Namun apa pun alasannya, ketimpangan di dunia pendidikan tetap tak bisa dibenarkan. Bagaimanapun, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan negara yang dengan jelas terpampang dalam Pembukaan UUD 1945.
Mubadalah.id – “Hehehe, lali, Mas,” ucapnya sembari memasang wajah penuh rasa bingung. Saat itu bukan hanya dia yang bingung, tetapi juga saya yang bingung atas kebingungannya.
Sebut saja namanya Ali (nama samaran). Seorang anak kecil yang tinggal di tengah kota yang dicap sebagai kota pendidikan, Kota Malang. Ia baru saja lulus SD dan kini duduk di bangku SMP.
Bersama beberapa temannya: Husen, Syifa, Risa, Dila, Dimas, dan Andi; setiap malam—setiap hari Senin hingga Kamis—Ali selalu datang ke sebuah rumah untuk mengikuti bimbingan belajar.
Dan kebetulan, saya merupakan salah satu pengajar matematika di tempat itu. Awalnya saya melihat mereka sebagaimana anak SMP pada umumnya—sedikit bandel dan ndableg. Lebih memilih bermain Free Fire ketimbang harus menyelesaikan tugas mereka.
Menemani Mereka Belajar
Namun setelah beberapa kali menemani mereka belajar, anggapan saya tentang mereka bertambah. Bukan hanya sedikit bandel dan ndableg, mereka juga anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan dasar secara penuh.
Dalam suatu kesempatan, saya pernah bertanya pada Ali. Kala itu membahas bab aljabar yang merupakan materi yang sedang dipelajarinya di sekolah. “14 + 3, berapa?” tanya saya.
Dan jawaban Ali sama persis seperti apa yang saya tuliskan di awal tulisan ini. Tentu jawabannya mengejutkan bagi saya. Seorang anak yang sudah duduk di bangku SMP, tetapi masih belum mengerti perhitungan sederhana.
Hal ini tidak hanya terjadi pada Ali, tetapi juga pada teman-temannya yang lain. Mereka semua memiliki kendala yang sama, yaitu numerik dasar seperti pergandaan dan penjumlahan. Suatu persoalan yang seharusnya sudah tuntas sejak SD.
Apa yang terjadi pada Ali dan teman-temannya adalah bukti bahwa ketimpangan di pendidikan dasar itu masih ada, bahkan terjadi di perkotaan.
Memang, ada banyak kemungkinan mengapa sekelas anak SMP masih kesulitan dalam hal kabagtakur. Entah lingkungan yang tak mendukung, sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar yang tidak memadai, learning loss semasa pandemi, atau lain sebagainya.
Namun apa pun alasannya, ketimpangan di dunia pendidikan tetap tak bisa dibenarkan. Bagaimanapun, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tujuan negara yang dengan jelas terpampang dalam Pembukaan UUD 1945. Lalu bila di tingkat pendidikan dasar saja masih terjadi ketimpangan, maka kehidupan bangsa yang mana yang ingin dicerdaskan?
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah memang bukan tanpa kerja. Berbagai kebijakan silih berganti menghiasi pendidikan dasar. Mulai dari zonasi, penghapusan ujian nasional, kurikulum darurat semasa pandemi, hingga kurikulum merdeka.
Tujuannya jelas mulia, untuk menghadirkan pendidikan berkualitas—yang barangkali juga sekaligus untuk mencetak tenaga murah guna memenuhi kebutuhan pasar.
Namun, bagi saya, apa yang pemerintah lakukan tak lebih dari membongkar-pasang kubah dan lupa bahwa fondasi yang ada tak cukup kokoh untuk menopangnya. Pemerintah terlalu sibuk meracik kebijakan-kebijakan cantik berstandar tinggi.
Akan tetapi, mereka lupa jika tak semua sekolah mampu mengimplementasikan kebijakan itu dengan baik. Mereka lupa dan tutup mata bahwa tak semua sekolah memiliki sarana dan prasarana seperti sekolah-sekolah swasta atau sekolah berstandar internasional.
Pemerintah melalui dinas pendidikan di tiap provinsi dan kota/kabupaten seharusnya bisa lebih getol untuk memperbaiki hal-hal mendasar seperti kesejahteraan dan kecakapan guru serta tenaga pendidik dan sarana prasarana penunjang pembelajaran.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa pendidikan yang baik dapat semua kelas masyarakat akses. Ketiga hal tersebut merupakan fondasi pendidikan di tingkat dasar dan harus menjadi fokus utama untuk dibenahi.
Sebab, kebijakan-kebijakan yang telah pemerintah racik ciamik itu tak akan pernah berjalan maksimal apabila tak ada perbaikan secara signifikan pada hal-hal mendasar.
Sarana dan Prasarana
Pemerintah kiranya harus belajar banyak dari sekolah swasta dan sekolah berstandar internasional tentang penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah perlu melihat bagaimana sarana dan prasarana yang memadai sangat berpengaruh dalam terselenggaranya pendidikan berkualitas.
Selain itu, pemerintah juga perlu melihat bagaimana mereka menentukan standar pendidikannya. Sebab, rasanya standar “cerdas” milik pemerintah berbeda dengan standar “cerdas” milik sekolah swasta dan sekolah berstandar internasional.
Saya jadi teringat seorang anak di tempat itu. Ketika saya tanya apa pun, jawabannya selalu sama, “Yo mboh, Mas. Salahe pemerintah.” Barangkali itu hanya gurauan tanpa maksud apa-apa. Namun, saya rasa ia mengatakan kebenaran. []