Mubadalah.id – Apakah relasi yang adil dan setara hanya bisa terbangun saat kita dewasa? Tentu tidak. Justru, relasi yang sehat kita mulai sejak dini. Saat anak belajar mencintai dan menghargai bukan karena kewajiban, tapi karena terbiasa menyaksikannya. Di rumah, di sekolah, dan lingkungan yang mengajarkan bahwa saling menyayangi, saling menghormati, dan saling menjaga bukan hanya anjuran, tetapi kebutuhan dasar manusia.
Inilah yang ditawarkan oleh pendekatan Mubadalah: menumbuhkan relasi kesalingan, yaitu relasi yang saling, dari kecil. Bukan “laki-laki harus kuat dan perempuan harus lembut”, tetapi “semua manusia perlu berempati, bersikap adil, dan menyampaikan perasaan dengan aman”.
Sayangnya, kita masih dikelilingi oleh narasi-narasi relasi yang timpang. Kalimat seperti:
- “Jangan cengeng, kamu laki-laki!”
- “Kalau ditolak, kejar terus dong!”
- “Perempuan harus sabar, walau disakiti.”
Semua itu adalah warisan relasi yang timpang dan membekas dalam cara berpikir dan bertindak generasi muda kita. Tak heran, banyak anak laki-laki tumbuh dengan konsep dominasi. Sementara anak perempuan tumbuh dengan rasa takut mengekspresikan diri.
Tawaran Mubadalah
Mubadalah datang untuk menawarkan jalan baru dalam hal relasi. Jalan yang menumbuhkan nilai-nilai kesalingan, yang sebaiknya, kita tanamkan sejak dini. Bukan hanya dalam relasi dalam keluarga (baik suami-istri, antar orang tua-anak, dan antar saudara), tapi juga antara guru dan murid, teman sebaya, dan bahkan antar tetangga.
Dalam perspektif Islam, relasi itu adalah amanah. Al-mu’min mir’āt al-mu’min — orang beriman adalah cermin bagi sesamanya. Relasi yang Mubadalah terbangun atas prinsip:
- Saling mencintai, bukan menuntut cinta sepihak.
- Saling menghargai, bukan memaksa hormat.
- Saling mendengarkan, bukan hanya menyuruh diam.
Prinsip-prinsip ini bukan ide baru, tapi inti dari akhlak karimah, rahmah dan mawaddah dalam ajaran Islam. Maka, tidak cukup hanya menghafal ayat-ayat tentang keluarga sakinah, jika perilaku kita masih menormalisasi relasi kuasa yang menekan satu pihak dalam relasi keluarga, dan termasuk relasi sosial antar anggota masyarakat.
Kita butuh mengganti narasi-narasi lama. Narasi seperti:
“Perempuan itu harus diam kalau suami marah.”, sebaiknya kita ganti dengan: “Setiap orang berhak didengar, termasuk istri.”
Atau narasi seperti: “Jadi laki-laki itu harus bisa menundukkan.” Seharusnya diganti dengan: “Jadi laki-laki itu harus bisa membangun kesetaraan, dan membiasakan kesepakatan.”
Landasan Teologis
Dalam perspektif Islam, prinsip kesalingan atau Mubadalah bukanlah nilai baru, melainkan akhlak kenabian yang telah Rasulullah Saw contohkan. Beliau hidup dalam relasi yang adil dan saling menghargai bersama para istri, sahabat, dan bahkan musuh sekalipun.
Dalam hadis sahih disebutkan: “Khairukum khairukum li ahlihi, wa ana khairukum li ahli” — “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah yang paling baik kepada keluargaku.” (Sunan Turmudzi, no. 4269).
Ini menunjukkan bahwa kebajikan bukanlah dominasi, tetapi kelembutan dan kesalingan. Rasul tidak hanya menjadi pemimpin, tapi juga sahabat yang hadir secara emosional dalam rumah tangganya.
Kesalingan sebagai nilai teologis juga ditegaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an, khususnya dalam QS. At-Taubah ayat 71: “Wa al-mu’minūna wa al-mu’minātu ba‘ḍuhum awliyā’u ba‘ḍ; ya’murūna bi al-ma‘rūfi wa yanhawna ‘ani al-munkar…” — “Laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain; mereka saling menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran…”
Ayat ini menunjukkan bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan, dalam keimanan, adalah relasi kesalingan. Tidak ada hierarki dominasi. Yang ada adalah kerja sama, saling menguatkan, dan saling bertanggung jawab untuk menciptakan kehidupan yang ma‘rūf. Dari sinilah prinsip Mubadalah menemukan pijakan teologisnya yang kokoh: bahwa relasi manusia, apalagi suami dan istri, harus kita bangun di atas asas kesalingan—bukan subordinasi.
Menegaskan Prinsip Kesalingan
Ayat ini, sebagaimana penjelasan berbagai ulama klasik dan kontemporer, terutama pada frasa “ba’duhum awliyah ba’d”, menegaskan prinsip kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Seperti al-Thabari (w. 310 H) dalam Jāmi‘ al-Bayān, Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H) dalam Mafātīḥ al-Ghayb, dan terutama M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, telah menegaskan prinsip relasi partisipatif antara laki-laki dan perempuan dalam kerja-kerja ritual dan sosial.
Lebih jauh lagi, dalam al-Qur’an, Allah Swt. berfirman: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu mawaddah dan rahmah” (QS. Ar-Rūm: 21).
Ayat ini tidak menyebut dominasi satu pihak atas pihak lain. Justru, ia menekankan ketenteraman, cinta kasih, dan rahmat sebagai fondasi relasi. Itulah ruh dari Mubadalah. Ketika relasi terbangun atas asas-asas ini, maka ia akan menjadi jalan menuju keberkahan dan kemuliaan, bukan sekadar status sosial. Menumbuhkan relasi Mubadalah sejak dini, berarti menanamkan nilai-nilai ilahiah dalam kehidupan keseharian anak-anak dan generasi muda kita.
Ajakan Da’wah Bil Hal
Anak-anak adalah amanah sekaligus anugerah yang membutuhkan bukan hanya kasih sayang, tetapi juga kesadaran dan komitmen. Dalam Islam, anak tidak hanya dilihat sebagai tanggung jawab biologis, tetapi juga sebagai makhluk yang utuh—berakal, berperasaan, dan berpotensi.
Karena itu, pendidikan anak bukan semata proses mentransfer pengetahuan atau mendisiplinkan perilaku, tetapi menumbuhkan jiwa kemanusiaan yang saling menghormati, saling mendengarkan, dan saling menguatkan sejak dini.
Dalam perspektif mubādalah, anak tidak kita posisikan sebagai objek pengasuhan yang pasif dan inferior, tetapi sebagai subjek yang memiliki kehormatan, suara, dan martabat. Maka, membesarkan anak dalam relasi mubādalah berarti membangun ruang pengasuhan yang saling belajar, saling mendengar, dan saling bertumbuh, baik antara orang tua dan anak, maupun antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Ini bukan soal membalik kekuasaan, tetapi membangun kesalingan: di mana setiap anggota keluarga terakui sebagai mitra dalam membangun peradaban rumah tangga.
الطِّفْلُ شَرِيكٌ فِي التَّرْبِيَةِ، لَا مَحَلٌّ لِلتَّلْقِينِ وَالإِخْضَاعِ
“Anak adalah mitra dalam pendidikan, bukan objek doktrinasi dan penundukan.”
Pendidikan mubādalah tidak akan membiarkan kalimat seperti “anak laki-laki harus kuat dan tidak menangis” atau “anak perempuan harus nurut dan tidak boleh protes” hidup di ruang keluarga. Kalimat-kalimat ini bukan hanya membatasi potensi, tetapi mewariskan luka struktural antar generasi. Justru, sejak kecil anak harus kita kenalkan pada nilai keadilan, kesetaraan, tanggung jawab bersama, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Mendidik Anak dengan Akhlak Mubadalah
Mengajarkan anak saling tolong menolong dalam pekerjaan rumah, saling memahami perasaan masing-masing, dan saling mendoakan sebelum tidur, adalah bentuk nyata relasi mubādalah yang bisa kita mulai sejak usia dini. Karena di dalam rumah tangga yang menghidupkan akhlak kesalingan, anak-anak akan tumbuh bukan hanya sebagai manusia cerdas, tetapi juga manusia yang utuh secara spiritual, emosional, dan sosial.
Jika keluarga adalah sekolah pertama, maka relasi orang tua dan anak adalah kurikulum paling kuat dalam membentuk karakter bangsa. Dan jika kita ingin generasi masa depan yang adil, maka relasi kesalingan harus kita mulai bukan saat anak sudah dewasa, tapi sejak dalam buaian, bahkan sejak dalam doa.
مَنْ أَرَادَ أُمَّةً عَادِلَةً، فَلْيَبْنِ بَيْتًا عَلَى المُبَادَلَةِ
“Siapa yang ingin umat yang adil, mulailah dari rumah yang dibangun atas kesalingan.”
Dengan demikian, mendidik anak dengan akhlak Mubadalah bukan pilihan, tetapi keharusan, karena dari mereka, masa depan akan terbentuk. Karena lewat mereka, kita bisa menciptakan peradaban yang adil, ramah, dan saling menguatkan.
Mari mulai dari rumah. Dari kelas. Dari komunitas. Tumbuhkan relasi yang saling menyuburkan, bukan saling menaklukkan. Karena hanya dengan kesalingan, kita bisa benar-benar hidup tenang. []