Mubadalah.id – Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara yang wajib dijamin oleh pemerintah. Islam pun mewajibkan semua umatnya untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya. Sebagai landasan atau dasar dalam hak memperoleh pendidikan bagi seluruh warga negara tak terkecuali, Pemerintah menetapkan pasal 10 Undang-undang No. 8 tahun 2016 yang menegaskan bahwa hak pendidikan untuk penyandang disabilitas sebagai berikut:
Pertama, mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus.
Kedua, mempunyai kesamaan kesempatan untuk menjadi pendidik atau tenaga kependidikan pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.
Ketiga, mempunyai kesamaan kesempatan sebagai penyelenggara pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan. Keempat, mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik.
Sayangnya, kesadaran penyelenggara pendidikan untuk memberikan hak-hak yang sama terhadap disabilitas masih tergolong rendah. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak mengetahui para disabilitas seharusnya mendapat hak yang sama layaknya orang non-disabilitas.
Pemaparan deskripsi masalah tersebut secara tuntas dijawab oleh para Ulama sebagai berikut:
Kebijakan di Lembaga Pendidikan dan Majelis Taklim
Pertama, tentang kebijakan lembaga pendidikan atau majelis taklim. Jika lembaga pendidikan dan/atau majelis secara jelas membuat kebijakan menerima penyandang disabilitas. Maka lembaga dan majelis tersebut wajib menyediakan fasilitator.
Namun, jika lembaga pendidikan dan/atau majelis itu tidak mengkhususkan kebijakan menerima penyandang disabilitas, maka tidak diwajibkan menyediakan fasilitator.
Kitab Majmū’ah al-Fawā’id al-Bahiyyah ‘ala Manżūmati al-Qawā’id al-Bahiyyah: 1/80-81 menjelaskan hal ini dengan konsep “wasilah” atau perantara. Di mana perantara untuk tercapainya sesuatu memiliki hukum yang sama dengan sesuatu itu. Berikut keterangan dalam kitab tersebut:
Telah banyak ulama yang menuturkan ijma’ (konsensus) para ulama dalam persoalan ini. Seperti Ibnu Mundzir dalam bukunya Al-Aushath dan Ibn Habiirah dalam Al Ifshah dan ulama-ulama lainnya.
Hal yang dimaksud dengan “wasilah” dalam contoh ini adalah “al-masyyu” (berjalan kaki) menuju salat. Karena kaki adalah alat yang digunakan untuk berjalan, dan fungsi kaki ini tergantung penggunanya. Ketika seseorang bermaksud untuk salat dan ia menggunakan alat tersebut agar ia berjalan menuju salat, maka “berjalan” saat itu dinamakan “wasilah”.
Yang dimaksud dengan “mutammimah” (pelengkap) dalam kasus ini adalah kembalinya orang tersebut setelah salat ke tempatnya semula. Kembalinya dia dari salat dikategorikan sebagai “pelengkap” karena amalan salat sebenarnya sudah tuntas ditunaikan apabila wasilah (berjalan) dan maksud (salat) sudah tercapai.
Namun, sempurnanya ibadah salat tersebut sebenarnya adalah dengan kembalinya orang itu ke tempat asalnya setelah salat, karena ia pada saat itu menyempurnakan amalan (salat) yang ia tuju.”
Pandangan Shalih bin Muhammad al-Asmari
Selanjutnya Shalih bin Muhammad al-Asmari menegaskan bahwa perantara dan tambahan pelengkap untuk tercapainya sesuatu itu memiliki hukum yang sama dengan sesuatu yang menjadi tujuan tersebut. Beliau mengatakan:
Ketahuilah bahwa kaidah yang diindikasikan oleh Nażim–semoga Allah merahmatinya-adalah kaidah yang dibahasakan oleh para ahli fikih dengan ‘wasilah memiliki hukum maksud dan zawaid (tambahan) memiliki hukum maksud’. Keterangannya menurut contoh sebelumnya adalah menunaikan salat fardlu berjamaah di masjid hukumnya wajib. Maka wasilahnya (berjalan) mendapatkan hukum salat juga.
Dengan demikian hukum wasilahnya adalah wajib. Karena wasilah yang ia perlukan untuk menyempurnakan suatu kewajiban, maka sarana itu wajib hukumnya sebagaimana yang telah kita jelaskan dalam ushul fiqh. Sementara mutammimah (pelengkap) kewajiban ini juga mendapatkan status hukum yang sama–dari segi pahala.
Edukasi Hak Penyandang Disabilitas
Kedua, tentang pemberian edukasi mengenai hak penyandang disabilitas.
Pemerintah dan ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan lainya harus mensosialisasikan kesadaran tentang disabilitas.
Masyarakat harus kita beri edukasi tentang hak-hak penyandang disabilitas di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pesantren, agar mereka mempunyai sensitivitas yang lebih baik terhadap mereka.
Pemberian edukasi tentang hak-hak penyandang disabilitas ini penting karena dalam Islam disabilitas tidak boleh kita cela dan hina. Selain itu, Islam memandang orang-orang disabilitas dan non-disabilitas memiliki kewajiban yang sama dalam melaksanakan kewajiban. Dalam Zahratu al-Tafāsir: 2/769 menjelaskan:
Kesetaraan antara hak dan kewajiban tidaklah terbatas dalam perkara antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan ini adalah suatu perundangan umum yang ditetapkan oleh Islam dan didukung oleh logika.
Dengan ketentuan inilah keadilan bisa kita tegakkan. Islam telah menetapkan kewajiban seseorang sesuai dengan hak yang dia dapat.
Berdasarkan prinsip ini, Islam menetapkan hukuman seorang hamba sahaya setengah hukuman manusia merdeka. Karena seorang hamba sahaya yang menggugurkan sebagian haknya sebagai manusia harus menggugurkan sebagian kewajibannya.
Tafsir al-Qurtubi
Kesetaraan hak ini kembali ditegaskan dalam Tafsir al-Qurtubi berikut ini:
Delapan belas: tidak masalah bagi disabilitas netra, disabilitas daksa, dan ragam disabilitas lainnya, penderita kebiri dan hamba sahaya untuk menjadi imam, jika setiap mereka tahu perkara salat.
Namun, Ibnu Wahab mengatakan, “Saya tidak setuju jika disabilitas daksa dan penyandang disabilitas menjadi imam, karena dia kurang sempurna. Dan saya tidak suka statusnya sebagai pemimpin karena kekurangan yang ia miliki.”
Akan tetapi, mayoritas ulama tidak sependapat dengan Ibnu Wahab. Dan pendapat merekalah yang benar. Karena hambatan yang penyandang disabilitas alami tidak akan menggugurkan kewajiban salat. Maka, ia boleh manyandang status imam meski ia kehilangan salah satu anggota tubuhnya seperti mata. Anas RA meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW menjadikan Ummi Maktum sebagai imam salat sedang dia adalah seseorang disabilitas netra.
Demikian juga dengan disabilitas daksa dan penderita kebiri (juga boleh menjadi imam) baik secara qiyas maupun nadzar. Wallahu a’lamu. Dan dalam riwayat Anas bin Malik RA, mengenai disabilitas netra: “Apa urusan mereka? Bukankah Ibnu Abbas dan Utbah bin Malik pernah menjadi imam salat dan mereka berdua disabilitas netra? Mayoritas ulama juga berpendapat demikian.” []