Mubadalah.id – Kereta Joglosemarkerto berhenti di Stasiun Gombong pukul sembilan lewat beberapa menit. Kuambil ranselku yang nangkring di bagasi atas. Kugendong ransel itu sembari menenteng satu paper bag berisi bakpia pesanan ibuku. ”Jangan lupa belikan bakpia isi kacang ijo yang merek Kenari,” pesannya. Di tengah gempuran berbagai penganan kekinian, bakpia original masih punya tempat di hati sebagian orang.
Di pintu keluar stasiun, sudah menunggu dua orang laki-laki berusia dua puluhan awal. Mereka memakai baju koko dan sarung batik, lengkap dengan peci hitam. Mereka tersenyum sambil menunduk menyambutku.
”Mangga, Ning Zizah. Mobilnya sudah siap. Kami bawakan barangnya,” kata salah satu di antara mereka.
”Panggil ’mbak’ saja,” sahutku. ”Bawaanku tidak banyak. Aku bisa bawa sendiri.”
”Tapi, Ning….” kata-katanya terhenti ketika aku langsung berjalan menuju parkiran.
Mobil Avanza hitam itu menyusuri jalan raya, kemudian berbelok ke jalan menuju pedesaan. Melewati jalan di antara persawahan dan bukit-bukit kecil. Hingga akhirnya masuk ke area kompleks pondok pesantren. Di depan sebuah rumah berlantai dua yang ukurannya cukup besar itu kami berhenti.
Di depan pintu, sudah ada Ibu yang menyambut kami. Perempuan usia enam puluh tahun tampak masih cantik dengan gamis batiknya. Segera kucium telapak tangan dan kupeluk tubuhnya.
Obrolan Meja Makan
”Jogja dan Gombong itu dekat lho,” kata Ibu sambil mengambil sayur.
Sebuah kalimat yang sederhana, tapi cukup untuk menghantamku pada kenyataan bahwa aku sangat jarang pulang. Kesibukanku dan keenggananku untuk memperdebatkan pilihan-pilihan hidupku dengan orang tuaku adalah dua hal utama yang membuat rumah terasa tak menarik untuk aku singgahi.
Kulirik jam di ruang makan, sudah hampir pukul 20.00. ”Abah ke mana kok jam segini belum pulang?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Sebentar lagi juga pulang. Ada walimah di Kutoarjo. Kiai Mahmud mantu anaknya yang bungsu, Gus Fattah yang dulu dijodohkan denganmu, tapi tidak jadi itu.”
”Oh,” kataku pendek. Sekali lagi ibuku mengingatkanku pada laki-laki bertampang manis, memasang citra religius, tapi perilakunya ternyata tak mencerminkan bahwa ia berilmu. Lima tahun lalu, ketika aku sedang melakukan wawancara dengan seorang PSK untuk penelitian skripsiku, kulihat dia check in di sebuah hotel. Dengan merangkul mesra seorang perempuan yang tentu bukan mahramnya.
Aku meradang. Kupikir dia lelaki baik yang punya potensi menjadi teman hidupku, imamku, dan ayah untuk anak-anak. Dia tertegun lama melihatku, seolah dunia berhenti. Kemudian dia tersadar ketika tamparanku mendarat di pipinya.
”Zizah….” katanya sambil mengejarku. ”Zizah, tolong jangan ceritakan ini pada orang tua kita. Aku takut kalau reputasi mereka….”
”Reputasi?” tanyaku. ”Masih peduli kamu dengan reputasi orang tuamu? Sementara waktu kamu melakukannya, kamu ingat apa? Tidak ingat bahwa itu dosa besar dan berisiko? Tidak takut menularkan penyakit kalau kita menikah?”
Abah dan Sikap Diamnya
Saat itu juga aku memutuskan bahwa perjodohan itu batal. Ketika aku menyampaikan masalah itu kepada orang tuaku dan orang tuanya, mereka cukup tercengang mendengar cerita itu, tetapi masih berupaya membujukku agar memaafkan Fattah, menutupinya, dan tetap melanjutkan perjodohan.
Kejadian itu menjadi awal buruknya hubunganku dengan Abah. Alih-alih membelaku, Abah justru diam dan membiarkan spekulasi di dalam tembok pesantren hingga ke kalangan koleganya bergulir dengan liar. Tak ada jalan tengah bagi Abah dan Azziah ”Bagaimanapun Gus Fattah itu anaknya Kiai Mahmud, kiai yang Abah segani. Anak polah, bapa kepradah. Seperti apa nanti pandangan orang terhadap Kiai Mahmud dan pondoknya?”
”Assalamu’alaikum,” kata Abah sambil membuka pintu. ”Wa’alaikumsalam,” jawab Ibu sambil menyambutnya dan menerima satu tas kresek oleh-oleh. ”Tadi mampir pondoknya Kiai Sufyan. Dibawain peyek produksi santri.”
Abah melirikku sesaat, barangkali berharap aku akan mencium tangannya. Aku mengacuhkannya sambil terus mengunyah makanan.
”Mau makan, Bah? Ada pepes ikan mas dan sambel kecombrang kesukaan Abah,” kata Ibu. Abah menggeleng. ”Sudah kenyang, Bu. Minum teh saja.”
”Ehem….” Abah berdehem. Berusaha mencairkan suasana antara kami. ”Di rumah berapa hari?”
”Tiga,” jawabku singkat.
Abah meneguk sedikit tehnya dari gelas keramik, kemudian menutupnya kembali.
Pilihan yang Tak Sejalan Abah dan Azizah
”Abah dengar, kamu kerja di lembaga sosial yang banyak membantu perempuan untuk cerai dari suaminya.”
”Bukan membantu perempuan untuk cerai, Bah. Tapi membantu perempuan yang mengalami KDRT, pelecehan seksual, dan terpinggirkan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Menurut Abah, apakah membebaskan perempuan dari pasangan yang toksik itu bukanlah kebaikan? Sama halnya kita menyelamatkan satu nyawa, Bah,” kataku.
”Tapi kan berbuat kebaikan tidak harus dengan mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Agak ironis, ketika Abah sering kali memberikan ceramah nasihat perkawinan, tapi anaknya justru menyuruh orang-orang untuk bercerai. Carilah pekerjaan yang lebih baik, bukan yang seperti ini.”
Aku membanting sendok, kemudian berdiri. ”Adakah yang lebih penting bagi Abah selain reputasi?” Kudorong kursi makan dari kayu itu, kemudian beranjak ke kamarku.
”Kamu dan Abah itu sama kerasnya,” kata Ibu sambil membelai rambutku. ”Mungkin kepergian Huda ke Amerika belum cukup untuk memberinya kesadaran bahwa anak-anaknya sudah semakin jauh darinya.
”Mas Huda pernah menghubungi Ibu?”
”Pernah, tapi diam-diam, tanpa sepengetahuan Abah.”
”Ibu ada di pihak Mas Huda atau Abah?”
Ibu tersenyum, ”Ibu ada di tengah-tengah, menjadi jembatan antara kalian dan Abah.”
Hanifah, Teman Kecilku
”Bu, aku ke rumah Ipah ya,” pamitku kepada Ibu.
Ibu berhenti sejenak dari kegiatannya tadarus di sofa ruang tamu. ”Ipah sekarang tinggal di rumah suaminya. Agak jauh rumahnya. Diantar sopir saja ya.”
Aku menggeleng. ”Tidak usah, Bu. Aku terbiasa pergi sendiri. Pinjam motor ya, Bu.”
”Pakai saja. Kok pakai pinjam?”
”Kan itu punya Abah….”
Berbekal alamat yang diberikan oleh sepupuku yang bertetangga dengan orang tua Hanifah, aku menempuh perjalanan sekitar 30 menit dengan motor. Terbayang wajah Hanifah, gadis manis yang jadi kawanku semasa kecil. Keluarganya bukanlah keluarga santri, tetapi aku kerap mengajaknya bermain ke pondok.
Usai lulus SD, orang tuaku mengirimku mondok di Jawa Timur sehingga aku dan Hanifah jarang berjumpa. Hanya sesekali jika kebetulan aku pulang. Lama-kelamaan, komunikasi kami semakin sulit sampai satu saat aku mendengar bahwa Hanifah dinikahkan dengan seseorang yang namanya pun aku tak pernah dengar. Pernikahan itu terjadi di usianya yang baru 16 tahun.
Sampai di sebuah desa, aku bertanya kepada warga sekitar tentang lokasi rumah Hanifah. ”Masih lurus, Mbak. Nanti di perempatan belok kiri. Sari situ, lurus sampai rumah ketiga yang ada pohon kelapanya. Nah, di situ rumahnya,” kata seorang ibu.
Mengikuti arahan itu, motorku terhenti di depan sebuah rumah yang sederhana. Rumah itu tampak tak terlalu terurus. Rumput-rumputnya tinggi, ada sampah daun berserakan, dan di terasnya banyak kotoran ayam.
Perjumpaan Kawan Lama
”Assalamu’alaikum,” kataku sambil mengucap salam dan mengetuk pintu.
Tidak lama kemudian, seorang perempuan dengan kerudung bergo abu-abu membuka pintu sambil membalas salamku dengan agak terkejut. ”Wa’alaikum salam…. Masyaallaaaaah…Ning Zizah!”
Kami berdua berpelukan, layaknya dua sahabat yang melepas kerinduan setelah bertahun-tahun tidak berjumpa. Air mata haru pun menetes dari ujung mata kami. Acara lepas kangen itu harus berhenti ketika terdengar suara tangis bayi. ”Oeeeek…oeeeek….”
”Maaf, Ning. Anakku menangis. Masuk dulu. Maaf, rumahnya berantakan.”
Setelah melepas sepatuku, aku masuk ke rumah Hanifah. Di ruang tamu yang juga difungsikan untuk menonton televisi itu tergelar kasur. Seorang bayi tengah menangis menantikan uluran tangan dari ibunya.
”Ini anakku, Ning. Namanya Sofia. Kakaknya yang pertama SD kelas 4, yang kedua TK.”
Trenyuh sekali aku melihat Hanifah yang cekatan meraih anaknya, kemudian menenangkannya dengan memberinya ASI. Hanifah yang dulu jadi kembang desa, kini berubah menjadi kurus dan terlihat lebih tua dari usianya yang belum genap 30 tahun.
”Pah…jangan panggil ’ning’. Aku kan temanmu.”
”Tapi kan orang-orang….”
”Ini kan bukan di pondok,” kataku sambil mengusap kepala si bayi.
Beban yang Bertumpuk
”Zizah, kata orang-orang kamu sering mengurus perceraian ya?”
Dahiku mengernyit. Apa pasalnya Hanifah langsung bertanya seperti itu? Sungguh aku takut membayangkan terjadi sesuatu pada pernikahan Hanifah.
”Lebih tepatnya mendampingi perempuan yang mengalami ketidakadilan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Kenapa memangnya?”
Tak ada sepatah kata terucap dari mulut Hanifah, tetapi, kedua matanya berbicara. Ada luka yang tersirat dalam tatapannya. Tidak lama kemudian, Hanifah menangis terisak-isak sambil memeluk bayinya.
”Ipah…ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba menangis?”
”Rasanya aku sudah tidak kuat, Zizah. Saat itu, aku terima saja dijodohkan dengan suamiku karena katanya dia laki-laki yang baik dan rajin bekerja. Waktu melahirkan yang pertama, aku harus caesar karena panggulku sempit. Suamiku dan keluarganya marah-marah karena mereka harus keluar banyak uang, padahal suamiku belum mapan.”
Aku menggenggam tangan Hanifah yang mungil itu. Mencoba menguatkannya ketika menceritakan nasibnya.
”Aku bingung Zizah. Di tengah banyaknya kebutuhan dan pendapatan yang tidak menentu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana bisa aku bekerja sambil mengurus tiga anak dan rumah? Terlebih lagi….”
Hanifah menyingkap lengan dasternya yang longgar. Alangkah terkejutnya aku melihat lengannya biru lebam, seperti bekas dipukul. ”Astagfirullah, Ipah…. Sering suamimu berbuat seperti ini?”
Hanifah mengangguk. ”Iya, terutama kalau aku menegurnya untuk tidak boros. Memintanya menyimpan uang itu untuk biaya sekolah anak-anak daripada untuk beli rokok atau nongkrong tidak jelas.”
Tiada yang bisa kukatakan untuk mengekspresikan rasa simpatiku kepada Hanifah. Hanifah yang dulu bermimpi menjadi guru, telah dipatahkan mimpinya di usia muda. Bahkan, mimpi untuk menjalani rumah tangga yang tenang pun rasanya sulit diwujudkan.
”Ipah…aku tahu bahwa posisimu sangat sulit. Bertahan atau pergi, sama sulitnya dan masalah ekonomi tentunya akan jadi pertimbangan penting.” Kuberikan kartu namaku kepada Hanifah. ”Mantapkan hatimu. Apa pun keputusanmu, aku siap membantumu. Kamu bisa menghubungi aku dan kantorku ya.”
Abah Percaya….
Malam itu meja makan tetap terasa dingin meski Ibu menghidangkan sup iga buatannya hangat-hangat. Cepat-cepat Ibu menghangatkannya selepas Abah pulang dari salat Magrib berjamaah, kemudian memanggilku yang tengah asyik membaca di kamar. Seperti biasa, Ibu mengambilkan nasi, sayur, sambal, dan segala keperluan Abah.
Meskipun perang dingin dengan Abah belum berakhir, Ibu tetap memintaku hadir di ruang makan. Kata Ibu, ”Akan lebih menyenangkan membicarakan masalah ketika perut kenyang dan kepala dingin.”
”Ada puding lumut. Abah mau?” tanya Ibu. “Iya, boleh.” ”Zizah mau juga?” Aku menggeleng.
”Ehem….” Abah berdehem. Jika Abah sudah melakukannya, artinya akan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. ”Balik ke Jogja kapan?”
”Besok,” jawabku singkat.
”Bisa ditunda dulu?” tanya Abah.
Aku mengernyitkan dahi, ”Untuk?”
”Beberapa waktu lalu, Abah diskusi dengan ustaz dan ustazah muda. Kata mereka, akhir-akhir ini banyak sekali kasus pelecehan seksual di pesantren. Sepertinya penting membekali santri dengan pengetahuan dasar untuk melindungi diri.”
”Hubungannya dengan Zizah?”
”Kamu kan sering berkegiatan di bidang ini. Mungkin bisa memberikan pelatihan untuk para santri.”
”Memangnya Abah percaya sama Zizah?”
”Lho, kapan Abah meragukanmu?”
Perlahan air mataku menetes, ”Tapi semua keputusan Zizah selalu salah di mata Abah.”
“Tidak pernah Abah berkata bahwa keputusanmu salah, hanya saja berbeda dari Abah. Kalau kamu yakin, ya sudah.”
Sambil menahan gemuruh di dadaku, aku mendekat ke arah Abah, kemudian menangis di pangkuannya. Ini jalan tengah untuk Abah dan Azizah. Meski agak canggung, momen ini telah kutunggu bertahun-tahun. Momen ketika kerasnya hati kami berdua luluh karena kuatnya kasih sayang antara anak dan orang tua. Dan aku yakin, Ibu ada di baliknya. []