Mubadalah.id – Seminggu yang lalu, saya mulai membaca buku karangan Julie Smith, seorang psikolog klinis, yang berjudul ’Why Has Nobody Told Me This Before’ (buku ini telah diterjemahkan oleh Gramedia).
Ketika saya membaca buku ini, saya terkesan dengan kejujuran penulis yang beberapa kali mengatakan bahwa semua yang dia tuliskan adalah apa yang selama ini dia pelajari sebagai seorang psikolog dan apa yang dia alami ketika membantu pasien-pasiennya.
Untuk sebuah buku self-help (meskipun dia sendiri tidak mengakui itu), Julie tampaknya tidak terlalu ambisius dengan ide-ide di dalam bukunya. Dalam artian, semua yang dia tuliskan adalah apa yang dia ketahui dan berhasil dia terapkan pada dirinya dan orang lain.
Ditambah lagi, judul ’Why Has Nobody Told Me This Before’ pada dasarnya bukanlah berasal dari bibir Julie sendiri melainkan dari apa yang sering dikatakan oleh para pasien kepadanya ketika saran-saran Julie berhasil pada mereka. Ini sama seperti Archimedes ketika menemukan hal baru dan berseru “Eureka!”.
Menurut hemat saya, Julie berbeda dengan penulis-penulis cara mengatur suasana hati atau self-help lain yang menganggap buku mereka adalah solusi bagi semua persoalan dalam hidup. Saya membenci gagasan yang terlalu arogan dan meremehkan kompleksitas hidup, yang menganggap masalah hidup dapat kita selesaikan dengan satu-dua jargon saja.
Inilah alasan mengapa saya sangat pemilih dalam membaca buku-buku self-help.
Namun ’Why Has Nobody Told Me This Before’ tidak kita ragukan lagi adalah buku yang saya butuhkan dengan pengetahuannya yang cukup kaya. Setiap babnya Julie jelaskan dengan gamblang dan dengan bahasa sederhana yang mudah kita pahami. Di sisi lain, buku ini tidak semata-mata berkutat pada konsep-konsep psikologi tetapi juga praktiknya, sehingga setelah membacanya, kalian bisa langsung mempraktikkannya.
Sayangnya, mustahil bagi saya untuk mengulas keseluruhan isi buku setebal 368 halaman ini hanya dalam seribu atau beberapa ribu kata. Oleh karena itu kali ini saya sekadar mengulas satu bagian buku ini saja, sesuai dengan judul di atas.
Suasana Hati yang Buruk Tidak Dapat Dihindari
Buku ini saya buka dengan bab berjudul ‘On Dark Place’, yang terdiri dari beberapa bagian: understanding low mood, mood pitfaals to watch out for, things that help, how to turn bad days into better days, dan how to get basics right yang semuanya berfokus pada pengertian suasana hati yang buruk, penyebab, dan cara menanggulanginya.
Menurut Julie suasana hati yang buruk adalah hal lumrah. Tidak ada metode atau cara yang membuat kita tidak memiliki perasaan ini. Sebab hidup akan terus memberikan kita kesulitan, rasa sakit, dan kehilangan yang memicu perasaan-perasaan negatif.
Suasana hati sama seperti tubuh, ia adalah refleksi dari apa yang terjadi di sekitar. Ketika kita merasakan suasana hati yang buruk, kemungkinan besar itu terpengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Tetapi perlu kita pahami bahwa suasana hati tidak menentukan siapa diri kita, ini hanya sekadar sensasi yang biasa kita alami.
Asal-usul Suasana Hati
Julie mengkritik asumsi yang dibuat oleh banyak buku-buku self-help. Buku-buku self-help pada umumnya menganggap bahwa perasaan atau cara mengatur suasana hati bergantung pada kondisi internal dalam pikiran.
Menurut Julie, ”… adalah penting untuk diingat bahwa suasana hatimu tidak semuanya bergantung pada pikiranmu. Tetapi juga pada kondisi tubuhmu, hubunganmu, masa lalu dan masa kini, dan gaya hidupmu… Bagaimana perasaanmu bukan semata-mata hanya tentang apa yang kamu pikirkan.”
Jadi gagasan bahwa ’Apa yang kamu pikirkan akan mengubah apa yang kamu rasakan’ adalah gagasan yang setengah matang. Julie menulis:
”Hubungannya berjalan dua arah. Apa yang kamu rasakan juga memengaruhi pikiran yang muncul di benakmu… Kemunculan pikiran negatif bukan berarti ia lebih dulu ada atau jadi penyebab suasana hatimu.”
Kesadaran Diri
Julie memberikan saran seperti yang lazimnya para psikolog berikan kepada para pasien, yaitu membangun kesadaran tentang perasaan yang kita rasakan.
Para psikolog, kata Julie, biasanya akan bertanya pada pasien mereka tentang beberapa respon tubuh yang mereka rasakan akibat suasana hati yang buruk itu.
Umumnya pasien akan mengatakan bahwa mereka merasa lelah dan kehilangan nafsu makan. Selain itu, suasana hati mereka juga membuat mereka memunculkan pikiran-pikiran negatif tertentu.
”Ketika kamu familiar dengan apa yang terjadi di dalam tubuh dan pikiranmu,” tulis Julie ”Kamu dapat memperluas kesadaranmu tentang apa yang terjadi di sekitarmu—seperti hubungan asmaramu—dan dampaknya pada pengalaman internal dan perilakumu.”
Julie menyarankan agar kita mengambil waktu sejenak untuk mencari tahu lebih jauh tentang perasaan-perasaan itu. Misalnya dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada diri sendiri: Kapan saya merasakan ini, apa yang saya pikirkan? Kapan saya merasakan ini, bagaimana kondisi tubuhku sekarang? Apakah ini adalah emosi atau hanya ketidaknyamanan fisik dari hal-hal yang belum terpenuhi? Dan lain-lain.
Metacognition
Sekali lagi, Julie mengkritik apa yang diajarkan oleh buku-buku self-help pada umumnya. Buku-buku self-help biasanya akan menyarankan kita untuk berpikir positif. ”Padahal, faktanya,” tulis Julie ”Kamu tidak dapat mengontrol apa yang kamu pikirkan. Apa yang bisa kamu kontrol adalah respon yang kamu berikan ketika pikiran-pikiran tersebut muncul.”
Menurut Julie, pertolongan pertama yang dapat kita lakukan ketika pikiran-pikiran negatif muncul, dan suasana hati buruk yang diakibatkannya, adalah memberikan jarak dengan pikiran-pikiran itu. Ini kita sebut dengan metacognition, yang secara sederhana berarti berpikir tentang pikiranmu.
Kita memiliki kemampuan untuk berpikir tentang apa yang kita pikirkan. Metacognition adalah proses mengambil jarak dari pikiran untuk melihat apa yang sebenarnya kita pikirkan. Ketika kita melakukan ini, pikiran-pikiran itu akan kehilangan kekuatannya untuk memengaruhi kita, di sisi lain kita juga dapat memilih bagaimana cara kita meresponnya.
Julie mengakui bahwa metacognition terdengar sulit. ”Tetapi,” ujarnya ”Ini hanya tentang proses memperhatikan pikiran yang muncul di benak kita dan melihat bagaimana pikiran tersebut mengontrol perasaanmu.”
Sebab kekuatan pikiran kita bergantung pada seberapa percaya kita dengan pikiran tersebut. Semakin kita mempercayai pikiran itu benar dan bermakna maka semakin kuat pula pikiran itu. Tetapi jika kita membuat jarak dengannya dan mempertanyakannya, kelemahannya akan terlihat.
Menurut Julie, pikiran bukanlah fakta. Ia adalah campuran dari pendapat, penilaian, cerita, ingatan, teori, tafsir, dan prediksi tentang masa depan.
Di sisi lain, meskipun pikiran bukan fakta, kita tetap tidak dapat mengontrol pikiran-pikiran tersebut. Bagi Julie, saran agar kita berpikir positif adalah saran yang tidak realistis, sebab kita tidak dapat mendorong orang yang mengalami bencana untuk berpikir positif.
Beberapa Dasar yang Penting
Kita memiliki kecenderungan untuk menyepelekan hal-hal mendasar. Seperti yang Julie katakan di sub sebelumnya bahwa, bukan hanya faktor internal seperti pikiran saja yang memengaruhi perasaan kita, faktor eksternal juga memengaruhi apa yang kita rasakan. Olehnya hal ini tidak dapat kita abaikan.
Menurut Julie, ada beberapa hal-hal mendasar yang penting kita lakukan untuk membantu mengubah arah suasana hati kita dengan lebih mudah, seperti olahraga, tidur yang cukup, nutrisi yang terpenuhi, membangun rutinitas harian, dan mempererat hubungan dengan orang lain. Hal-hal ini tidak diragukan lagi merupakan faktor yang menentukan suasana hati kita. []