• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Kualitas Pemimpin Tidak Dilihat dari Jenis Kelaminnya

Fachrul Misbahudin Fachrul Misbahudin
15/03/2018
in Kolom
0
kualitas pemimpin

kualitas pemimpin

28
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pemahaman kadang tidak datang dari bangku sekolah. Seringkali ia muncul di tengah situasi yang tak pernah kita sangka-sangka. Termasuk saat saya mulai memahami bahwa jenis kelamin bukanlah patokan untuk menilai kualitas pemimpin yang baik. Pemahaman ini justru saya dapatkan dari sebuah pertemuan dengan seorang pendeta. Baiklah, aku ceritakan saja pertemuan itu.

Pada pagi hari yang cerah, seorang perempuan berdiri tegak di atas mimbar. Dia berdiri di depan kerumunan orang yang larut dalam kekhidmatan atas pesan-pesan damai yang disampaikan. Pagi itu adalah suasana dalam ibadah Minggu di Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kebon Jati, Bandung. Sementara perempuan yang berada di atas mimbar tadi adalah Dina Esterina, pendeta perempuan yang saya temui selepas acara.

Dina menjadi pendeta di GKP Kebon Jati, Bandung, sejak 2017. Ini adalah kali pertama saya bertemu seorang pendeta perempuan dan berbincang dengannya. Dina bercerita bahwa dia adalah pendeta pindahan dari Jakarta. Selama setahun kepemimpinannya banyak jemaat yang merasa nyaman. Dina mampu memberi pelayanan kepada tidak kurang 1.800 jemaat. Dia pun dikenal mampu merangkul semua jemaatnya.

Dina bercerita bahwa dia tidak ingin melihat jemaatnya bersedih, galau, sakit dan masalah lainnya. Sehingga ketika ada jemaat yang sedih dan membutuhkan teman curhat dia langsung turun tangan. Hal tersebut membuat jemaat perempuan, laki-laki, anak-anak atau orang tua merasa nyaman dan damai jika berkonsultasi dengannya.

Selain melayani kebutuhan rohani, dia juga memberikan kebutuhan-kebutuhan jemaat. Seperti kebutuhan kesehatan, kebutuhan jiwa, kebutuhan psikis dan sebagainya. Sehingga dalam seminggu dia hanya bisa beristirahat sehari saja. Dari cerita pendeta Dina saya sedikit menyimpulkan, perempuan lebih bisa mendengarkan orang lain dan membantu menyelesaikan masalah mereka dengan limpahan kasih sayangnya.

Baca Juga:

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

Setelah saya tanya lebih lanjut, ternyata tidak hanya Dina yang menjadi pendeta perempuan di GKP tersebut. Dari sekitar 66 pendeta aktif, hampir separuhnya adalah perempuan. Bukan hanya itu, kiprah perempuan di sinode sebagai pemimpin dalam skala yang lebih besar juga sudah tidak asing ditemukan. Bahkan di PGI sendiri perempuan sekarang sudah ada yang menjadi ketua umum.

Setahu saya memang  tidak ada konsensus khusus soal perempuan jadi pendeta GKP. Tapi makin lama seiring dengan emansipasi perempuan di tingkat global, maka GKP mulai terbuka menyikapi perubahan zaman. Didukung dengan keberadaan GKP yang tidak didominasi suku tertentu, mereka pun menerima perempuan menjadi pemimpin ibadah mereka dan sama sekali tidak ada penolakan.

Sebelum menjadi pendeta, para calon pendeta akan melalui penahbisan, proses aklamasi dimulainya pelayanan seorang pendeta. Karena jabatan pendeta adalah jabatan persekutuan maka awal masa kerjanya ditandai melalui sebuah kebaktian atas dukungan jemaat-jemaat. Dalam prosesi penahbisan ada penumpangan tangan oleh para pendeta sebelumnya dan doa jemaatnya.

Sebagai seorang muslim, perbincangan saya dengan seorang pendeta semakin menyadarkan bahwa apa yang dilakukan mereka adalah perbuatan yang mulia. Pelayanan kepada orang-orang yang dilandasi dengan ketulusan menunjukkan bahwa mereka sungguh memanusiakan manusia. Ini yang membuatku tersentuh.

Pertemuanku dengan pendeta Dina Esterina dan sedikit pengetahuanku tentang perempuan-perempuan hebat lainnya di dunia semakin meyakinkanku bahwa keberhasilan memimpin bukan ditentukan oleh jenis kelamin pemimpinnya, melainkan oleh pelayanan dan pengorbanan apa yang sudah diberikan sang pemimpin untuk orang lain.

Hal ini sejalan dengan semangat Islam bahwa agama ini tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Sebab yang mampu membedakan manusia hanya ketakwaannya kepada Allah SWT. Begitupun, inti dari seorang pemimpin bukan pada jenis kelamin, laki-laki atau perempuankah dia? Tapi pada kemampuan sejauhmana dia bisa membawa pada kesejahteraan masyarakat dan kedamaian sosial. []

Tags: kualitas pemimpinperempuanperempuan juga bisa jadi pemimpin
Fachrul Misbahudin

Fachrul Misbahudin

Lebih banyak mendengar, menulis dan membaca.

Terkait Posts

Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Narasi Pernikahan

    Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID