Mubadalah.id – Heterarki (Heterarchy) bukan konsep baru. Konsep ini telah digunakan di beberapa bidang sebelumnya secara terbatas. Tulisan ini ingin memperkuat signifikansi konsep ini yang belum menjadi sebuah perspektif yang umum terpakai. Padahal konsep ini harus menjadi kosakata wajib di dalam isu yang berkaitan dengan kesetaraan dan otoritas, baik pada level keluarga maupun yang lebih luas.
Istilah ini pertamakali digunakan dalam konteks modern oleh McCulloch (1945) berkenaan dengan struktur kognitif pada otak manusia yang selama ini kita anggap hiararkis. Dia membuktikan sebaliknya bahwa struktur kognitif manusia memang tersusun berurutan tetapi tidak dalam susunan yang hirarkis.
Adeney-Risakota (2016) sedikit menyinggung konsep ini ketika mendiskusikan the imaginary power perempuan Indonesia di dunia publik. Dia menjelaskan mengapa banyak perempuan Indonesia yang kelihatan sangat powerful di dunia politik tetapi masih banyak di antara mereka yang menerima suami sebagai pemimpin rumah tangga.
Baginya, ini adalah bukti bahwa patriarchy bukan satu-satunya sistem relasi gender yang berlaku secara nyata di Indonesia, karena memang struktur masyarakat Indonesia yang heterarkis.
Keragaman Relasi
Heterarki berasal dari kata hetero-hierarchies. Yaitu keragaman relasi hirarkhis dalam kehidupan sosial. Konsep ini tidak menafikan adanya struktur yang bertingkat dalam hubungan manusia. Di mana salah satu pihak berada pada ranking yang lebih tinggi atau fungsi yang lebih penting dari lainnya.
Konsep heterarki mendedahkan fakta tak terbantah bahwa struktur yang bertingkat (hirarki) tersebut tidak statis, tunggal dan satu arah. Melainkan dinamis, beragam dan bisa bertukar tempat. Sederhananya, heterarki bermakna pertingkatan jamak dan multi-arah (Wahid &Wardatun:2022). Heterarki bukan lawan dari hierarki tetapi konsep yang justru menerima hirarki sebagai realitas yang bersifat relative dan temporer.
Heterarki menjadi konsep penyambung antara penolakan orang terhadap struktur hirarkhis yang kita nilai diskriminatif dan struktur fungsional yang kita anggap lebih mencerminkan keadilan. Karena yang pertama lebih melihat seseorang pada status sosialnya. Sedangkan yang kedua lebih melihat bagaimana seseorang berperan tanpa embel-embel status sosial yang ia miliki.
Pertanyaanya, bisakah kita benar-benar lepas dari hubungan yang hirarkis? Lalu bisakah kita hanya memandang orang berdasarkan fungsi yang ia jalankan terlepas sama sekali dari status sosial yang dimandatkan kepadanya. Lalu apakah status sosial yang dimiliki oleh individu tunggal atau beragam? Di sinilah letak penting konsep heterarki itu kita pakai sebagai perspektif untuk mengurai relasi sosial yang kompleks secara lebih alamiah.
Mengapa Heterarki?
Pertingkatan jamak tersebut adalah fakta yang dapat kita jumpai dalam hubungan sosial dari level terkecil seperti keluarga sampai level yang lebih besar misalnya negara. Paling tidak ada dua alasan yang mendasari ini:
Pertama, manusia siapapun itu memiliki identitas yang beragam (multiple identities). Dalam waktu yang bersamaan seseorang bisa menjadi anak sekaligus orang tua, saudara, bibi/paman, keponakan dll. Itu baru status dalam konteks kekerabatan di dalam keluarga. Seseorang bisa juga menjadi ketua dalam sebuah organisasi, sekretaris, bendahara, atau anggota pada organisasi yang lainnya.
Di tempat kerjanya seseorang bisa saja menjadi orang nomor satu tetapi di kehidupan bermasyarakat dia hanya anggota di bawah kepemimpinan ketua RT, RW, Lurah dan seterusnya ke atas. Identitas yang beragam ini tentu mengalami fungsi yang juga beragam. Signifikansi dan dominasi fungsi tersebut sesuai dengan posisi mereka pada konteks yang berbeda-beda.
Kedua, relasi manusia yang satu dengan manusia yang lainnya tidak pernah berlangsung searah. Manusia karena masing-masing keunikannya, tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangannya bisa berubah menjadi kelebihan dalam konteks yang berbeda. Kelebihan dan kekurangan kedua insan yang berhubungan dapat menjadi modal untuk mewujudkan visi dan misi yang searah.
Prinsip heterarki yang mengakui adanya relasi hirarkhi di satu sisi. Tetapi menolak adanya pemapanan status ketika berubah konteks memungkinkan kompleksitas hubungan itu diletakkan pada relnya masing-masing.
Prinsip ini membantu manusia untuk mengenali posisinya (knowing self-position) sendiri sekaligus memberikan ruang bagi orang lain (giving space). Untuk suatu saat menukarkan atau menempati posisinya tersebut. Dengan melakukan itu maka negosiasi peran dan negosiasi ruang bisa lebih mudah kita lakukan.
Heterarki dan Prinsip Kesalingan (Mubadalah)
Heterarki menjadi prinsip yang harus kita kenali dan disadari dalam rangka mengimplementasikan prinsip mubadalah berikut dua prinsip lainnya yang membentuk trilogi keulamaan perempuan Indonesia (KUPI). Yaitu prinsip keadilan hakiki dan kepatutan/kebaikan ( ma’ruf). Prinsip heterarki menjadi pelengkap perspektf trilogi tersebut.
Prinsip kesalingan (mubadalah) yang diperkenalkan oleh Faqihuddin A. Kodir (2021) bisa kita gunakan sebagai metode membaca teks agama (qiraah mubadalah). Selain itu juga sebagai perspektif yang mendasari relasi sosial yang luas.
Pada intinya, prinsip ini secara praktis menggarisbawahi adanya keharusan saling mengisi dan membantu terutama dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan. Mereka berdua adalah mitra sejajar yang saling mengisi satu sama lain.
Masing-masing mereka adalah subyek penuh (primer) dalam kehidupan sosial. Salah satunya tidak boleh kita letakkan sebagai subyek pelengkap (sekunder )apalagi hanya sebagai obyek. Dengan cara pandang ini maka dimungkinkan terwujudnya apa yang kita sebut sebagai keadilan hakiki, atau keadilan yang bisa terasa secara bersama baik oleh laki-laki dan perempuan (Nur Rofi’ah: 2017).
Untuk menuju keadilan hakiki itu sendiri segala tindakan dalam relasi sosial maupun relasi gender harus berdasarkan dan berujung pada pada kebaikan dan juga kepatutan (ma’ruf) (Fayumi: 2012)
Kesalingan, keadilan hakiki, kebaikan dan kepatutan (ma’ruf) menjadi trilogi yang mendasari perspektif fatwa maupun gerakan Keulamaan Perempuan Indonesia (KUPI). Dengan trilogi ini, fatwa-fatwa yang KUPI hasilkan berdasarkan pada pengalaman perempuan dan laki-laki baik secara biologis maupun sosiologis. Hingga kemudian menghasilkan cara pandang yang lebih egaliter dan emansipatoris.
Dimanakah heterarkhi bisa masuk dalam jalin kelindan trilogi KUPI ini?
Kesalingan dapat dengan mudah kita praktikkan jika subyek yang terlibat dalam relasi menyadari bahwa mereka masing-masing berada di dalam struktur sosial yang sifatnya relative, dinamis, dan multi-arah.
Seseorang dengan penuh kesadaran bisa menempatkan diri sesuai dengan posisinya dan lebih bijak untuk meneracai sikapnya. Sehingga tidak terjebak ke dalam penggunaan power dan otoritas secara penuh, terus-menerus bahkan berlebihan.
Dalam konteks keadilan hakiki di mana perempuan dan laki-laki harus kita letakkan sama-sama sebagai subyek penuh seringkali memicu pertanyaan lebih lanjut. Mungkinkah dalam konteks kehidupan keluarga, ada dua matahari yang bersinar pada saat yang sama?
Justru di sinilah letak pentingnya memahami bahwa matahari tidak pernah akan ada dua. Matahari memerlukan bulan untuk memantulkan sinarnya pada malam hari. Jelas di sini bahwa peran bisa saja berganti atau berubah bentuk dan media sesuai dengan kebutuhan, kepatutan, dan konteksnya.
Prinsip heterarki menjelaskan bahwa hirarki atau pertingkatan. Di mana seseorang memiliki posisi yang lebih tinggi daripada yang lainnya tidak dapat dihapus. Tetapi perlu kita kenali dan kita letakkan secara proporsional.
Dengan mengakui bahwa pertingkatan struktur sosial itu jamak dan multiarah maka seseorang tidak bisa menggunakan posisi itu secara semena-mena Karena bergerak sedikit saja konteksnya maka posisi itu akan bisa berubah. Keragaman identitas yang dimiliki oleh manusia akan memposisikan seseorang pada angle yang berbeda. Reposisi ini mengharuskan adanya adaptasi.
Memahami posisi sendiri dan memberikan ruang bagi orang lain dalam relasi lalu akan menghasilkan tindakan dan kesepakatan yang berdasarkan kebaikan bersama, dan kepatutan yang kita sepakati. Asas kepatutan ini bisa saja berada pada level yang subyektif yang secara internal disepakati oleh individu atau kelompok tertentu yang memiliki relasi.
Dalam perspektif heterarki, seseorang oleh karenanya akan mampu menegosiasikan kapan dia patut untuk kita hormati, kapan pula sepantasnya dia menghormati yang lainnya. Demikian seterusnya. Dengan kesadaran akan prinsip heterarki, prinsip kesalingan dalam relasi apapun menemukan alur yang lebih jelas untuk terimplementasikan. []