Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, aku dan teman-teman Mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) ISIF mengikuti kegiatan Mata Kuliah Participatory Action Research (PAR) selama empat hari di Yayasan Wangsakerta, Dusun Karangdawa, Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu.
Kegiatan ini berlangsung selama empat hari dan didampingi langsung oleh dosen pengampu Mata Kuliah PAR sekaligus pemilih Yayasan Wangsakerta, yaitu Ibu Farida Mahri, dan Pak Wahid Hasyim.
Selama di Wangsakerta, kami mempelajari banyak hal, termasuk melakukan mini riset di masyarakat Dusun Karangdawa. Melalui mini riset ini, aku berhasil menemukan beberapa masalah yang tengah dihadapi oleh warga di sana. Salah satunya tentang sulitnya pendidikan bagi anak-anak Karangdawa.
Dari sekian penduduk, mayoritas anak-anak di Karangdawa hanya menempuh pendidikan sampai jenjang Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja. Lalu setelah itu mereka akan bekerja atau menikah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut ialah sulitnya ekonomi keluarga, sehingga mayoritas dari mereka terpaksa harus putus sekolah karena tidak kuat untuk membayar biaya sekolah. Di sisi lain, ada juga beberapa anak yang tidak tertarik untuk sekolah, karena dianggap membobasankan, buang-buang waktu dan tidak menjamin mendapat pekerjaan.
Cara berfikir seperti ini tentu sangat wajar, sebab jika aku lihat, mayoritas masyarakat di Dusun Karangdawa secara ekonomi memang cukup memprihatinkan. Dengan begitu, pergi ke sekolah untuk duduk manis belajar bukan merupakan kebutuhan prioritas. Sebab, setiap hari yang dipikirkan oleh mereka, baik anak-anak maupu orang tua ialah bagaimana caranya bertahan hidup.
Menghadapi situasi seperti ini, Ibu Farida Mahri berinisiatif untuk membuka sekolah alam Wangsakerta untuk anak-anak yang putus sekolah dan kurang mampu di sekitar Dusun Karangdawa.
Mengajak Anak Putus Sekolah
Awalnya gerakan Ibu Farida dan teman-temannya adalah mengajak anak-anak yang putus sekolah untuk mengisi waktu kosongnya dengan menanam dan mengelola tanah. Strategi ini sengaja beliau lakukan supaya membangun kedekatan terlebih dahulu dengan masyarakat di sana.
Setelah itu, barulah Ibu Farida, Pak Wahid dan teman-temannya mengenalkan anak-anak tersebut pada kegiatan belajar. Seperti belajar membaca, berhitung dan menulis.
Uniknya proses belajar ini tidak dilakukan di ruang kelas seperti di sekolah-sekolah pada umumnya. Tetapi justru kegiatan belajarnya sangat asik dan santai. Kadang dilakukan di bawah pohon, di kebun, di halaman saung Wangsakerta, dan di tempat-tempat terbuka lainnya.
Metode belajar ini ternyata secara perlahan mampu menarik perhatian anak-anak yang putus sekolah tersebut. Awalnya mereka enggan untuk belajar dan pergi ke sekolah. Namun dengan metode belajar yang asik dan santai, mereka justru bersemangat dan akhirnya mau bergabung dengan sekolah alam Wangsakerta.
Dari sini kita bisa belajar bahwa belajar itu tidak harus selalu berseragam dan di dalam ruangan. Tapi, kegiatan ini bisa kita kemas dengan berbagai cara, salah satunya dengan belajar sambil menikmati angin di kebun.
Di sisi lain, sekolah alam Wangsakerta juga bukan hanya mengajarkan anak-anak untuk membaca, menghitung dan menulis. Tapi, mereka juga dibekali keterampilan bertani, ternak hewan ungas, pemetaan wilayah, perorganisiran masyarakat. Sampai pada pekerjaan-pekerjaan domestik, seperti bersih-bersih, memasak, mencuci dan lain-lain.
Pendekatan yang telah sekolah alam Wangsakerta lakukan ternyata mampu mendorong anak-anak, sekaligus orang tuanya untuk mulai berdaya. Baik secara pengetahuan, ekonomi, sosial dan juga ketahanan pangan keluarga.
Menanam
Di sana, Ibu Farida dan Pak Wahid mengajak anak-anak muda dan orang tua untuk menanam dengan menggunakan pupuk organik, mengolah hasil tanaman menjadi makanan siap saji, menjual hasil tanaman lewat pasar Balong Setu (Balset), mengemas makanan dengan kemasan ramh lingkungan dan mampu membaca serta menghitung.
Pendekatan dan strategi yang sekolah alam Wangsakerta lakukan ini menurutku sangat bagus jika kita adopsi dan terapkan di dunia pendidikan. Baik formal maupun formal. Tentu saja harus melihat kebutuhan masing-masing tempat.
Namun membekali anak-anak untuk memiliki keterampilan, selain membaca, menulis dan berhitung juga peting. Seperti halnya yang sekolah alam Wangsakerta lakukan. []