Mubadalah.id – “Saya punya cerita. Cerita tentang pulau paskah sebagai analogi tuk nasib bumi ke depannya”. Kata ku tiba-tiba kepada teman-teman saat kami sedang khusuk menarkib (memahami seksama) kitab Al-Bi’ah karya Sekh Ali Goma (Ali Jum’ah).
Anshori, secara lekas mendongakkan kepalanya sebagai tanda antusias, demikian pula Firman dan Ismail. Yang segera saya kasih disclaimer bahwa ini hanya cerita. Cerita yang saya dapatkan dari Zia Anshor, yang katanya dari Rutger Bregman. “Jadi, kalian boleh percaya atau tidak. Boleh di searching di Mbah Google kalau sudah liburan pesantren untuk verifikasi”, tegas saya.
Sekilas Pulau Paskah dan Patung Moai
Saya pun mulai berkisah bahwa Pulau paskah ini — yang nantinya sebagai analogi bumi — ditemukan (lagi) sekitar 5 April 1722 oleh Jacob Roggeven dan kawanannya yang sedang berekspedisi mencari peradaban baru. Tepatnya, pada minggu paskah di tahun itu. Sehingga mereka menyebutnya Paasch Eyland (Pulau Paskah). Pulau yang terletak di Samudra Pasifik yang luas, pulau yang gundul tanpa pepohonan.
Roggeven terkejut saat mendekat lantaran melihat segelintir manusia yang menyedihkan di pulau paskah dalam bentangan bumi yang luas seraya menyambutnya. Artinya, Roggeven bukanlah orang pertama yang mendarat di pulau itu. Dalam keterkejutannya, ia tambah bingung tatkala melihat patung-patung besar di sana – Moai sebutan untuk patungnya.
Untung, dengan segala kemajuan sains, orang-orang yang ada di pulau itu bisa teridentifikasi melalui tes DNA. Hasilnya, mereka berasal dari Bangsa Polinesia yang menjelajahi Pasifik dan berhasil menemukan Pulau kecil yang kemudian bernama pulau paskah jauh sebelum Jacob Roggeven mendarat ke sana.
Sedangkan patung-patung Moai masih menjadi misteri sebab sudah hancur lebur tak bersisa saat seorang Antropolog muda, Katherine Routledgi, datang guna melakukan penelitian lapangan sekitar tahun 1914. Semua patungnya rebah, patah-patah, serta tertimbun tumbuhan liar, menurut laporan Rutger Bregman saat bercerita.
Tak pelak, Katherine menyimpan pertanyaan. Bagaimana bisa masyarakat kecil bisa membuat patung raksasa? di saat yang sama, mereka hidup di pulau tanpa pohon, tandus, gundul dan tanpa roda, apa lagi derek. Apakah dulu pulau paskah memiliki banyak masyarakat? Pertanyaan yang diajukan Katherine ke penduduk setempat.
Pengungkapan Masa Lampau dan Konflik Internal: Suku Telinga Panjang dan Telinga Pendek.
Penduduk pun menceritakan asal-muasal kehidupan lampaunya yang ternyata mengerikan. Dulu, tandas mereka, dua suku menghuni pulau paskah ini: Telinga Panjang dan Telinga pendek. Keduanya hidup rukun, damai, sosial tinggi, dan saling percaya selama kurun waktu hingga terjadi peristiwa atau tragedi, tepatnya.
Tragedi yang membuat dua suku itu bersitegang dan mengalami konflik, layaknya kaum ‘Auz dan Khazraj di Yatsrib, ya. Konflik tak berkesudahan yang akhirnya pecah menjadi pembantaian. Di mana suku telinga pendek membabi buta menumpaskan darah saudara sukunya- Telinga Panjang. Bahkan, yang lebih mengerikan, di hari-hari mendatang penduduk paskah berubah menjadi Kanibal.
Pemicunya tiada lain adalah si Moai, patung-patung raksasa itu sebagaimana kesimpulan dari riset panjang-nya Thor Heyerdahl bersama Williyam Molloy seorang saintis Amerika sejak tahun 1955 hingga dipublikasikan pada tahun 1974. Sekitar 40 tahun lamanya, untuk mengetahui motif pembantaian, setelah pengungkapan masa lampau terungkap di catatan Katherine.
Kesimpulan itu bermula saat keduanya menemukan serbuk sari dari pohon yang asing. Dan setelah diteliti melalui mikroskop – dari seorang ahli – keduanya menjadi tahu bahwa pulau itu dulunya tertutup dengan hutan. Pulau yang hijau, penuh pepohonan begitu asri.
Misteriusnya Patung Moai dan Dampaknya Pada Lingkungan
Patung Moai ini semacam simbol kekuasaan. Semakin besar patung Moai semakin besar lambang kekuasaan seseorang di pulau itu. Oleh karenanya, kontestasi itu memantik para kepala suku untuk terus menuntut moai semakin banyak dan besar yang dipahat di batu kemudian ditarik menggunakan pohon yang sudah ditebang.
Implikasinya, semakin banyak permintaan produksi patung maka semakin banyak pula tenaga yang dibutuhkan untuk bekerja, semakin banyak pula makanan untuk pekerja, dan semakin banyak pula pohon yang ditebang untuk memindahkan si patung moai. Puncaknya, datanglah hari di mana tetumbuhan habis tertebang, tanah pun tererosi yang menyebabkan hasil panen tak memuaskan. Dan menciptakan kelaparan.
Mau melaut mencari ikan pun mustahil lantaran tidak ada kayu buat perahu. Produksi patung mandeg dan ketegangan mulai timbul bak sumbu. Dan akhirya pecah menjadi pembantaian sekitar tahun 1680 sebagaimana catatan Kathrene di muka. Lebih jauh, Mulloy melaporkan bahwa dalam kondisi demikian sisa penduduk mengamuk semakin beringas.
Patung-patungnya dihancurkan karena kecewa dan rasa lapar mengubah mereka menjadi monster yang memakan sesama manusia guna menghilangkan rasa laparnya. Hatta beredar anekdot favorit, “Daging ibumu menyelip di antara gigi-gigi ku”.
Jadi, kata Azi Anshor menceritakan (menerjemahkan) cerita (buku) dari Rutger Breegman, ketika Jacob Roggeveen pada tahun 1722 menemukan pulau itu dalam kondisi gundul tanpa pohon, penduduknya melarat. Karena sebelumnya telah terjadi “tragedi”: eksploitasi lingkungan besar-besaran hingga pelanggaran kemanusiaan. Demi apa? demi memenuhi hasrat keserakahan manusia.
Hikmah Ceritanya? Pulau Paskah Analogi Menarik tuk Bumi kita
Cukup menarik ketika Rutger Breegman memberikan pertanyaan analitik di atas. Ia pun menjawab sendiri dalam ceritanya bahwa hikmah bagi kita adalah membandingkan dan menganalogikan pulau paskah dengan nasib bumi kita di masa datang. Menurut Breegman, ada kesamaan yang mengerikan dan meresahkan.
(1) Pulau paskah adalah titik di tengah samudra luas, bumi adalah titik di jagat raya luas. (2) Penduduk pulau pasakh tak punya perahu lantaran tak ada kayu untuk kabur dari krisis, kita tidak punya roket yang terbang selamanya menghadapi krisis. (3) Pulau paskah menjadi gundul dan tercemar serta memanas, pun bumi kita.
Relevan tidak analisis Rutger Breegman dengan bumi kita saat ini? bumi kita yang mengalami krisis lingkungan dan pemanasan global. Sebagaimana Pulau Paskah, pemicunya adalah keserakahan manusia. Bila penduduk pulau paskah serakah akan patung raksasa Moai sebagai lambang kekuasaan, manusia bumi era ini serakah dengan kecanggihan sains-nya sebagai simbol kekuatan.
Keserakahan Manusia Yang “Berperadaban”
Dasawarsa belakangan, salah satu kecanggihan sains terbukti dengan penemuan AI (artificial intelligence) dan robot yang menawarkan banyak solusi. Di antaranya efisiensi dan efektivitas bagi segelintir orang atau elitis. bahkan, AI sebagai standar peradaban baru atau revolusi industri 5.0.
Di saat yang sama juga menimbulkan problem sosial lantaran AI banyak menggantikan peran-peran manusia. Konsekuensinya, banyak pengangguran. Dan muaranya (tidak mustahil) muncul revolusi kembali layaknya revolusi Prancis tahun 1789-1799.
Isu AI yang membuat saya dan mahasantri membahasnya dari perspektif agama mengingat Indonesia masih terbilang penduduk religius. Kesimpulannya, “Secanggih-canggihnya AI adalah seburuk-buruknya manusia”. Tentu saja itu kesimpulan yang tak lepas dengan doktrin agama. Bukankah AI ciptaan manusia sedangkan manusia ciptaan Tuhan melalui hukum alamnya? – kendatipun sangat lemah argumen ini.
Tentu saja saya tidak menolak secara utuh akan sains justru saya sangat bersyukur dengan kemajuan sains tersebut senyampang proporsional. Kesimpulan kami sesungguhnya sebagai lecutan bagi kita bagaimana menghadapi tantangan tersebut atau bahkan bisa mengawalnya hingga tidak melampaui pakem syariat – syariat agama apa pun.
Thomas Hobbes, Jean-Jacques Rousseau dan Imam Al-Ghazali
Memang keserakahan manusia sebagai pemicu krisis lingkungan dan kekacauan sosial sebagaimana di pulau paskah yang menjadi analogi nasib bumi. Tetapi itu berangkat dari paradigma bahwa manusia adalah makhluk egois nan kejam yang menjadi teori maenstrim di tahun-tahun itu. Teori lapis luar-nya Thomas Hobbes (1588 – 1679) yang masyhur dengan statementnya yang banyak dikutip, “Human nature is essentially cruel and selfish”.
Sebaliknya, Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778) mengajukan anti tesa dari teori “seniornya” itu. Ia berpendapat, sebagaimana sudah maklum, manusia dasarnya adalah baik. Demikian pula ketika menelisik fakta-fakta pulau pasakh, menyimpulkan hal yang sama sekali berbeda bahkan paradoks dengan kesimpulan cerita di atas, yang seolah mengerikan.
Penelitian terbaru, dengan melibatkan banyak fan ilmu mulai dari sejarah, ekologi, geografi, antropologi, dan arkeologi serta bantuan dari sains-sains mutakhir, konklusinya tidak ada pembantaian. Dan moai yang diklaim sebagai simbol kekuasaan nyatanya adalah untuk ritual keagamaan yang mengintegrasikan seluruh masyarakat.
Lanjut dari Bregman dalam bukunya, Human kind. Lantas bagaimana kalau kondisi pulau paskah itu dianalogikan dengan nasib bumi kita sekarang?
Jauh sebelum kedua filosof besar itu, (menurut saya) Imam Al-Ghazali (1058 M – 1111M) sudah mengemukakan sifat dasariah manusia dalam kitab Ihya Ulumiddn juz 3. Menurutnya, sifat dasariah manusia terbentuk dari empat unsur: Sab’iyah (kehewanan buas), Bahimiyah (kebinatangan), Saythaniyah (kesetanan), Rabbaniyah (ketuhanan).
Sifat Sab’iyah merepresentasikan sifat agresi; suka perang, memfitnah dan bermusuhan satu sama lain. Bahimiyah manifestasi dari sifat kerakusan; rakus akan makanan, kekayaan, serta rakus akan lawan jenis atau sek. Syaithaniyah sifat yang senantiasa memprovokasi kedua potensi di atas. Dan Rabbaniyah adalah sifat-sifat terpuji yang mencatut sifat-sifat ketuhanan sesuai teorinya Jean-Jacques Rousseau.
Closing statement
Lebih gamblang, beliau menyebutkan, dalam diri insan tersusun dari unsur anjing (agresif), babi (rakus), setan (provokator), dan hakim (akal). Selebihnya manusia sendiri yang memilih, sifat mana yang lebih ia tonjolkan. Dengan empat sifat dasariah itu, manusia menjalani kehidupan.
Demikian cerita yang saya sadur dari buku Human Kind melalui tangan Zia Anshor yang menerjemahkan dari tulisan Rutger Breegman, kata ku kepada wan-kawan. Jadi, kita sebagai manusia yang memiliki unsur keserakahan dan kebajikan sebagaimana teori Al-Ghazali, Thomas Hobbes dan Jean-Jacques Rousseau harus bijak menyikapinya. Antara lain memiliki kesadaran lingkungan dan sosial.
“Seperti kita sekarang, menelaah tentang lingkungan. Tidak hanya Fathul Wahhab dan Jam’ul Jawamik yang mengajarkan hukum dalam sosial lampau (yang konon sudah IS DEAD atau EXPIRED) atau teori fikih dan ushul fiqh, termasuk teori maqasid al-Syariah. Tetapi kita membaca maqasid al-Syariah yang hidup (praktis) dalam kitab Al-Bi’ah karya Ali Goma ini”. Tandas ku mengakhiri cerita, yang dibalas skeptis oleh kawan lantaran saya sok bijak. []