Mubadalah.id – Di bulan puasa setan-setan terikat. Maksudnya, sifat kebinatangan manusia diikat dengan jalan menghindari sikap mendahulukan hasrat ketimbang akal. Setan sejati ada d idalam diri kita berupa egoisme dan hawa nafsu.
Saat berpuasa mulut kita terjaga. Seharian tak makan, juga minum. Namun terkadang di dalam diri; pikiran dan imajinasi liar tak terjaga. Ini pertanda, bahwa makna puasa paling berat bagi kita adalah puasa melawan hawa nafsu. Kita mungkin saja dengan mudah melepas dan terjaga dari pengaruh serta determinasi objek-objek material. Tapi sulit bagi kita untuk mengendalikan pikiran dan imajinasi liar.
Misal, kita mampu seharian puasa tak makan dan minum. Tapi, kita masih punya persepsi buruk terhadap orang lain, merasa diri yang paling benar, suci tak tertandingi. Banyak di antara perbuatan buruk kita lahir dari diri. Bukan hanya karena pengaruh objek luaran tetapi pengaruh pikiran dan imajinasi kita sendiri.
Seberapapun besarnya dinamika objek-objek luaran, jika di dalam diri kita stabil dalam artian mampu kita kendalikan. Maka, ia tak akan berpengaruh apa-apa. Jika di dalam diri tak stabil, meski kecil dinamika luaran pastilah sangat berpengaruh bagi diri kita.
Makna Dan Tujuan Berpuasa Yang Tidak Hanya Sebatas Menahan Lapar
Makna puasa dalam bahasa Arab adalah ”shaum” dan ”siyam”. Kata “shaum” berarti menjauhkan, menahan, dan mencegah diri. Yang dalam sebuah literatur fikih tersebutkan bahwa yang dimaksud puasa di atas ialah untuk menjauhkan, menahan dan mencegah diri dari makan, minum dan hubungan seksualitas dari waktu yang telah ditentukan.
Makan, minum dan seksualitas merupakan larangan dalam aktivitas puasa yang kita letakkan pada kriteria-kriteria materialistik atau kenikmatan nisbi yang bergantung pada objek di luar diri. Dalam persepsi, kita sebut sebagai realitas fisik.
Sementara itu, pencarian tujuan yang saya maksud ialah kemampuan diri mencapai ke-spiritualitasan nya, meniscayakan suatu pentajridan atau keterlepasan untuk menuntun jiwa kepada derajat keimanan yang lebih tinggi.
Dari realitas indrawi ke realitas imajinal, dari realitas imajinal hingga pada kualitas atau realitas akal sebagai tingkat tertinggi dalam wilayah ke spiritualan jiwa. Sehingga sesuatu yang kita lepaskan bukan semata bebas dan berada di luar material tetapi juga berada di dalam suatu wilayah eksistensi dan kesadaran yang kuat.
Melatih Diri Lepas dari Sisi Materialistik
Puasa adalah bentuk ibadah yang melatih diri melepaskan sisi materialistik kita, menuju tingkat kehidupan yang lebih sederhana. Bukan hanya bermakna menahan haus dan lapar, karena puasa ialah aktivitas jiwa di siang hari tetapi ujiannya kita hadapi sampai malam hari.
Jika derajat keterlepasan semakin tinggi, maka semakin tinggi pula gerak jiwa dalam menghadapi ujian materi. Menundukkan derajat nafsu duniawi dengan melepas sisi-sisi material adalah tanda semakin dekatnya diri terhadap tujuan puasa yaitu spritualitas jiwa.
Maka jika pada saat berbuka puasa kesadaran kita kembali kepada kesadaran awal yang sifatnya mengikat pada hal-hal material. Kita tanyakan sama diri kita apakah itu puasa, atau murni sekadar menahan lapar. Atau puasa hanya kita maknai sebagai pengubah jam makan.
Terkadang kita sulit untuk memahami setiap apa yang kita pelajari. Mungkin saja terlalu banyak penghalang di jiwa. Dengan puasa; menahan makan, minum dan kecenderungan instingtif kita lainnya. Barangkali bisa menyingkirkan sedikit dan memungkinkan jiwa untuk mengerti dan memahami setiap apa yang kita pelajari.
Puasa Dan Pengendalian Diri
Melalui puasa kita berikhtiar mengevolusi jiwa menuju kesempurnaan kemanusiaan-nya. Keberhasilan diri dalam mengevolusi jiwa menuju kesempurnaan kemanusiaan, neracanya ada pada kemandirian, kestabilan serta terbebasnya jiwa dari hasrat emosional, determinasi insting dan kenikmatan material. Karena nilai penting puasa ada pada pengendalian diri atas kuasa hasrat dan segala kenikmatan material maupun emosional.
Maka, perlunya kita lebih mengendalikan diri kita dari sifat berlebih-lebihan, karena membiarkan diri terjebak dalam kuasa hasrat bisa memicu konsumerisme. Sifat berlebihan itu indikasi kita mendahulukan hasrat dibandingkan akal. Jika pada saat kita berbuka puasa dengan mengkonsumsi berbagai menu yang menjadikan tubuh malas dan tidak bersemangat menjemput kebaikan lainnya.
Lalu kapan bentuk penyucian raga dari hal-hal material dan nafsu duniawi kita mulai. Jika kita tidak bisa mengendalikan emosional kita terhadap orang-orang; berbohong, menggunjing, berprasangka jelek, dan keburukan lainnya, kapan penyucian jiwa dimulai.
Untuk itu, berpuasalah dengan berlandaskan rukun dan syarat yang benar. Dengan niat dan praktik yang sesuai. Karena puasa tidak sebatas menahan haus dan lapar, tetapi peningkatan spiritualitas, dan penyucian jiwa dan raga kita dari hasrat material maupun non material.
Dan pada kesucian bulan ini kita menanti pembimbingan dari akal yang suci itu, dengan mengikuti segala perintah dan menjauhi segala larangan, juga mengisi bulan Ramadan ini dengan menjalankan kegiatan-kegiatan positif.
Berpuasa Berarti Menyederhanakan, Bukan Berlebihan
Bulan Ramadan kita sebut juga bulan penuh berkah, karena banyak orang-orang berlomba dalam kebaikan, terutama dalam segi beramal. Ada yang beramal dalam bentuk materi, maupun tenaga. Ini menjadikan, keberkahan dan kebahagiaan terus bermutual antara orang-orang.
Bulan Ramadan juga menjadikan banyak pedagang mendapatkan keuntungan berkali lipat dari bulan biasanya, karena tak jarang di bulan Ramadhan segalanya selalu kita persiapkan dan diusahakan, seperti halnya menu untuk berbuka maupun sahur. Maka tak jarang bulan Ramadan juga banyak pedagang musiman setiap tahunnya. Dalam artian pedagang yang khusus menjual makanan atau minuman khas bulan Ramadhan.
Dan tak jarang juga, bulan puasa menjadikan toko-toko mengadakan diskon besar-besaran. Toko makanan, pakaian, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, yang dengan sengaja di pajang depan toko atau secara marketplace online agar cepat dan banyak menarik pelanggan. Iklan-iklan masif yang mengiklankan produk berbalut nuansa islami. Sehingga lonjakan besar konsumen terjadi di mana-mana, apalagi di akhir dan awal bulan Ramadan.
Di luar bulan Ramadhan atau bukan, ya mungkin secara hasrati kita merasa senang dan sangat menunggu momen toko-toko mengadakan diskon besar-besaran, karena kita merasa punya peluang membeli barang atau makanan dengan banyak karena kita merasa lebih murah yang akhirnya menciptakan kebutuhan palsu (false need). Sehingga di balik itu semua, sebenarnya kita telah termonopoli dengan sistem kapitalisme yang tanpa sadar membius diri kita.
Konsumerisme selama Ramadan
Dalam mode produksi kapitalisme, komoditas berperan penting untuk nanti menghasilkan keuntungan dari penarikan nilai lebih atas buruh-buruh pekerja yang tereksploitasi. Hal ini tentu tidak akan berjalan jika komoditas tadi tidak menemukan konsumennya.
Maka dari itu salah satu hal yang dijalankan dalam iklim kapitalisme ini adalah membuat bagaimana masyarakat bertindak sesuai keinginan pasar. Bahkan memonopoli banyak sekali kebutuhan kita hingga terjadilah suatu fenomena yang dinamakan konsumerisme.
Allah SWT pun menjelaskan, dalam Al-quran surat Ar-raf ayat 31; “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Maka, dengan beribadah puasa, harusnya kita bisa lebih menahan diri kita dari sistem-sistem yang menjadikan perpanjangan tangan dari bagaimana kapitalisme telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan kita, menahan hasrat yang mengedepankan keinginan daripada kebutuhan. Mari kita Ramadan-kan pikiran dan nurani kita dari hiruk-pikuk materi dan emosi menuju fitrah manusia sebagai hamba Ilahi. []