Mubadalah.id – Perkawinan kerap terartikan sebagai akad antara suami dan istri untuk memenuhi hajat keduanya (hubungan seksual). Sejalan dengan itu, maka salah satu tujuannya ialah untuk memperoleh turunan yang sah. Tak heran dalam hadis Rasulullah saw. berkata, an-nikahu sunnati faman rogiba ‘an sunnati falaysa minni (nikah adalah sunahku, siapa yang mengingkari sunahku maka ia bukan dari golonganku).
Menyitir definisi tadi, bahwa memang perkawinan tak melulu soal ijab-kabul, memiliki keturunan, dsb. Terdapat sekian penjelasan yang luput terungkapkan. Padahal, kita ambil contoh sederhana, perkawinan menurut mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam (ahwalu syakhshiyyah) misalnya, tak seenteng yang terbayangkan.
Kedua calon mempelai bukan saja mesti saling cinta, hapal ucapan kabul, dsb. Mereka seminimalnya mengkhatamkan buku Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak (2015) karya Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Dr. Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.
Buku wajib terpegang mahasiswa HKI guna menggeluti rumpun keilmuannya dalam hukum Islam. Di sana terjelaskan bagaimana kedua mempelai mesti mengerti hak dan kewajibannya masing-masing. Lalu masih banyak lagi syarat-syarat seseorang agar teranggap sah dan pantas untuk menikah.
Pada konsep lain pun perkawinan memiliki relasi dengan aspek sosial, ekonomi, dan psikologi. Bagaimana jati diri kedua mempelai siap memikul tanggung jawab bahtera rurmah tangga mereka. Bayangkan jika posisi mempelai belum kuat secara aspek-aspek tersebutkan tadi. Kita bisa membayangkan keberlangsungan rumah tangga mereka semakin harmonis atau malah di ambang keretakan?
Melangkahi Hukum
Sementara menyikapi fenomena perkawinan anak (baca: perkawinan usia anak), meminjam istilah Poppy R. Dihardjo (Pegiat Isu Hak Perempuan) untuk tak menyebut perkawinan dini, mutakhir ramai terbicarakan. Perkawinan terjadi antara Z dan S. S adalah pengantin perempuan masih berusia 17 tahun.
Mereka menikah, resmi (sesuai aturan pemerintah) atau tidaknya belum terketahui. Semisal menikah resmi, mereka kudu mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan agama setempat. Jika terkabulkan surat dispensasi terbawa ke KUA sebagai loket perkawinan mereka.
Terlepas dikabulkan atau tidak, sah atau tidaknya, cara-cara Z dan S mengekspos perkawinan mereka sunggah tak elok. Mereka serasa tak terbebani. Tak merasa salah. Meminjam akronim sering terungkapkan masyarakat Sunda yakni watados (wajah tanpa dosa). Kita sejenak membatasi urusan perkawinan bukan hanya soal sunah nabi tetapi ada sisi lain perlu diperhatikan sebagai warga negara yang baik.
Dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terjelaskan dalam Pasal 7 Ayat (1) bahwa laki-laki dan perempuan dibolehkan melakukan perkawinan jika sudah berusia 19 tahun. Sementara usia di bawah 19 tahun masih teranggap usia anak, artinya secara hukum belum bisa melakukan perkawinan.
Menikah itu Tak Mudah
Memang di usia anak (produktif) itulah seseorang—baik perempuan atau lelaki—sewajarnya menempuh pendidikan, membentangkan karir, mengembangkan skil, dlsb. Jangan gegara kebelet menikah itu semua terkorbankan. Eman-eman. Perkawinan terlalu sempit dan remeh jika hanya melihatnya dari satu sudut semata.
Mahmud Junus dalam buku Hukum Perkawinan dalam Islam (1960) menulis, “Allah mendjadikan machlukNja berpasang-pasang, mendjadikan manusia laki-laki perempuan. Hikmahnja ialah supaja manusia itu hidup berpasang-pasang, hidup dua sedjoli, hidup laki-isteri, membangunkan rumah tangga jang damai dan teratur.”
Dalam frasa terakhir untuk mewujudkan rumah tangga damai dan teratur tak cukup hanya dengan modal cinta semata. Perlu ada kekompakan, skil, kerja sama, dan kesepapahan keduanya. Lalu apakah calon mempelai usia anak sudah memiliki itu semua?
Dengan begitu, mereka yang terburu-buru menikah di usia muda (apalagi di bawah batas usia perkawinan yang berlaku), mestilah berpikir panjang. Tak ada salahnya fokus sejenak pada kualitas dan pengembangan diri sendiri sebelum akhirnya berproses bersama pasangan. Perbaiki segala kualitas diri sendiri sampai menurut kadar kemantapan masing-masing. Jangan lagi tergiur-goda oleh figur publik yang mengglorifikasi sesuatu yang berpotensi merugikan.
Salah Kaprah
Hanya karena melihat glamoritas kehidupan Z dan S pascaperkawinan, pengikutnya berkesimpulan menikah muda itu menyenangkan. Segala biaya ditanggung orang tua, misalnya. Ini kesalahkaprahan berpikir seorang pengikut figur publik dengan memukul rata latar belakang sosial dan finansial seseorang.
Orang tua Z dan S secara finansial mungki teranggap mampu menggelar pesta pernikahan mewah dan membiayai kehidupan perkawinan mereka. Sementara belum tentu dengan keadaan finasial keluarga para pengikutnya.
Dugaan saya terbawa bahwa Z atau S tak paham soal batas usia perkawinan tertera dalam UU. Poin pokok di pasal itu terlahir dari perjuangan ketiga ibu rumah tangga yang menggugat perkawinan anak. Mereka adalah Rasminah, Endang Wasrinah, dan Maryanti menggugat Pasal 7 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal itu mensyaratkan perkawinan bisa terlaksana jika pria sudah berusia 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun. Ada perbedaan angka signifikan antara lelaki dan perempuan. Banyak persoalan menguar dari aturan problematik. Itu terbukti-rasakan secara de facto oleh mereka bertiga. Mereka salah tiganya telah menjadi korban peraturan timpang ini.
Perjuangan Menggugat
Pada 2017, mereka bertiga mengajukan judisial review atas pasal tadi dengan tuntutan utama mengubah (menaikkan) batas usia perkawinan perempuan ke Mahkamah Konstitusi. Alhamdulillah, gugatan terkabulkan melalui Putusan MK Nomor 22/PUU-XV/2017 yang inti amar putusannya ketentuan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945. Artinya memuat kebijakan diskriminatif dan membuka ruang terjadinya perkawinan anak.
Lewat amar tadi, MK memerintahkan kepada pembuat undang-undang (DPR) agar merevisi pasal terkait sekurang-kurangnya tiga tahun dari waktu putusan diterbitkan. Maka pada dua tahun setelahnya, DPR RI mengesahkan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan mengganti batas usia perkawinan perempuan dari 16 (enam belas) tahun menjadi 19 (sembilan belas) tahun, atau disamakan dengan laki-laki.
Kalau saja Z dan S membaca dengan rijit perjuangan ketiga ibu rumah tangga tadi, mereka apakah akan tetap sesumbar memamerkan pengisahan perkawinan mereka? Normalisasi yang mereka lakukan di medsos senyatanya jelas mencederai laku perjuangan Ibu Rasminah, Endang Wasrinah, dan Maryanti.
Z dan S seolah tak peduli akan perkawinannya yang mengundang gemuruh pembicaraan massa. Mereka terlihat bodo amat dan terkesan pede saja mengglorifikasi perkawinan anak. Kalau masih bisa berpikir semestinya mereka berpikir dua kali, kecuali jika sudah tak sanggup. Entahlah. []