Mubadalah.id – Jika merujuk pesan transformasi sosial pada ayat poligami, dalam bacaan Nashr Hamid Abu Zaid, sama persis dengan pesan transformasi yang ada pada ayat-ayat perbudakaan.
Menurutnya, hampir tidak ditemukan ayat yang mengharamkan perbudakaan dalam lembaran al-Qur’an. Yang ada hanyalah anjuran perlakuan baik terhadap budak dan upaya-upaya untuk memerdekaan mereka.
Al-Qur’an sendiri masih membiarkan perbudakaan, bahkan terkesan memberi kesempatan bagi pemenuhan kebutuhan seksual selain melalui pernikahan dengan orang-orang merdeka.
Kitab-kitab fiqh juga memberi aturan yang cukup detail bagaimana tata cara pemilikan, jual beli, hibah dan perlakuan terhadap para budak. Tetapi pesan-pesan pembebasan al-Qur’an terhadap kemanusiaan, penghormatan terhadap kemuliaan manusia dan pengharaman terhadap pelecehan kemanusiaan.
Pada akhirnya menjadi semangat utama bagi pengharaman perbudakaan pada masa sekarang ini. Hampir seluruh ulama kontemporer sepakat, atau setidaknya tidak menyampaikan gugatan terhadap pengharaman perbudakaan dari peradaban manusia kontemporer.
Saat ini, agama apapun atau nilai sosial apapun tidak akan sanggup melawan tuntutan kemerdekaan manusia. Termasuk tanpa pandang perbedaan ras, suku, maupun agama. Konvensi masyarakat internasional mengharamkan perbudakaan atas nama apapun, dan dengan alasan apapun.
Islam, ayat-ayat al-Qur’an yang dulu tidak menegaskan pengharaman perbudakan, tidak menjadi alasan bagi ulama kontemporer untuk tetap memperkenankan perbudakan, apalagi menganjurkannya.
Peradaban kontemporer telah mengharamkan dan menghapuskan perbudakan, dan semangat transformasi al-Qur’an memiliki dasar untuk pengharaman tersebut.
Sama halnya dengan poligami, tuntutan peradaban akan perlunya keadilan kemanusiaan perempuan menempatkan poligami sebagai salah satu pelecehan dan penistaan terhadap kemanusiaan perempuan. []