Taharrush al-Jinsy atau sexual harassment merupakan isu global. Ia serupa pandemi yang kian hari semakin mengkhawatirkan. Jumlah kasus di Indonesia bahkan cenderung meningkat dan terus saja terjadi hampir setiap hari. Baik di ruang publik maupun di wilayah privat sekalipun.
Barangkali ada yang beranggapan isu ini tidaklah populer. Tidaklah seksi, dan tidak menguntungkan siapa-siapa. Tapi tidak bagi korban. Saya pernah mengalami ketidaknyamanan itu, dilecehkan secara seksual. Pada prakteknya, mungkin tidak hanya saya, ada jutaan perempuan lain, anak perempuan, perempuan penyandang disabilitas yang pernah mengalami kejadian ini. Dan ini adalah nyata.
Perempuan selalu saja dipandang sebagai objek seksual, bahkan dalam beberapa kasus pakaian perempuan tidaklah banyak menjadi alasan seseorang melakukan pelecehan seksual. Kasus saya pribadi menunjukkan hal serupa. Yah, saya memakai jilbab dan menggunakan pakaian yang tertutup. Kurang apalagi?
Pengalaman tidak mengenakkan itu terjadi di Mesir beberapa tahun lalu di sebuah transportasi umum. Sekarang Mesir memiliki jumlah kasus yang juga meningkat. Terlebih berita akhir-akhir ini tentang pemuda umur 22 tahun yang terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual yang membuat publik Mesir geram hingga Al-Azhar dan Darul Ifta’ sebagai lembaga keagamaan paling otoritatif mengeluarkan fatwa terkait dengan kekerasan seksual.
Dalam konteks Mesir, revolusi Januari di Tahrir Square pasca digulingkannya Mubarok seakan menjadi bom waktu dan menjadi peristiwa terbesar terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan. Di Tahrir Square, ratusan demonstran perempuan, jurnalis perempuan mengalami pelecehan seksual yang cukup massif. Yang sangat disayangkan pelecehan dan kekerasan tersebut juga dilakukan oleh para aparatur militer. Negara bahkan ikut andil dalam melanggengkan kebiadaban ini di tengah tengah situasi chaos nan pelik.
Fatwa Al-Azhar dalam merespon isu ini dianggap oleh beberapa kalangan sebagai langkah yang lamban. Meskipun ada beberapa pihak lain yang mengapresiasi atas fatwa ini. Al-Azhar dalam fatwanya mengatakan bahwa tindakan kekerasan seksual adalah haram. Mutlak. Dan, pakaian perempuan, apapun itu, tidak dapat dijadikan justifikasi atas seseorang untuk melakukan kekerasan seksual. Al-Azhar juga menaruh perhatian untuk korban kekerasan agar dilindungi bukan malah menjadikan mereka sebagai victim blamming.
Sebuah tagar #طمنوا بناتكم di halaman terdepan Majalah صوت اﻻزهر menjadi headline utama minggu lalu. Kini kasus kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi hal penting yang menjadi konsern Al Azhar untuk memandang perempuan sebagai makhluk seutuhnya yang padanya harkat, kehormatan serta martabatnya haruslah dihargai sebagaimana kita menghormati ibu, adik perempuan, kakak perempuan, dan saudara perempuan kita.
Memang belakangan ini Al-Azhar semakin banyak mengeluarkan fatwa terkait dengan isu-isu perempuan. Total 15% dari semua fatwa yang dikeluarkan Darul Ifta’ adalah merespon hal tersebut. Menariknya, Al-Azhar sebagai corong utama lembaga keagamaan di Mesir juga membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi mufti.
Mereka dilatih secara khusus untuk terlibat membaca, menafsirkan dan melakukan pembaharuan dalam membaca teks-teks keagamaan yang berhubungan dengan perempuan sekaligus memproduksi fatwa. Agar teks-teks keagamaan yang berhubungan dengan perempuan dapat dipahami selaras dengan pengalaman perempuan itu sendiri. Karena bagaimanapun, pengalaman perempuan menjadi sumber pengetahuan untuk menjadi pertimbangan dalam memproduksi hukum.
Di dalam konteks Mesir kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di ruang publik, di jalan atau di transportasi umum. Sebaliknya, Indonesia kasus tertinggi justru ada di dalam ruang-ruang privat atau domestik. Sejarah pakaian wanita di Mesir dan Indonesia juga berbeda, namun yang tidak berbeda adalah tingkat peningkatan kasus kekerasan seksual.
Lembaga keagamaan kita belum memiliki keberanian untuk menyuarakan isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Justru sebaliknya, banyak kelompok keagamaan di Indonesia justru fokus terhadap pakaian, prilaku, dan moral perempuan. Perempuan dianggap sebagai parameter dan penentu moral sebuah masyarakat.
Entahlah, sekali lagi, mungkin karena isu ini dianggap biasa saja, tidak populer dan takut dianggap pro feminis dll. Nyatanya, terlepas dari anggapan-anggapan tersebut kita semua wajib menjadi pelindung bagi korban. Terlebih jika korbannya adalah perempuan, anak perempuan, perempuan penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
Apa iya, jika Al-Azhar mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut dan turut mendorong untuk membuat UU taharrush al jinsy di Mesir lantas lembaga ini juga dinilai pro feminist?