Mubadalah.id – Sudah mafhum bahwa literasi ulama-ulama Islam pada zaman dahulu sangat luar biasa. Literasi dalam hal ini, perhatian mereka untuk menuliskan sesuatu yang terjadi pada zaman itu hampir semuanya tertulis.
Tidak hanya menulis pada hal-hal yang berkaitan dengan kitab suci, hadits, fikih dan tafsir. Melainkan menulis pada segala aspek kejadian-kejadian zaman itu. Seperti menulis kisah-kisah orang yang kikir atau pelit. Salah satunya yang cukup terkenal adalah kitab yang Al-Jahiz tulis, yaitu “Kitab al-Bukhala” (Kitab tentang Orang Kikir).
Termasuk juga kitab mengenai hewan yaitu “Kitab al-Hayawan”, yang tertulis berabad-abad sebelum Charles Darwin menerbitkan “On the Origin of Species”. Di mana dalam kitab ini memuat lebih dari satu referensi menarik tentang pandangan Al-Jahiz tentang teori evolusi dan seleksi alam.
Bahkan, jauh sebelum Darwin mengajukan teorinya sendiri, rupanya Al-Jahiz telah memperhatikan bagaimana lingkungan bertanggung jawab atas adanya perbedaan pada warna kulit manusia.
Al-Jahiz menulis sejumlah besar buku dan risalah dalam bidang teologi, sosiologi, sastra, matematika dan karya-karya lainnya. Al-Mas’udi mengatakan, bahwa buku-buku Al-Jahiz adalah karya agung. Sebab ia menyusunnya dengan sangat baik, kokoh, indah, dan didukung oleh ekspresinya yang sangat fasih.
Tak hanya itu, ulama-ulama dulu juga sering menulis kisah-kisah orang non-Arab. Misalnya bagaimana akhlak dan perilakunya. Demikian juga tertulis kitab-kitab budak yang ahli menyanyi.
Secara tidak langsung, ini membuktikan bahwa kekayaan literasi Islam atau prosa zaman dahulu sangat melimpah-menyeruak. Nah, pada tulisan kali ini akan saya paparkan bagaimana cerita atau hikayat orang-orang dermawan pada zaman dahulu.
Hikayat orang-orang yang dermawan
Alkisah dari Waqid bin Muhammad, ia berkata, telah menceritakan ayahku, Muhammad Al-Waqidi, sesungguhnya ayahku pernah mengirimkan kertas (surat) kepada khalifah Al-Ma’mun yang bertuliskan akan banyaknya hutang dan tidak mampu melunasinya.
Kemudian di balik kertasnya khalifah Al-Ma’mun menuliskan, “Sesungguhnya engkau wahai Muhammad Al-Waqidi adalah seorang laki-laki baik dan mempunyai dua sifat yaitu sifat kedermawanan dan malu. Dan sifat kedermawanan membuat cepat habis harta kamu, sementara sifat malu membuat kamu malu meminta kepadaku. Dan karena sifat malu ini juga kamu tidak jadi untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhannya.”
Sekarang, lanjut Al-Ma’mun, “Aku kasih kamu 100.000 dirham. Jika diagnosisku tepat bahwa kamu adalah orang yang dermawan, pasti kamu akan memberikan dan membagikan uang ini kepada orang-orang. Dan jika aku salah sangka kepadamu, maka dosa-dosanya kamu yang tanggung.”
Tak berhenti sini, kata Al-Ma’mun, “Bukankah kamu (Al-Waqidi) dulu pernah menceritakan hadis dari Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan Muhammad bin Ishaq dari Imam Az-Zuhri dari Anas bin Malik Ra, Nabi pernah berkata kepada Zubair bin Awwan,
“Wahai Zubair! Ketauhilah bahwa kunci-kunci rezeki hamba Allah Swt. sudah ada disamping arsy-Nya. Seorang hamba diberikan rezeki sesuai dengan kebutuhannya. Dan barang siapa yang sedekahnya banyak, maka Allah juga akan memberikan rezekinya sesuai dengan kebutuhannya. Dan siapa yang menyedikitkan akan sedekahnya, maka Allah akan memberikan rezeki yang sedikit.”
“Engkau wahai Waqid bin Muhammad lebih tahu akan hadits ini,” kata Al-Ma’mun. kemudian Al-Waqidi berkata, “Demi Allah! Sungguh mengingatkannya Al-Ma’mun kepada hadis yang diriwayatkan ayahku lebih aku sukai daripada hadiah mendapatkan upah 100.000 dinar.”
Menilik Hikmah Sifat Dermawan
Hikmahnya, kata Gus Ulil, bahwa nilai sebuah hadits yang dikisahkan ayahnya jauh lebih berharga daripada uang 100.000 dirham. Beginilah potret orang-orang yang mengerti akan harga sebuah ilmu. Namun, orang yang tidak mengerti akan harga ilmu, maka ia akan memilih uang 100.000 dirham.
Anda tahu! Khalifah Al-Ma’mun adalah khalifah besar (ke-7) pada zaman kerajaan Abbasiyah yang memerintah pada tahun 813-833 M. Ia adalah khalifah yang bertanggung jawab untuk menerjemahkan teks-teks Yunani (Filsafat Yunani) ke dalam bahasa Arab (Filsafat Islam).
Selain mencintai ilmu pengetahuan, Al-Ma’mun termasuk orang yang sangat dermawan. Tak heran jika para penyair-penyair berlomba-lomba untuk dekat padanya agar mendapatkan kucuran dinar dan dirham.
Suatu waktu seorang laki-laki bertanya kepada Hasan bin Ali Ra. Lalu Hasan berkata, “Wahai orang ini! Kamu minta-minta kepadaku dan permintaan kamu saya hargai. Aku tahu kamu butuh sesuatu dariku dan aku sangat terbebani serta merasa wajib untuk selalu memberikannya, sementara aku tidak mampu memenuhinya. Tetapi, jika kamu mau mengangkat bebanku dari kewajibanku untuk memberi kepada kamu, maka aku akan melakukannya karena aku merasa berhutang.”
Kemudian sang lelaki itu menjawab, “Ya Allah! Aku merasa menyesal dengan terbebaninya engkau wahai cucunya Rasulullah. Berapapun yang engkau berikan aku akan menerima dan mensyukuri demi terlepasnya bebanmu.”
Akhirnya Sayyidina Hasan memberikan dinar-dinar yang berjumlah 500 dan dirham-dirham yang berjumlah 50.000 kepada laki-laki itu. Dia mengatakan, “Suruh datang ke sini orang-orang yang akan memikul dinar dan dirham ini.” Sang laki-laki kemudian mendatangkan tukang pikul.
Setelah Sayidina Hasan memberikan dinar dan dirham, kemudian pembantu-pembantunya berkata, “Wahai Sayyidina Hasan, Demi Allah, tidak ada sama sekali dinar dan dirham. Lalu bagaimana nanti urusan belanja dapur-dapur? Kenapa diberikan semuanya.” Sayyidina Hasan menjawab, “Tidak apa-apa, uang bisa kita cari. Tetapi, aku berharap kepada Allah upah yang besar (pahala).”
Kisah orang-orang dermawan yang patut diteladani
Suatu hari para ahli Qur’an Bashrah (Qurra’ al-Bashrah) berkumpul/datang kepada Sayyidina Ibnu Abbas (Gubernur Kota Bashrah). Ahli Qur’an itu melapor kepada Ibnu Abbas, “Kami mempunyai tetangga yang selalu puasa dan tahajud, kami ingin seperti dia. Mereka juga mempunyai anak-anak perempuan yang dinikahkan kepada sepupunya. Namun ia tidak mempunyai uang untuk biaya nikahnya.”
Mendengar hal itu Ibnu Abbas berdiri dan menggandeng tangannya para ahli Qur’an Bashrah untuk ia ajak masuk rumah. Beliau membukakan enam kantong uang dan berkata. “Bawalah uang enam kantong ini kepada mereka tetangga-tetangga.” Mereka pun kemudian memikulnya.
Kemudian Ibnu Abbas berkata lagi, “Tetapi kalau kamu membawa uang ini kepada tetangga itu nanti ibadahnya tidak khusyuk. Nah, supaya mereka tetangga tidak terganggu ibadahnya, lebih baik kita saja yang menyiapkan acara pernikahan anaknya.”
Kamu tahu, lanjut Ibnu Abbas, “Jangan pernah menyibukkan dunia kepada orang ahli ibadah. Sebab, nilainya harta tidak seberapa dibandingkan dengan nilai beribadah, makanya jangan kasih uangnya. Dan dengan membantu mereka para tetangga, kalian jangan pernah sombong, karena pemberian itu dari Allah semuanya.”
Waktu berjalan, para ahli Qur’an Bashrah akhirnya turun lapangan untuk menyiapkan acara resepsi pernikahan anaknya tetangga yang ahli ibadah. Inilah contoh orang-orang dermawan yang patut kita teladani. Wallahu a’lam bisshawab. []