Mubadalah.id – Pada tahun 2024, Indonesia menjadi salah negara yang mendapatkan kuota jamaah haji terbanyak sepanjang sejarah. Direktur Pelayanan Haji dalam Negeri Saiful Mujab menyebutkan bahwa kuota jamaah haji Indonesia mencapai 241.000 kuota haji.
Dengan banyaknya jumlah jamaah haji, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas mengatakan bahwa di tahun 2024, Menag menambah alokasi kuota petugas haji, dari awalnya hanya 2.100 menjadi 4.421 orang.
Dari 4.421 orang tersebut, ada banyak jaringan ulama perempuan yang ikut andil menjadi petugas haji. Tiga di antaranya adalah Direktur Rahima, Pera Sopariyanti, Ketua Fatayat Kabupaten Cirebon Rozikoh, dan Pimpinan Redaksi Neswa.id Maria Fauzi.
Kisah Mbak Nyai Maria
Selama bertugas kemarin, banyak pelajaran dan pengalaman yang dirasakan oleh para petugas dari jaringan ulama perempuan. Terlebih seperti apa yang dirasakan oleh Mbak Nyai Maria Fauzi.
Mbak Nyai Maria Fauzi melalui akun Facebooknya membagikan catatan perjalanan menjadi seorang petugas haji.
Dalam catatannya, Mbak Nyai Maria menyampaikan bahwa dengan menjadi seorang petugas haji, ia bersama teman-teman yang lain selalu memastikan agar tidak ada jamaah yang tersesat.
Kemudian ia juga harus selalu siap untuk membantu jamaah lansia saat beribadah. Apalagi saat jamaah tersebut mengalami kesusahan, ia harus selalu siap.
Selain itu, ia bersama teman-teman yang lain selalu berkomunikasi untuk mengembalikan jamaah lansia yang terpisah dari rombongan ke kloternya.
Mbak Nyai Fauzi juga mengaku bahwa ia harus selalu sigap jika ada yang sakit dan memikirkan bagaimana agar membuat para jamaah bisa happy saat melaksanakan ibadah hajinya.
“Semoga kita semua dilimpahi kesehatan, keberkahan dan kelancaran. Allahumma amin,” tulisnya.
Hal Penting saat Menjadi Petugas Haji
Melalui unggahnya, perempuan alumni AIMEP (Australia Indonesia Muslim Exchange Program) itu juga bercerita bahwa ada banyak hal yang penting diketahui bagaimana menjadi seorang petugas haji.
Setidaknya ada tiga hal yang ia bagikan saat dirinya menjadi seorang petugas haji:
Pertama, kami bertugas dibagi bisa tiga atau dua shift. Artinya setiap hari bekerja 8 jam, dan terus rolling. Tergantung berapa shift dalam sektor tersebut. Setiap pergantian sektor, wajib laporan dengan shift selanjutnya. Bisa siang, pagi, atau tengah malam.
Kedua, petugas keluar hotel wajib memakai seragam. Artinya, setelah jam kerja (8 jam), kami masih harus terus memakai seragam bahkan ketika cari makan, antar jamaah dll.
“Jika menemukan petugas sedang di toko, menurut Mbak Nyai Maria, harus kita tanya dulu. Apa ia sedang dapat shift atau memang sedang free. Jangan pukul rata. Petugas juga manusia, butuh makan minum, belanja dan lain-lain di luar shift kerja. Dan itu wajar,” ungkapnya.
Ketiga, yang memakai seragam tidak hanya PPIH, namun juga petugas kloter. Petugas kloter ini juga harus menemani jamaah kemana-mana, bahkan ketika belanja.
“Bismillah, kembali bertugas di sektor khusus Masjid Nabawi. Semangat,” tegasnya.
Berbahasa Asing
Lebih lanjut, perempuan lulusan al-Azhar Cairo itu membagikan kisah yang lain. Yaitu bagaimana agar menjadi petugas haji yang memiliki kemampuan untuk berbahasa asing.
Mbak Nyai Maria mengatakan bahwa saat menjelang puncak haji 2024, suasana di Masjidil Haram terpantau sangat padat. Jamaah mulai memasuki Haram dan area sekitarnya dari Subuh sampai Subuh lagi.
“Hari ini kebagian jaga di area Haram sampai jam 12 malam, khususnya di area Jarwal. Memasuki sholat Magrib sampai selepas Isya sudah ga bisa bergerak. Penuh pakai banget. Siapkan energi, mental, spiritual dan fisik,” katanya.
Bahkan, ia menuturkan bahwa hampir setiap menit petugas tidak boleh lengang. Pertanyaan demi pertanyaan selalu menghampiri. Tidak hanya dari warga negara Indonesia, tapi juga dari jamaah asing. Lintas negara, bahasa, etnik dan warna kulit. Meskipun tentu saja prioritas kami adalah jamaah Indonesia.
Menurutnya, karena di sana menggunakan bahasa Arab amiyah Mesir, maka ia merasa bahasa yang pernah ia kuasai itu kembali terasah dengan baik.
“Karena berkomunikasi dengan jamaah negara Arab dan Afrika yang fasih berbahasa Arab, dan yang paling penting bisa komunikasi langsung dengan keamanan dan petugas dari Saudi,” katanya.
Selain bahasa Arab, Mbak Nyai Maria juga mengatakan bahwa bahasa Inggris juga menjadi alat untuk berkomunikasi dengan para jamaah. Karena di sana banyak juga yang berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dari jamaah di beberapa negara English speaking countries.
Tapi yang paling penting harus bisa bahasa Indonesia dan bahasa lokal. Karena jamaah kita senang sekali jika kita bisa berbahasa lokal dari tempat asal mereka. Tujuannya untuk berkomunikasi, dan agar mereka merasa lebih dekat dan tak asing di tanah suci.
“Di sinilah pentingnya petugas untuk bisa paling tidak dua bahasa utama selain Indonesia, yaitu Arab dan Inggris. Kita bisa membantu banyak jamaah, komunikasi lebih sat set das des. Baik kepada pihak keamanan Saudi, maupun dengan pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan keamanan dan kemudahan pelayanan jamaah,” paparnya.
Nestapa Darah Haid di Tanah Suci
Perempuan lulusan CRCS UGM itu menceritakan pengalamannya tentang soal haid saat beribadah haji. Menurutnya, topik soal haid saat beribadah haji menjadi hal yang sangat jamak diketahui oleh para jamaah haji perempuan.
Ia mengaku bahwa setiap kali ia bertemu dengan jamaah haji perempuan, ia selalu menanyakan apakah mereka minum pil KB atau pil pencegah haid sebulan penuh saat haji, atau suntik KB?
Jawabannya mayoritas bilang “iya”.
Begitu juga para petugas perempuan. Tidak ada satupun yang tidak minum pil pencegah haid, kecuali memang tanggalnya dinilai aman.
Namun, menurutnya, kekhawatiran untuk tidak bisa beribadah penuh saat di tanah suci, kerapkali menjadi penyebab utama kenapa mayoritas mereka minum pil dan melakukan hal tersebut.
Lalu bagaimana efeknya?
Dalam pengamatan Mbak Nyai Maria ada yang manjur, namun ada juga yang tetap bocor. Ada yang aman, ada juga yang justru mengalami pendarahan hebat saat haid pertama setelah haji bahkan sampai ada yang pusing berkelanjutan ketika mengkonsumsi pil-pil tersebut.
“Eman mbak, sudah susah susah ke sini terus enggak bisa ibadah itu nelongso,” begitu jelas salah satu jamaah perempuan
“Ya, kemarin sih sempat flek dua hari. Udah deg-degan. Tapi alhamdulillah sudah berhenti,” jelas jamaah yang lain.
Perasaan Khawatir
Lebih lanjut, Mbak Nyai Maria itu mengungkapkan bahwa perasaan khawatir tidak bisa ibadah full seperti yang bisa dilakukan laki-laki sangat dominan. Meski larangan perempuan haid dalam prosesi haji adalah hanya saat Tawaf, sebenarnya jamaah perempuan masih bisa melaksanakan rangkaian haji yg lain selain Tawaf.
“Memang ada kondisi yang problematis bagi jamaah perempuan, salah satunya adalah di hari-hari terakhir masa tinggal di Mekah. Dikhawatirkan haid sehingga mereka tidak bisa menyempurnakan haji dengan sempurna karena tidak bisa Tawaf ifadhah,” paparnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, solusinya, banyak jamaah yang minum pil atau suntik KB. Itupun dengan catatan tidak membahayakan diri. Lantas bagaimana jika membahayakan diri? Nah ini yang harus dicarikan ijtihad-nya lagi.
Karena hal ini juga selaras dengan pandangan Imam Malik dan Ibnu Rusyd (madzhab Maliki) yang melarang menggunakan obat-obatan jika dinilai membahayakan kesehatan perempuan. Maka wajib hukumnya memakai resep dokter, sebagai bentuk antisipasi diri yang tidak menimbulkan bahaya.
Menariknya, kata Mbak Nyai Maria, dengan melihat para jamaah perempuan ini lebih khawatir tidak bisa beribadah maksimal seperti laki-laki, dan merasa jika haid ini menjadikan ibadahnya tidak afdhal di tanah suci.
Tentu cara pandang ini, tambahnya, tidak lahir tanpa konteks. Beribu-ribu tahun, beratus ratus tahun dalam sejarah manusia, khususnya dalam masyarakat patriarkhi darah haid selalu dilihat seperti mimpi buruk alih alih dilihat sebagai jalan suluk.
“Lah gimana, yang ngasih juga Gusti Allah. Manusia-lah yang mencoba mengkonstruksikan dengan pandangan yang bermacam-macam,” imbuhnya.
“Struktur masyarakat kita akhirnya secara tidak sadar ‘mamaksa’ perempuan untuk mengendalikannya sendiri. Dengan cara apapun, salah satunya untuk minum pil penghenti KB agar mereka dapat ibadah sempurna seperti imajinasi dan seperti apa yang dilakukan jamaah laki-laki,” tambahnya.
Benarkah Menjadi Malapetaka?
Oleh karena itu, pada akhirnya, Mbak Nyai Maria menegaskan bahwa cara pandang yang demikian membuat jamaah perempuan pun merasa jika haid (di luar waktu Tawaf) itu menjadi malapetaka.
Dengan begitu, cara apapun ia lakukan. Termasuk minum pil penghenti haid teratur dalam jangka waktu tertentu sebelum haji. Ada yang dua bulan full, ada yang lebih.
“Salah satunya, yang saya temukan kemarin yaitu jamaah dari Malang menangis tersedu-sedu di depan area ATM, Zam-zam Tower. Saat itu suaminya yang sedang shalat di area dekat Ka’bah. Suaminya meminta kepada istrinya untuk menunggu di area lebih luar dari jam 6-9 (waktu shalat Magrib dan Isya) karena sedang haid,” tuturnya.
Ia melanjutkan bahwa perempuan yang sedang menangis tersedu bukan karena disuruh menunggu suaminya di luar. Tetapi lebih kepada “kenapa saya harus haid, sehingga tidak bisa masuk ke area Ka’bah?”.
“Dan perasaan ini berlarut-larut ada, entah sampai kapan. Bahwa darah haid selalu ia anggap sebagai malapetaka di tanah Haram, yang justru oleh perempuan sendiri,” tukasnya. []