Mubadalah.id – Di kalangan kaum santri ada penilaian, bahwa Kitab Kuning memiliki empat macam metode penyajian.
Pertama, metode deduktif (istinbathi). Metoda ini dipakai oleh para peneliti, dan dipakai juga untuk menjabarkan dalil-dalil keagamaan (al-Qur’an dan al-Hadits) dalam ilmu fiqh, tauhid, akhlak, konsep-konsep ibadah dan ilmu kemasyarakatan.
Metoda ini banyak dipakai oleh Ilmu Ushul-Fiqh aliran mutakallimin sebagaimana dilakukan oleh mazhab al-Syafi’i, Hanbali, dan Syiah Itsna Asyariyah.
Kedua, metode induktif (istiqrai). Metoda ini banyak peneliti gunakan untuk kepentingan berbagai ilmu, termasuk ilmu agama, dan Ilmu Ushul Fiqh aliran ra’yu.
Metoda ini mempelajari kasus-kasus kegamaan yang terjadi di tengah masyarakat, kemudian mencarikan dalil-dalilnya untuk konsep keagamaan tersebut.
Dari sini muncullah konsep fiqh, akhlak, ulum al-Qur’an, sosial, politik, dan lain-lain. Tokoh-tokoh Ushul Fiqh yang mendekati penggunaan metoda ini antara lain dari kalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Mazhab Murtazilah.
Metode Genetika
Ketiga, genetika (takwini). Metoda ini mengajak pembaca agar berfikir dengan melihat kejelasan sebab-sebab terjadinya masalah, atau melihat geografi seseorang lalu mengaitkannya dengan konteks kegiatanya.
Metoda ini awalnya dicetuskan oleh al-Bukhari (810-870 M.) ketika meneliti sanad hadits. Berdasarkan pekerjaan itu al-Bukhari menurunkan penilaian, apakah hadits itu shahih atau dla’if. Model ini banyak yang mengikuti, terutama setiap tokoh hadits yang muncul sesudahnya.
Jika kita melihat model deduktif dan induktif, maka metoda itu sudah populer pada masa filsafat Yunani. Sedangkan metoda takwini baru muncul di dunia Islam, dan sekarang berkembang lebih luas lagi termasuk model historiografi dan etnografi.
Keempat, dialektika (jadali). Metoda ini oleh Kitab Kuning disebut Adab al-Bahts wa al-Munzharah. Biasanya metoda ini muncul dari pertanyaan atau sesuatu yang dipertanyakan.
Dasar-dasar model ini banyak kita temukan di Kitab Kuning seperti al-Ghazali menulis kitab Tahafut al-Falasifah ketika ia mengkritik pemikiran para filosof.
Begitu pula Ibn Rusyd dengan kitabnya, Tahafut al-Tahafut, menulis untuk mengeritik karya al-Ghazali itu. Atau seperti Ibn Taymiyah yang mengeritik kerangka berfikir para filosouf dalam kitabnya, Al-Radd ala al-Manthiqiyyin.
Selain itu ada beberapa ulama yang menulis fiqh muqarin yang di dalamnya menyajikan dialog antar ulama, seperti karya Abu Ishaq al-Syairazi (1002-1083 M) dalam kitabnya, Al-Muhardab dan perbandingan Ushul-Fiqh dalam kitabnya, al-Luma’. []