Mubadalah.id – Kewenangan poligami sampai empat istri, bagi Nasr Hamid Abu Zaid, harus dipahami dalam konteks sosial relasi kemanusiaan yang terjadi pada pra-Islam, khususnya tentang relasi laki-laki dan perempuan.
Kewenangan ini merupakan representasi dari upaya ‘penyempitan’ atau ‘pembatasan’ dari praktik pemilikan perempuan yang membudaya tanpa aturan pada saat itu.
Di samping melakukan pembatasan terhadap poligami, al-Qur’an juga memberlakukan aturan-aturan dalam hal perkawinan, perceraian, kepemilikan harta, yang memperkuat upaya al-Qur’an memperkuat posisi perempuan. Terutama para perempuan dari kabilah rendahan. Semua aturan al-Qur’an ini menjadi saksi kunci dari perlunya pengangkatan harkat kemanusiaan perempuan.
Dengan demikian, pembatasan empat orang istri secara historis merupakan lompatan peradaban yang revolusioner ke arah pembebasan perempuan dari hegemoni laki-laki. Lompatan ini memiliki signifikansinya tersendiri pada hukum-hukum al-Qur’an lain yang terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan.
Sebagai lompatan ke arah pembatasan dalam sejarah peradaban manusia, menjadi suatu keharusan ketika setelah lima belas abad kemudian terjadi pembatasan kembali menjadi ‘satu orang istri’ saja.
Dalam bacaan evolusi peradaban kemanusiaan, pembatasan satu orang istri ini menjadi sangat alami dan sesuai dengan tuntutan sejarah perkembangan keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, ia memiliki basis dari semangat keadilan yang justru didukung al-Qur’an pada ayat poligami surat an-Nisa.
Yang perlu kita tegaskan di sini, bahwa ayat al-Qur’an turun untuk melakukan kritik terhadap poligami, baik kritik kuantitas yang berlebihan. Maupun kritik kualitas yang menjadi ajang tindakan semena-mena terhadap perempuan.
Poligami dalam strukur bahasa al-Qur’an hanya membicarakan dalam konteks pemeliharaan anak-anak yatim yang terlantar. Bahkan seringkali menjadi ajang tindakan semena-mena.
Poligami di dalam al-Qur’an, tidak ada kaitannya dengan peningkatan grafitasi seksual laki-laki. Maupun pasifitas seksual perempuan, kemandulan perempuan, sakit yang berkepanjangan, atau tujuan pemberdayaan perempuan-perempuan lemah.
Karena pada saat yang sama, laki-laki juga bisa lemah syahwat, impoten, mandul, sakit berkepanjangan. Tetapi pada kondisi ini sama sekali tidak boleh bagi istri untuk berpoligini. []