Mubadalah.id – Beberapa malam mini, saat hendak melaksanakan salat tarawih bersama di rumah, anak perempuan pertamaku selalu bertanya, “Bubu salatnya berapa rakaat?” Ku jawab, “20 rakaat tarawih dan ditambah 2 rakaat lidaf’il bala.” Pertanyaan ini ia tanyakan berulang-ulang selama tiga malam. Setiap selesai bertanya dia terdiam sambil memainkan mainannya.
Walaupun dia bermain, saya memahami bahwa ada yang sedang berputar-putar di otaknya. Dugaan saya benar, di hari berikutnya, anakku bertanya, “Bubu, hari Rabu minggu kemarin, kata Miss Nur, tarawih itu 11 rakaat, tapi kok Bubu dan Mbah Mamak berbeda?” Ia menunggu jawaban dengan mata yang menatap dengan dalam.
Iya, oleh saya dan suami, anak kami ini kami sekolahkan di sekolah Muhammadiyah. Sedangkan kultur dalam keluarga kami cenderung NU. Sehingga, pertanyaan-pertanyaan demikian sangat mungkin ditanyakan oleh anak kami. Bagaimana reaksi saya saat pertanyaan itu muncul?
Tidak sedikitpun saya sedih dan denial. Justru itu bagian dari tujuan kami menyekolahkannya di sana. Yakni untuk melihat, mendengar, mengamati dan menyadari bahwa perbedaan adalah kehendak Tuhan (QS. Al-Hujurat: 13, QS. Al-Maidah: 48) yang harus senantiasa menyikapi dengan baik.
Perbedaan Pelaksanaan Tarawih
Saya memulai menjawab pertanyaannya dengan mengatakan, “Tradisi pelaksanaan tarawih itu beragam Kak. Ada yang 11 rakaat bersama witir, ada yang 8 rakaat aja, ada yang 23 bersama witir, ada yang 20 saja. Tapi, dalam tradisi Guru kita, orang tua kita, Bubu (memilih sama seperti mereka) 22 rakaat bersama lidaf’il bala’ (dengan witir diakhirkan secara munfarid). Mau (memilih) tarawih berapa (aja) rakaatnya juga gak papa, semuanya benar. Yang nggak boleh itu ngata-ngatain orang: Itu salah! Ini salah!”
Lalu, saya juga menjelaskan apa yang mendasari perbedaan-perbedaan tersebut berdasarkan teks yang menjadi sumber penetapannya. Anakku mendengarkannya dengan seksama. Kemudian ia kembali bertanya, “Tapi kata Miss Nur, 11 rakaat aja anak-anak.”
Saya senang sekali mendengarkan penjelasan Miss Nur ini, ia tidak memonopoli penafsiran teks, ia menyertai illah berbeda yang dapat anak-anak pahami sebagai pelakunya. Sehingga, anak-anak memiliki sebuah konsep hukum, bahwasanya hukum itu tidak bersifat kaku, melainkan menyesuaikan kondisi pelakunya, atau bahasa fikihnya adalah menyesuaikan kondisi sang mukallaf.
Kemudian saya merespon pertanyaan anakku ini. “Iya Kak, semuanya boleh, anak-anak nggak kuat banyak-banyak (rakaat) juga nggak papa. Kakak nggak solat juga nggak papa. Karena (tarawih) nggak wajib hukumnya, tapi sunnah.”
Istilah Tarawih tidak ada Dalam al-Qur’an dan Hadis
Jawaban ini saya dasarkan pula pada tulisan Kiai Faqih dalam feed Instagramnya. Kiai Faqih menuliskan, bahwasanya istilah “tarawih” itu adalah khas Fikih ulama madzhab, dan tidak ada dalam Alquran maupun Hadis. Tidak ada pembicaraan yang fiks dalam Hadits, tentang salat tarawih di bulan Ramadan; yang ada adalah tentang salat malam, baik di bulan Ramadan maupun di luarnya. Seperti salat Witir, di Ramadan dan di luar Ramadan.
Menurut mayoritas ulama, hukum melaksanakan salat tarawih adalah sunnah (dengan jumlah rakaat yang berbeda antara satu ulama dan lainnya). Perbedaan ini adalah hal yang diperbolehkan. Kiai Faqih menggunakan diksi, “Ya boleh banget. Tetapi sama sekali tidak bisa dikatakan, bahwa dalam Hadits ada penjelasan yang gamblang, mengenai rakaat, tempat di masjid (tempat tertentu), mengenai salat bernama tarawih yang khusus di malam bulan Ramadan.”
Atas dasar ini, Kiai Faqih menegaskan, bahwa (pandangan tertentu) sama sekali tidak bisa kita klaim sebagai paling sunnah, sesuai dengan Hadits, atau selaras dengan teladan Nabi Muhammad saw. Kendati demikian, Kiai Faqih menjelaskan, “Namun, setidaknya, secara waktu, para Imam Madzhab, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, adalah ulama otoritatif pada masanya, yang masih dekat dengan Nabi Muhammad saw., karena hidup di akhir abad pertama dan awal abad kedua Hijriyah.”
Dengan kata lain, kedua Imam Madzhab ini sudah bertemu dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad saw., mendengar dan mempraktikkan salah tarawih bersama generasi pertama Islam. Demikianlah penjelasan Kiai Faqih perihal salat tarawih.
Kisah Gus Dur
Anakku masih menyimak penjelasanku dengan seksama. Saya melanjutkan obrolan kami dengan menceritakan kisah Gus Dur saat Presiden Soeharto memintanya mengimami salat tarawih. Saat itu Gus Dur berkelakar dengan menawarkan pilihan, apakah salat tarawih akan dilaksanakan dengan mengikuti NU lama (23 rakaat bersama witir) atau NU baru (diskon 60%, alias 11 rakaat).
Dan akhirnya Pak Soeharto memilih 11 rakaat karena pinggangnya yangs sedang sakit. Kisah ini saya sampaikan ke anakku agar ia dapat melihat banyaknya pendapat yang dapat kita pilih dengan menyesuaikan kondisi yang sedang ia alami. Agar dalam beragama, ia tidak merasa terbelenggu dan terpaksa, melainkan dengan kesadaran sepenuh diri dan kondisi jiwa yang bahagia.
Kemudian, saya kembali berbincang dengan anakku. Saya mengaitkan khilafiyah jumlah rakaat salat tarawih ini dengan pengalaman biologis perempuan yang pernah saya alami. Saya mengatakan bahwa almarhum Ayah saya juga pernah memberikan tawaran saat hanya mengimami anak-anak dan istrinya sebagaimana yang dilakukan Gus Dur.
Ayah saya saat itu melihat kondisi saya yang sedang menyusui anakku ini, dan saya kerepotan karena anakku belum bisa saya tinggal salat dalam waktu yang cukup lama. Kendati Ayah tetap mengimami 22 rakaat, namun ia mempersilahkan saya apabila ingin mencukupkan 8 rakaat saja.
Pun demikian saat saya hamil besar anak kedua yang juga sudah mendekati HPL saat Ramadan. Saya tetap ingin mendapat fadilah tarawih, namun tidak sanggup untuk melaksanakan 22 rakaat. Akhirnya saya tetap melaksanakan dengan hanya mengikuti jamaah sebanyak 8 rakaat saja. Suami dan keluargaku tidak satu pun yang mengatakan apa yang saya lakukan adalah sebuah kesalahan.
Hikmah Khilafiyah
Di sinilah hikmah dari pesan Guruku, Abah Anom yang berwasiat, “Ulah nyalahkeun kana pangajaran batur/Jangan menyalahkan pengajaran orang lain.” Karena, saling menyalahkan tidak memberikan kemaslahatan. Toh pernyataan yang masyhur dalam tradisi keislaman mengatakan, bahwa perbedaan di antara umat Nabi Muhamamd saw. adalah rahmat.
Dan perbedaan merupakan sebuah keharusan. Tanpa adanya perbedaan, maka tidak akan ada rukhsah (karena ada kebutuhan dan dalam kondisi yang tidak memungkinkan). Jikalau dianggap talfiq, maka yang demikian boleh-boleh saja.
Dalam merumuskan sebuah hukum, seseorang boleh mengambil beberapa pendapat dari madzhab berbeda; Demikian ini adalah penjelasan dari Syekh Azhar yang diiyakan oleh Habib Alwi Shihab; dengan catatan, asalkan sesuai dengan kemaslahatan umat dan membuat hidup tidak mendaptkan kesulitan.
Pendapat ini mengingatkan saya pada penjelasan Gus Min (allahuyarham, guru ngaji saya di Samidan, Jombang, Jawa Timur), perihal kebolehan mengambil pendapat madzhab lain, selain Syafiiyah yang diikuti mayoritas Muslim Indonesia.
Seperti pada contoh keabsahan jual-beli buah pohon yang menjadi tradisi orang Jawa (karena sama-sama telah mengetahui perkiraan buah yang dihasilkan), atau juga sahnya jual beli tanpa diucapnya sighat akad jual beli tersebut (karena sudah sama-sama mengetahui dan rida di antara kedua pihak).
Perspektif Beragam atas Isu Keagamaan
Diskusi sederhana bersama anakku ini menguatkan saya, bahwasanya memang seyogyanya pembelajaran itu mampu menggelitik daya pikir para peserta didik. Hingga kemudian membuka ruang diskusi berkelanjutan di ruang sosial yang ia miliki.
Ruang diskusi ini dapat memberikan perspektif baru pada semuanya, sehingga kita tidak mudah kaget terhadap perbedaan yang ada, dan tidak pula mudah menghakimi liyan yang berbeda dengan pilihan kita. Diskusi bersama siapapun, bebarengan kita bentuk agar tidak saja bersifat analisa secara tekstual, tetapi juga kontekstual, khususnya bagi kaum perempuan.
Diskusi yang demikian akan membawa kita pada wawasan pandangan keagamaan yang tidak kaku. Di mana pada suatu saat akan bermanfaat bagi kita, khususnya para perempuan dalam menikmati pengalaman biologisnya. Ini adalah bagian dari cara Tuhan mencintai semua hamba-Nya.
Memberikan perspektif yang beragam atas isu keagamaan tertentu (hal-hal furu’iyyah) merupakan bagian dari taqarrub bain al-madzahib, yakni sebuah usaha untuk merekonsiliasi, mempertemukan berbagai pendapat untuk menghindari fanatisme.
Ringkasnya, di balik khilafiyah jumlah rakaat tarawih ini, terdapat makna lain yang sangat berarti bagi kaum perempuan dalam hal beribadah. Juga secara tidak langsung, khilafiyah ini dapat menyanggah penafsiran tekstual perihal perempuan lemah agama dan akal. Wallahu ‘alam. []