Mubadalah.id – Gus Dur merupakan sosok yang unik untuk dianalisis karena beberapa faktor. Pertama, dia adalah individu yang memiliki intelektualitas tinggi dan kecerdasan yang tajam. Sehingga seringkali melampaui batasan-batasan pemikiran dan tindakan orang-orang biasa.
Selain itu, keberaniannya dalam menghadapi risiko atas kontroversi, serta keahliannya dalam menemukan solusi dari kesulitan yang beliau hadapi. Bahkan dalam situasi diskursus yang tajam, membuatnya seringkali dapat mengatasi masalah dengan kecerdasan humor yang beliau miliki.
Meskipun banyak yang menyarankan, agar seorang presiden seperti Gus Dur berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya, beliau tetap menjawab dengan keyakinan bahwa “Kami punya bukti-bukti untuk menangkap mereka.”
Kedua, beberapa Kiai memilih untuk tidak menyatakan pendapatnya, dengan alasan bahwa merespons hal-hal di luar bidang keahlian mereka menganggapnya tidak berguna. Mereka khawatir bahwa merespons dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dampak negatif, sehingga seringkali memilih untuk menghindar dan bersikap acuh tak acuh terhadap pernyataan Gus Dur.
Ketiga, sebagian Kiai menyampaikan pandangan bahwa bahasa lisan Gus Dur sering kali menjadi pemicu debat politik. Menurut beberapa tokoh, termasuk Kusuma Kusumaatmadja, kebijakan Gus Dur seringkali sulit oleh orang umum pahami. Sementara menurut Wahid atau Gus im,
“Gus Dur itu kalau mau ngerem nggak ngomong kalau mau belok nggak ngasih send tapi entah kenapa di sini menariknya dia selalu betul akhirnya”.
Dalam bukunya yang berjudul “Ajaran-ajaran Gus Dur syarah 9 Nilai Utama Gus Dur“. Nur Kholik Ridwan menyatakan, bahwa memahami Gus Dur tidak mungkin dilakukan tanpa melihatnya sebagai suatu proses yang bergerak.
Sosok ini tidak dapat diinterpretasikan secara langsung atau seketika. Gus Dur dan pandangannya merupakan medan dari suatu proses dialektika yang terus-menerus dan dinamis.
Sementara itu, pada saat yang bersamaan, kedalaman cita rasa spiritualnya tercermin, ia melakukan tindakan-tindakan kritis, mampu menyatukan dan mengkritik, serta mengatur gerakan-gerakan pembangunan masyarakat, dan akhirnya, ia terus menerus melakukan mujahadah di dunia sosial hingga akhir hayatnya.
Pandangan Kiai terhadap politik Gus Dur
Menukil dari bukunya Zulfi Mubaraq yang berjudul “ Perilaku Politik Kiai, Pandangan Kiai dalam konspirasi Politik Era Gus Dur”, beberapa orientasi kegiatan interpretasi politik Kiai yang menonjol secara berbeda dalam konteks turunnya Gus Dur dari kursi kepresidenan dapat kita bagi menjadi beberapa kategori.
Pertama, Kiai simpatik, yaitu pengasuh pondok pesantren yang memiliki rasa simpati yang tinggi terhadap Kiai Haji Abdurrahman Wahid. Mereka lebih fokus pada persoalan politik secara umum dan berusaha membela Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dengan cara-cara tertentu.
Kedua, Kiai moderat, adalah pengasuh pondok pesantren yang aktif mengajar para santri dan jamaahnya. Mereka cenderung tidak terlalu memperhatikan masalah-masalah yang oleh masyarakat hadapi, acuh tak acuh terhadap organisasi, persoalan politik, dan kekuasaan. Mereka lebih fokus pada eksistensi Presiden K.H. Abdurrahman Wahid.
Ketiga, Kiai antipatik, yaitu pengasuh pondok pesantren yang memiliki rasa antipati yang mendalam. Mereka lebih menekankan perhatian pada persoalan politik secara umum. Namun tidak melakukan upaya pembelaan khusus terhadap Presiden Kyai Haji Abdurrahman Wahid.
Clifford Geertz menyatakan bahwa kontribusi Kiai dan ulama terhadap gerakan politik minim, seiring dengan pandangan Deliar Noer yang mengatakan bahwa gerakan politik lebih banyak pada kalangan adat dan priyayi.
Gordon bahkan menilai, bahwa kelompok elit agama ini bersikap sangat pasif dalam menentang penjajah. mereka lebih memilih untuk tinggal di pesantren sambil mengembangkan tarekat. Pandangan ini berbeda dengan Horikoshi dan Dhofier, yang berpendapat bahwa Kiai memiliki peran signifikan dalam dunia politik.
Dirjosandjoto dan Suprapto berpendapat bahwa Kiai memiliki peran ganda sebagai tokoh agama dan politik. Ada pandangan yang menyatakan bahwa Kiai semakin terpinggirkan, tetapi penelitian Suprapto menunjukkan bahwa posisi Kiai di masyarakat masih kokoh.
Mansur, dalam penelitiannya di Madura, membagi Kiai menjadi tiga kategori, yaitu konservatif, adaptif, dan progresif. Sementara itu, Dirjoto di daerah Muria mengkategorikan Kiai menjadi langgar, pesantren, dan tarekat. Di Jombang, Turmudi mengelompokkan Kyai ke dalam Pesantren, tarekat, politik, dan panggung.
Gus Dur dan Etika Politik
Melansir dari laman NU Online, Dikri Mulia dalam artikelnya “menghidupkan etika politik Gus Dur”. Memandang masalah utama dalam politik Indonesia sekarang, adalah kurangnya etika dalam tata kelola negara. Kebijakan yang seharusnya fokus pada misi mulia menciptakan kesejahteraan masyarakat malah terdistorsi oleh ambisi memenuhi kepentingan golongan tertentu.
Standar nilai etika telah terkikis dalam pelaksanaan tugas pemerintah. Oleh karena itu, penting untuk terus menyoroti eksistensi etika ini. Gus Dur merupakan tokoh yang sangat peduli terhadap hal ini. Meskipun pemikirannya ada pengaruh dari konteks sosio-politik pada zamannya, konsep etika politiknya masih relevan dan dapat kita aplikasikan dalam konteks saat ini.
Dikri melanjutkan, buah pemikiran Gus Dur tentang etika politik dapat kita uraikan menjadi beberapa prinsip. Prinsip pertama adalah keadilan untuk kesejahteraan bersama. Dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”, menjelaskan bahwa keadilan adalah ajaran fundamental dalam Islam, baik dalam konteks keadilan individu maupun keadilan kolektif.
Prinsip kedua adalah amanah. Manusia, sebagai khalifatullah fil ardh, memiliki tanggung jawab sebagai pengelola dunia yang oleh Tuhan berikan. Dalam kreativitasnya, Tuhan beri kebebasan kepada manusia untuk menjaga kelestarian hidup, namun harus tetap mengikuti pedoman Tuhan. Kebebasan ini akan manusia pertanggungjawaban sesuai dengan tindakan yang mereka lakukan.
Prinsip ketiga, lemah lembut, dan anti-kekerasan, menurut Faizatun Khasanah dalam “Etika Gus Dur, Religius-Rasional”. Tercermin dalam strategi kebijakan Gus Dur dalam menangani terorisme. Gus Dur fokus pada akar permasalahan dan mengadvokasi pencerahan melalui dialog antar budaya dan agama untuk mengatasi pemahaman yang keliru terhadap ajaran Islam. []