• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Perempuan Cerdas Tidak Menggunakan Ujaran Bias Gender

Nafilah Safitri Nafilah Safitri
12/10/2017
in Kolom
0
ujaran bias gender

ujaran bias gender

44
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Suatu hari di sebuah sekretariat organisasi mahasiswa terjadi sebuah percakapan atau ujaran bias gender antara Yeyen (Y) dan Cepi (C).
Y: “Cepi, air di galon kayak-nya udah abis, yah?”

C: “Iya, kosong itu kayak-nya. Diisi ulang aja, ambil galon yang masih penuh ditukar sama galon yang kosong.”

Y: “Kamu aja atuh Cep, kamu kan cowok. Masa aku yang gotong-gotong galon? Tega kamu sama cewek disuruh angkat yang berat-berat kayak galon itu.”
Sedangkan di sebuah rumah, dua orang kakak beradik, Sesil (S) dan Marcell (M), bercakap-cakap tentang keran air yang bocor.
S: “Kak Marcell, keran kamar mandi bocor tuh.”

M: “Iya Sil, coba aja ditutup. Gampang kok coba diputer-puter lebih kuat.”

S: “Ah, udah kakak aja lah yang benerin nanti yah. Kakak kan cowok. Masa aku sih? Urusan keran bocor gini mah urusan cowok. Nanti dibenerin yah kak kerannya.”

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

***

Ilustrasi percakapan di atas mungkin seringkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam percakapan tersebut, terdapat ucapan seperti “kamu kan cowok, aku kan perempuan, kok tega sih?”. Atau “ini kan urusan cowok, bukan urusan cewek”.

Dalam kasus lain, “yang ngerti sih cowok, perempuan mana tahu soal itu.” Dan banyak ujaran sejenis yang mungkin seringkali kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, ucapan tersebut sudah dianggap biasa, tidak ada yang salah dan dimaklumi banyak perempuan.

Namun, perempuan cerdas harusnya sadar bahwa hal-hal kecil seperti mengangkat galon dan memperbaiki keran bocor bukan perkara yang hanya dapat dilakukan laki-laki.

Dengan demikian, penggunaan ujaran-ujaran seperti itu adalah sebuah kesalahan yang wajib dihindari.

Perkara memasak, memperbaiki genteng atau keran bocor, mengangkat galon, selama bukan hal-hal yang sifatnya kodrati seperti melahirkan dan menstruasi, merupakan life skill yang dapat dimiliki oleh laki-laki, juga perempuan.

Dasar untuk life skill adalah kemampuan individu, bukan jenis kelamin.

Ucapan yang menunjukan pembatasan jenis kelamin dalam melakukan suatu life skill merupakan ujaran yang bias gender. Ada pembatasan antara laki-laki dan perempuan dalam melakukan suatu life skill. Seperti bahwa perempuan harus jago masak atau laki-laki harus pandai memperbaiki genteng bocor.

Penggunaan kata-kata dan kalimat yang bias gender oleh perempuan, disadari atau tidak, justru melemahkan dan mendiskreditkan diri perempuan itu sendiri. Sebab, perempuan sebenarnya mampu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan itu.

Jika perempuan tersebut sudah memiliki kesadaran dan perspektif yang adil gender, maka bisa dikatakan dia gagal dalam menerapkan nilai adil gender itu dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk menghindari hal itu, perempuan seharusnya lebih hati-hati dalam memilih kalimat atau bahkan kata yang digunakan, baik dalam ujaran maupun tulisan. Agar tidak terjadi paradoks antara prinsip atau nilai yang dianut dengan perilaku sehari-hari.

Sebagai sebuah produk budaya, bahasa memiliki peranan penting dalam menyebarkan sebuah nilai. Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan unsur budaya yang menjadi alat perantara utama untuk meneruskan eksistensi sebuah kebudayaan atau mengadopsinya.

Oleh karena itu, dalam menyebarkan nilai-nilai dan kesadaran atas kesetaraan adil gender, menurut penulis, hal yang paling sederhana yang harus kita lakukan selain memahami nilai yang kita junjung itu sendiri adalah dengan penggunaan bahasa yang lebih tepat dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelum kita menyebarkan, mempromosikan, atau mengkampanyekan nilai-nilai yang kita anggap benar, kita harus idealis dengan berani mengkritik diri kita sendiri. Sejauh mana kita menerapkan nilai tersebut dalam keseharian kita.

Konsistensi dalam mempraktikkan nilai yang kita junjung adalah bukti kita tidak berstandar ganda. Kita terbukti tidak hanya menuntut, namun juga mengimplementasikan secara totalitas. Implikasi logis karena kita menganggap nilai tersebut adalah hal yang benar dan patut kita perjuangkan.

Kampanye atau promosi sebuah nilai atau ideologi secara massif yang ndakik-ndakik akan menjadi paradoks jika implementasi dalam perilaku kita sehari-hari, seperti dalam berbagai percakapan sederhana masih menggunakan bahasa penyampaian yang kurang tepat.

Alih-alih menyebarkan nilai kesetaraan, kesalahan penyampaian bahasa atau ungkapan  dalam percakapan kita justru melanggengkan nilai-nilai yang bias gender. Ketidakadilan gender itu akan semakin terpupuk subur dalam alam kebudayaan kita. Stigma bahwa perempuan itu lemah, tak berdayam, dan sebagainya pun terus terpelihara.

Solusinya, seperti yang sudah penulis katakan di atas adalah dengan menghindari ungkapan-ungkapan yang membatasi perbedaan jenis kelamin dan menggantinya dengan kalimat yang lebih jujur dan netral.

Tanpa harus mengatakan “itu urusan perempuan, ini urusan laki-laki” dan semacamnya. Sebagai contoh, jika kita, perempuan, dalam suatu waktu tidak mampu mengangkat galon atau mungkin pekerjaan berat yang tidak dapat kita lakukan sendiri, cukuplah dengan mengatakan “saya tidak kuat, mohon dibantu.”

Mulai sekarang, kita tidak perlu lagi mengucapkan pekerjaan-pekerjaan itu sebagai hal yang hanya mampu dilakukan laki-laki atau perempuan saja. Pilihlah ujaran yang adil gender. Sesederhana itu.[]

Tags: adil genderbias gendernafilah safitriperempuanUjaran
Nafilah Safitri

Nafilah Safitri

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version