Mubadalah.id – Sejak Nyai Siti Walidah bersama suaminya, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Sopo Tresno pada 1914, organisasinya ini semakin menarik perhatian kaum perempuan saat itu. Banyak perempuan bergabung dan mengikuti pengajian serta aktivitas yang ia selenggarakan. Perkembangan organisasi perempuan ini luas. Anggotanya semakin besar.
Maka, dalam suatu pertemuan, ada ide untuk mengganti namanya menjadi “Aisyiyah”, mengambil nama dari istri Nabi Saw., Aisyah, yang terkenal cerdas, pintar, ahli hadis sekaligus aktivis sosial-politik. Organisasi ini secara resmi berdiri pada 22 April 1917. Nyai Ahmad Dahlan menjadi sebagai pemimpinnya.
Seiring berjalannya waktu, organisasi Aisyiyah kemudian bergabung dan menjadi bagian dari organisasi Muhammadiyah yang KH. Ahmad Dahlan bentuk pada 1912. Aktivitas Aisyiyah fokus pada penguatan pendidikan kaum perempuan sekaligus memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan.
Maka, sejak saat itu, berdirilah sekolah-sekolah khusus perempuan di bawah naungan Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan memimpin gerakan ini. Ia tidak setuju dengan konsep patriarki dan menilai seorang istri ialah mitra bagi suaminya. Nyai Siti Walidah Ahmad Dahlan juga menentang praktik kawin paksa.
Sejalan dengan gerakan organisasi Muhammadiyah yang semakin besar dan berpengaruh luas serta berskala nasional, organisasi Aisyiyah juga berkembang ke seluruh daerah Indonesia. Aisyiyah, sebagaimana Muhammadiyah, didirikan di seluruh daerah di wilayah Negara Indonesia.
Nyai Siti Walidah Ahmad Dahlan memimpin Aisyiyah hingga 1934. Aisyiyah yang ia bangun dan sempat pada masa pendudukan Jepang larang, terus berkembang dan masih eksis hingga saat ini.
Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia di Kauman, Yogyakarta, pada 31 Mei 1946. Usia saat itu 74 tahun. Jenazahnya dikuburkan di lingkungan Masjid Gede Kauman, Yogyakarta.
Prosesi pemakaman perempuan ulama ini dihadiri oleh masyarakat luas, bahkan sejumlah tokoh nasional dan menteri. Dan, melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971, pemerintah RI menetapkan Nyai Ahmad Dahlan sebagai pahlawan nasional. Gelar serupa juga pemerintah sematkan kepada suaminya. []