Pangkal Babu: Menjaga Ekosistem Mangrove Lewat Batik

    Pipiet Senja

    Mengenang Pipiet Senja; Terima Kasih telah Mewarnai Masa Remajaku

    Rumah Tinggal

    Mencari Rumah Tinggal bagi Keluarga Sakinah

    Kerja Domestik

    Kerja Domestik Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Ibadah

    Difabel Grahita

    Fikih Inklusif : Meneguhkan Hak Ekonomi Dan Sosial Difabel Grahita

    Kerja Domestik

    Kerja Domestik dalam Perspektif Mubadalah

    Kehilangan Mama

    Apa Rasanya Kehilangan Mama?

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Keluarga Mubadalah

    Keluarga dalam Perspektif Mubadalah

    Syafaat Nabi

    Lima Syafaat Nabi di Tengah Lesunya Ekonomi

    Akhlak Nabi

    Dakwah Nabi di Makkah: Menang dengan Akhlak, Bukan Kekerasan

    Teladan Nabi dan Abu Bakar terhadap Umat Berbeda Agama

    Teladan Nabi dan Abu Bakar terhadap Umat Berbeda Agama

    Akhlak Nabi yang

    Akhlak Nabi Tak Pernah Berubah, Meski pada yang Berbeda Agama

    Nabi Muhammad Saw

    Kesaksian Khadijah Ra atas Kemuliaan Akhlak Nabi Muhammad Saw

    Berbeda Agama

    Membaca Kembali Relasi Nabi dengan Umat Berbeda Agama

    Akhlak Nabi dalam

    Meneladani Akhlak Nabi dalam Relasi Antarumat Beragama

    Akhlak Luhur Nabi

    Meneladani Akhlak Luhur Nabi Muhammad Saw

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Soka Gakkai

    Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

    Gus Dur dan Ikeda

    Masjid Istiqlal Jadi Ruang Perjumpaan Dialog Peradaban Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Fasilitas Ramah Disabilitas

    Teguhkan Komitmen Inklusif, Yayasan Fahmina Bangun Fasilitas Ramah Disabilitas

    UIN SSC Kampus Inklusif

    UIN SSC Menuju Kampus Inklusif: Dari Infrastruktur hingga Layanan Digital Ramah Disabilitas

    Makan Bergizi Gratis

    Ironi Makan Bergizi Gratis: Ketika Urusan Dapur Menjadi Kebijakan Publik

    Nyai Sinta Nuriyah

    Kunjungi Aktivis yang Ditahan, Nyai Sinta Nuriyah Tunjukkan Keteguhan Ulama Perempuan dalam Membela Rakyat

    Hari Tani

    Hari Tani Nasional 2025: Menghargai Petani dan Menjaga Pangan Negeri

    Jaringan WPS

    5 Tuntutan Jaringan WPS Indonesia atas Penangkapan Perempuan Pasca Demonstrasi

    Kampanye Inklusivitas

    Inklusivitas di Era Digital: Strategi Baru Kampanye di Media Sosial

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    kerja domestik

    Meneladani Nabi Muhammad dalam Kerja Domestik

    Fiqhul Bina'

    Belajar dari Musibah Ponpes Al Khoziny: Menghidupkan Fiqhul Bina’ di Dunia Pesantren

    Ekosistem mangrove

    Perempuan Pangkal Babu: Menjaga Ekosistem Mangrove Lewat Batik

    Pipiet Senja

    Mengenang Pipiet Senja; Terima Kasih telah Mewarnai Masa Remajaku

    Rumah Tinggal

    Mencari Rumah Tinggal bagi Keluarga Sakinah

    Kerja Domestik

    Kerja Domestik Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Ibadah

    Difabel Grahita

    Fikih Inklusif : Meneguhkan Hak Ekonomi Dan Sosial Difabel Grahita

    Kerja Domestik

    Kerja Domestik dalam Perspektif Mubadalah

    Kehilangan Mama

    Apa Rasanya Kehilangan Mama?

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Keluarga Mubadalah

    Keluarga dalam Perspektif Mubadalah

    Syafaat Nabi

    Lima Syafaat Nabi di Tengah Lesunya Ekonomi

    Akhlak Nabi

    Dakwah Nabi di Makkah: Menang dengan Akhlak, Bukan Kekerasan

    Teladan Nabi dan Abu Bakar terhadap Umat Berbeda Agama

    Teladan Nabi dan Abu Bakar terhadap Umat Berbeda Agama

    Akhlak Nabi yang

    Akhlak Nabi Tak Pernah Berubah, Meski pada yang Berbeda Agama

    Nabi Muhammad Saw

    Kesaksian Khadijah Ra atas Kemuliaan Akhlak Nabi Muhammad Saw

    Berbeda Agama

    Membaca Kembali Relasi Nabi dengan Umat Berbeda Agama

    Akhlak Nabi dalam

    Meneladani Akhlak Nabi dalam Relasi Antarumat Beragama

    Akhlak Luhur Nabi

    Meneladani Akhlak Luhur Nabi Muhammad Saw

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rekomendasi

Pulau Paskah Sebagai Analogi untuk Nasib Bumi, Menarik!

Hikmah bagi kita adalah membandingkan dan menganalogikan pulau paskah dengan nasib bumi kita di masa datang. Menurut Breegman, ada kesamaan yang mengerikan dan meresahkan.

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
18 Oktober 2023
in Tak Berkategori
0
pulau paskah Analogi bumi

pulau paskah Analogi bumi

817
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Saya punya cerita. Cerita tentang pulau paskah sebagai analogi tuk nasib bumi ke depannya”. Kata ku tiba-tiba kepada teman-teman saat kami sedang khusuk menarkib (memahami seksama) kitab Al-Bi’ah karya Sekh Ali Goma (Ali Jum’ah).

Anshori, secara lekas mendongakkan kepalanya sebagai tanda antusias, demikian pula Firman dan Ismail. Yang segera saya kasih disclaimer bahwa ini hanya cerita. Cerita yang saya dapatkan dari Zia Anshor, yang katanya dari Rutger Bregman. “Jadi, kalian boleh percaya atau tidak. Boleh di searching di Mbah Google kalau sudah liburan pesantren untuk verifikasi”, tegas saya.

Sekilas Pulau Paskah dan Patung Moai

Saya pun mulai berkisah bahwa Pulau paskah ini — yang nantinya sebagai analogi bumi — ditemukan (lagi) sekitar 5 April 1722 oleh Jacob Roggeven dan kawanannya yang sedang berekspedisi mencari peradaban baru. Tepatnya, pada minggu paskah di tahun itu. Sehingga mereka menyebutnya Paasch Eyland (Pulau Paskah). Pulau yang terletak di Samudra Pasifik yang luas, pulau yang gundul tanpa pepohonan.

Roggeven terkejut saat mendekat lantaran melihat segelintir manusia yang menyedihkan di pulau paskah dalam bentangan bumi yang luas seraya menyambutnya. Artinya, Roggeven bukanlah orang pertama yang mendarat di pulau itu. Dalam keterkejutannya, ia tambah bingung tatkala melihat patung-patung besar di sana – Moai sebutan untuk patungnya.

Untung, dengan segala kemajuan sains, orang-orang yang ada di pulau itu bisa teridentifikasi melalui tes DNA. Hasilnya, mereka berasal dari Bangsa Polinesia yang menjelajahi Pasifik dan berhasil menemukan Pulau kecil yang kemudian bernama pulau paskah jauh sebelum Jacob Roggeven mendarat ke sana.

Sedangkan patung-patung Moai masih menjadi misteri sebab sudah hancur lebur tak bersisa saat seorang Antropolog muda, Katherine Routledgi, datang guna melakukan penelitian lapangan sekitar tahun 1914. Semua patungnya rebah, patah-patah, serta tertimbun tumbuhan liar, menurut laporan Rutger Bregman saat bercerita.

Tak pelak, Katherine menyimpan pertanyaan. Bagaimana bisa masyarakat kecil bisa membuat patung raksasa? di saat yang sama, mereka hidup di pulau tanpa pohon, tandus, gundul dan tanpa roda, apa lagi derek. Apakah dulu pulau paskah memiliki banyak masyarakat? Pertanyaan yang diajukan Katherine ke penduduk setempat.

Pengungkapan Masa Lampau dan Konflik Internal: Suku Telinga Panjang dan Telinga Pendek.

Penduduk pun menceritakan asal-muasal kehidupan lampaunya yang ternyata mengerikan.  Dulu, tandas mereka, dua suku menghuni pulau paskah ini: Telinga Panjang dan Telinga pendek. Keduanya hidup rukun, damai, sosial tinggi, dan saling percaya selama kurun waktu hingga terjadi peristiwa atau tragedi, tepatnya.

Tragedi yang membuat dua suku itu bersitegang dan mengalami konflik, layaknya kaum ‘Auz dan Khazraj di Yatsrib, ya. Konflik tak berkesudahan yang akhirnya pecah menjadi pembantaian. Di mana suku telinga pendek membabi buta menumpaskan darah saudara sukunya- Telinga Panjang. Bahkan, yang lebih mengerikan, di hari-hari mendatang penduduk paskah berubah menjadi Kanibal.

Pemicunya tiada lain adalah si Moai, patung-patung raksasa itu sebagaimana kesimpulan dari riset panjang-nya Thor Heyerdahl bersama Williyam Molloy seorang saintis Amerika sejak tahun 1955 hingga dipublikasikan pada tahun 1974. Sekitar 40 tahun lamanya, untuk mengetahui motif pembantaian, setelah  pengungkapan masa lampau terungkap di catatan Katherine.

Kesimpulan itu bermula saat keduanya menemukan serbuk sari dari pohon yang asing. Dan setelah diteliti melalui mikroskop – dari seorang ahli – keduanya menjadi tahu bahwa pulau itu dulunya tertutup dengan hutan. Pulau yang hijau, penuh pepohonan begitu asri.

Misteriusnya Patung Moai dan Dampaknya Pada Lingkungan

Patung Moai ini semacam simbol kekuasaan. Semakin besar patung Moai semakin besar lambang kekuasaan seseorang di pulau itu. Oleh karenanya, kontestasi itu memantik para kepala suku untuk terus menuntut moai semakin banyak dan besar yang dipahat di batu kemudian ditarik menggunakan pohon yang sudah ditebang.

Implikasinya, semakin banyak permintaan produksi patung maka semakin banyak pula tenaga yang dibutuhkan untuk bekerja, semakin banyak pula makanan untuk pekerja, dan semakin banyak pula pohon yang ditebang untuk memindahkan si patung moai. Puncaknya, datanglah hari di mana tetumbuhan habis tertebang, tanah pun tererosi yang menyebabkan hasil panen tak memuaskan. Dan menciptakan kelaparan.

Mau melaut mencari ikan pun mustahil lantaran tidak ada kayu buat perahu. Produksi patung mandeg dan ketegangan mulai timbul bak sumbu. Dan akhirya pecah menjadi pembantaian sekitar tahun 1680 sebagaimana catatan Kathrene di muka. Lebih jauh, Mulloy melaporkan bahwa dalam kondisi demikian sisa penduduk mengamuk semakin beringas.

Patung-patungnya dihancurkan karena kecewa dan rasa lapar mengubah mereka menjadi monster yang memakan sesama manusia guna menghilangkan rasa laparnya. Hatta beredar anekdot favorit, “Daging ibumu menyelip di antara gigi-gigi ku”. 

Jadi, kata Azi Anshor menceritakan (menerjemahkan) cerita (buku) dari Rutger Breegman, ketika Jacob Roggeveen pada tahun 1722 menemukan pulau itu dalam kondisi gundul tanpa pohon, penduduknya melarat. Karena sebelumnya telah terjadi “tragedi”: eksploitasi lingkungan besar-besaran hingga pelanggaran kemanusiaan. Demi apa? demi memenuhi hasrat keserakahan manusia.

Hikmah Ceritanya? Pulau Paskah Analogi Menarik tuk Bumi kita

Cukup menarik ketika Rutger Breegman memberikan pertanyaan analitik di atas. Ia pun menjawab sendiri dalam ceritanya bahwa hikmah bagi kita adalah membandingkan dan menganalogikan pulau paskah dengan nasib bumi kita di masa datang. Menurut Breegman, ada kesamaan yang mengerikan dan meresahkan.

(1) Pulau paskah adalah titik di tengah samudra luas, bumi adalah titik di jagat raya luas. (2) Penduduk pulau pasakh tak punya perahu lantaran tak ada kayu untuk kabur dari krisis, kita tidak punya roket yang terbang selamanya menghadapi krisis. (3) Pulau paskah menjadi gundul dan tercemar serta memanas, pun bumi kita.

Relevan tidak analisis Rutger Breegman dengan bumi kita saat ini? bumi kita yang mengalami krisis lingkungan dan pemanasan global. Sebagaimana Pulau Paskah, pemicunya adalah keserakahan manusia. Bila penduduk pulau paskah serakah akan patung raksasa Moai sebagai lambang kekuasaan, manusia bumi era ini serakah dengan kecanggihan sains-nya sebagai simbol kekuatan.

Keserakahan Manusia Yang “Berperadaban”

Dasawarsa belakangan, salah satu kecanggihan sains terbukti dengan penemuan AI (artificial intelligence) dan robot yang menawarkan banyak solusi. Di antaranya efisiensi dan efektivitas bagi segelintir orang atau elitis. bahkan, AI sebagai standar peradaban baru atau revolusi industri 5.0.

Di saat yang sama juga menimbulkan problem sosial lantaran AI banyak menggantikan peran-peran manusia. Konsekuensinya, banyak pengangguran. Dan muaranya (tidak mustahil) muncul revolusi kembali layaknya revolusi Prancis tahun 1789-1799.

Isu AI yang membuat saya dan mahasantri membahasnya dari perspektif agama mengingat Indonesia masih terbilang penduduk religius. Kesimpulannya, “Secanggih-canggihnya AI adalah seburuk-buruknya manusia”. Tentu saja itu kesimpulan yang tak lepas dengan doktrin agama. Bukankah AI ciptaan manusia sedangkan manusia ciptaan Tuhan melalui hukum alamnya? – kendatipun sangat lemah argumen ini.

Tentu saja saya tidak menolak secara utuh akan sains justru saya sangat bersyukur dengan kemajuan sains tersebut senyampang proporsional. Kesimpulan kami sesungguhnya sebagai lecutan bagi kita bagaimana menghadapi tantangan tersebut atau bahkan bisa mengawalnya hingga tidak melampaui pakem syariat – syariat agama apa pun.

Thomas Hobbes, Jean-Jacques Rousseau dan Imam Al-Ghazali

Memang keserakahan manusia sebagai pemicu krisis lingkungan dan kekacauan sosial sebagaimana di pulau paskah yang menjadi analogi nasib bumi. Tetapi itu berangkat dari paradigma bahwa manusia adalah makhluk egois nan kejam yang menjadi teori maenstrim di tahun-tahun itu. Teori lapis luar-nya Thomas Hobbes (1588 – 1679) yang masyhur dengan statementnya yang banyak dikutip, “Human nature is essentially cruel and selfish”.

Sebaliknya, Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778) mengajukan anti tesa dari teori “seniornya” itu. Ia berpendapat, sebagaimana sudah maklum, manusia dasarnya adalah baik.  Demikian pula ketika menelisik fakta-fakta pulau pasakh, menyimpulkan hal yang sama sekali berbeda bahkan paradoks dengan kesimpulan cerita di atas, yang seolah mengerikan.

Penelitian terbaru, dengan melibatkan banyak fan ilmu mulai dari sejarah, ekologi, geografi, antropologi, dan arkeologi serta bantuan dari sains-sains mutakhir, konklusinya tidak ada pembantaian. Dan moai yang diklaim sebagai simbol kekuasaan nyatanya adalah untuk ritual keagamaan yang mengintegrasikan seluruh masyarakat.

Lanjut dari Bregman dalam bukunya, Human kind. Lantas bagaimana kalau kondisi pulau paskah itu dianalogikan dengan nasib bumi kita sekarang?

Jauh sebelum kedua filosof besar itu, (menurut saya) Imam Al-Ghazali (1058 M –  1111M) sudah mengemukakan sifat dasariah manusia dalam kitab Ihya Ulumiddn juz 3. Menurutnya, sifat dasariah manusia terbentuk dari empat unsur: Sab’iyah (kehewanan buas), Bahimiyah (kebinatangan), Saythaniyah (kesetanan), Rabbaniyah (ketuhanan).

Sifat Sab’iyah merepresentasikan sifat agresi; suka perang, memfitnah dan bermusuhan satu sama lain. Bahimiyah manifestasi dari sifat kerakusan; rakus akan makanan, kekayaan, serta rakus akan lawan jenis atau sek. Syaithaniyah sifat yang senantiasa memprovokasi kedua potensi di atas. Dan Rabbaniyah adalah sifat-sifat terpuji yang mencatut sifat-sifat ketuhanan sesuai teorinya Jean-Jacques Rousseau.

Closing statement

Lebih gamblang, beliau menyebutkan, dalam diri insan tersusun dari unsur anjing (agresif), babi (rakus), setan (provokator), dan hakim (akal). Selebihnya manusia sendiri yang memilih, sifat mana yang lebih ia tonjolkan. Dengan empat sifat dasariah itu, manusia menjalani kehidupan.

Demikian cerita yang saya sadur dari buku Human Kind melalui tangan Zia Anshor yang menerjemahkan dari tulisan Rutger Breegman, kata ku kepada wan-kawan. Jadi, kita sebagai manusia yang memiliki unsur keserakahan dan kebajikan sebagaimana teori Al-Ghazali, Thomas Hobbes dan Jean-Jacques Rousseau harus bijak menyikapinya. Antara lain memiliki kesadaran lingkungan dan sosial.

“Seperti kita sekarang, menelaah tentang lingkungan. Tidak hanya Fathul Wahhab dan Jam’ul Jawamik yang mengajarkan hukum dalam sosial lampau (yang konon sudah IS DEAD atau EXPIRED) atau teori fikih dan ushul fiqh, termasuk teori maqasid al-Syariah. Tetapi kita membaca maqasid al-Syariah yang hidup (praktis) dalam kitab Al-Bi’ah karya Ali Goma ini”. Tandas ku mengakhiri cerita, yang dibalas skeptis oleh kawan lantaran saya sok bijak. []

 

 

 

Tags: Bumi KitaHuman Kindkrisis lingkunganPemanasan GlobalPulau Paskah
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Keadilan iklim
Publik

Suara Disabilitas Untuk Keadilan Iklim 

12 September 2025
Pisangan Ciputat
Publik

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Raja Ampat
Publik

Surga Raja Ampat dan Ancaman Pertambangan Nikel

18 Juni 2025
Banjir Rob
Publik

Refleksi Hadis Hijau atas Banjir Rob Desa Timbulsloko Akibat Krisis Iklim

17 Februari 2025
Kebakaran Hutan
Publik

Kebakaran di Los Angeles Harusnya Jadi Alarm Isu Climate Crisis Indonesia

17 Januari 2025
Terra Viva
Buku

Terra Viva: Memoar tentang Perjuangan Perempuan Merawat Bumi

11 November 2024
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Difabel Grahita

    Fikih Inklusif : Meneguhkan Hak Ekonomi Dan Sosial Difabel Grahita

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenang Pipiet Senja; Terima Kasih telah Mewarnai Masa Remajaku

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Pangkal Babu: Menjaga Ekosistem Mangrove Lewat Batik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kerja Domestik Laki-Laki dan Perempuan Sama-Sama Ibadah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Meneladani Nabi Muhammad dalam Kerja Domestik
  • Belajar dari Musibah Ponpes Al Khoziny: Menghidupkan Fiqhul Bina’ di Dunia Pesantren
  • Perempuan Pangkal Babu: Menjaga Ekosistem Mangrove Lewat Batik
  • Mengenang Pipiet Senja; Terima Kasih telah Mewarnai Masa Remajaku
  • Pimpinan Soka Gakkai Jepang: Dialog Antaragama Hilangkan Salah Paham tentang Islam

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID