Mubadalah.id – Kalian pernah tiba-tiba kesel sama keluarga, temen, atau siapapun yang kalian temui, terus berdebat bahkan sampe kusut. Seperti apakah bener mengatur gen-z sangat sulit? Atau generasi boomers yang doyan banget buat story ga jelas? Atau anak-anak kecil yang suka tantrum kalo ga punya barang kekinian? Nah ini semua bisa terjadi karna bias algoritma media masing-masing generasi loh. Bagaimana sebenarnya?
Karakteristik Setiap Penguna Sosial Media yang Berbeda
Tulisan ini dibuat bukan untuk memojokkan salah satu pengguna media sosial tertentu. Dan juga bukan untuk menyalahkan satu generasi aja. Hidup udah banyak gebrakannya setiap hari bukan? Mari kita penuhi rasa senang dengan membaca tulisan ini. Kalo kata Donald E. Knuth, penulis The Art of Computer Programming, algoritma media adalah rangkaian komputerisasi yang merubah input menjadi output yang pengguna inginkan.
Nah, jadi ketika kita mencari sesuatu yang sedang kita rasakan, alami atau perlukan, maka kekuatan algoritma ini akan membaca dan memberikan semua yang kita butuhkan. Bertambah dengan koneksi antar sosial media yang tipis banget. Gimana tuh? Jadi, ketika algoritma membaca input yang kita masukkan disalah satu search engine, maka bakal banyak informasi yang hampir sama dengan search engine sosial media lainnya.
Tapi, masalahnya tidak semua orang menggunakan satu media sebagai refrensi untuk mencari satu sumber tertentu yaa. Bisa jadi temen, saudara atau bahkan orang tua kita pake sosial media yang berbeda dari apa yang biasa kita pakai. Dan ini yang jadi standar ganda tadi, kita akhirnya berdebat dengan hal yang ga ada ujungnya.
Tujuan Media Sosial
Padahal, semua media punya tujuan yang sama. Yaitu dengan memberikan waktu sebanyak-banyaknya pada user atau pengguna untuk stay di platform mereka. Seperti perdebatan di twitter beberapa bulan lalu tentang pengguna di aplikasi Tiktok. Sebagai pengguna kedua aplikasi ini aku sadar, bahwa emang ga semua yang ada di Tiktok atau Twitter seratus persen kebenarannya.
Ada juga banyak konten pendidikan yang di share di Tiktok, maupun sebaliknya. Dan karena tampilan Tiktok yang menyenangkan penggunaan, ini yang buat banyak miss informasi tersebar disana.
Masing-masing platform punya tujuan tersendiri atau bahkan sekadar mencari hiburan semata dengan media tersebut. Jadi, bukan hanya tingkat pendidikan pengguna yang jadi faktor utama. Tapi ada second, hingga banyak faktor lainnya yang menentukan salah satunya algoritma tadi.
Sebagai manusia biasa, aku juga tidak bisa mengatur algoritma nggak usah berkembang. Kemajuan teknologi ini nyatanya sangat berdampak bagi banyak segi kehidupan. Memecahkan mitos, informasi baru, bahkan temen juga bisa didapatkan dari perkembangan teknologi ini. Kuasa kita hanya satu yaitu coba mengontrolnya. Dan gimana semisal ada perdebatan dari masing-masing pengguna sosial media ini? Yaudah gausah dibuat debat dan enjoy saja.
Mengatur Algoritma dan Konsep Kesalingan
Algoritma memang jadi hal terpenting dalam sebuah kemajuan teknologi. Atau bahkan di masa depan kita dapat berkomunikasi dengan manusia berbentuk lain. Tetapi, persaudaraan di tengah keberagaman harus jadi sumber utama dalam bersosial media. Tidak langsung mencaci maki selera orang lain, ataupun tidak berdebat dengan hal-hal yang kusut karena perbedaan ini.
Sama halnya dengan konsep kesalingan. Menurut saya pribadi kesalingan bukan hanya hubungan antar laki-laki dan perempuan. Bahkan sesama perempuan pun jika memiliki preferensi yang berbeda dapat saling menghardik bukan? Dengan konsep kesalingan ini, sebenernya terdapat semangat saling bekerjasama dan menimbulkan timbal balik antar keduanya.[]