Jumat, 8 Agustus 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

    PIT SUPI

    Mengglobal: SUPI ISIF Jalani PIT di Malaysia dan Singapura

    Ma'had Aly Kebon Jambu

    S.Fu: Gelar Baru, Tanggung Jawab Baru Bagi Lulusan Ma’had Aly Kebon Jambu

    Wisuda Ma'had Aly Kebon Jambu

    Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu Soroti Fiqh al-Usrah dan SPS sebagai Distingsi Wisuda ke-5

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Tidak Good Looking

    Merana Tidak Diperlakukan Baik Karena Tidak Good Looking itu Pilihan, Tapi Menjadi Mandiri Itu Sebuah Keharusan

    Bendera One Piece

    Antara Gus Dur, Bendera One Piece, dan Bintang Kejora

    Tidak Menikah

    Tidak Menikah Itu Tidak Apa-apa, Asal Hidupmu Tetap Bermakna

    Mencintai Indonesia

    Jangan Letih Mencintai Indonesia

    Dunia untuk Difabel

    Bagaimana Jika Kita Merancang Dunia untuk Difabel?

    Cantik

    “Cantik”, Tak Lebih Dari Sekadar Konstruksi Ontologis Sempit

    One Piece

    One Piece dan Gerakan Sosial: Membaca Pesan Kebebasan dan Keadilan melalui Kaca Mata Islam

    Fitrah Anak

    Cokelat, Kopi dan Secuil Catatan Pengasuhan: Refleksi tentang Fitrah Anak

    Hubungan Seks

    Memahami Hubungan Seks dalam Pernikahan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Hak Anak untuk Hidup

    Hak Anak untuk Hidup

    ASI

    Hak Anak Memperoleh ASI

    Pendidikan Hak Anak

    Hak Anak untuk Mendapatkan Pendidikan

    Jaminan Sosial

    Hak Anak untuk Mendapatkan Jaminan Sosial

    Ibu Berdoa

    Ingin Anak Saleh dan Salehah? Ayah dan Ibu Berdoa Sejak dalam Kandungan

    persaudaraan

    Misi Islam Adalah Persaudaraan Antar Umat Beragama

    Tingkah Laku Sopan

    Pembiasaan Tingkah Laku Sopan Santun

    Tingkah Laku

    Pembiasaan Pada Pola Tingkah Laku Konstruktif

    Psikologis Anak

    Perjalanan Psikologis Usia Anak Menuju Dewasa

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

    PIT SUPI

    Mengglobal: SUPI ISIF Jalani PIT di Malaysia dan Singapura

    Ma'had Aly Kebon Jambu

    S.Fu: Gelar Baru, Tanggung Jawab Baru Bagi Lulusan Ma’had Aly Kebon Jambu

    Wisuda Ma'had Aly Kebon Jambu

    Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu Soroti Fiqh al-Usrah dan SPS sebagai Distingsi Wisuda ke-5

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Tidak Good Looking

    Merana Tidak Diperlakukan Baik Karena Tidak Good Looking itu Pilihan, Tapi Menjadi Mandiri Itu Sebuah Keharusan

    Bendera One Piece

    Antara Gus Dur, Bendera One Piece, dan Bintang Kejora

    Tidak Menikah

    Tidak Menikah Itu Tidak Apa-apa, Asal Hidupmu Tetap Bermakna

    Mencintai Indonesia

    Jangan Letih Mencintai Indonesia

    Dunia untuk Difabel

    Bagaimana Jika Kita Merancang Dunia untuk Difabel?

    Cantik

    “Cantik”, Tak Lebih Dari Sekadar Konstruksi Ontologis Sempit

    One Piece

    One Piece dan Gerakan Sosial: Membaca Pesan Kebebasan dan Keadilan melalui Kaca Mata Islam

    Fitrah Anak

    Cokelat, Kopi dan Secuil Catatan Pengasuhan: Refleksi tentang Fitrah Anak

    Hubungan Seks

    Memahami Hubungan Seks dalam Pernikahan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Hak Anak untuk Hidup

    Hak Anak untuk Hidup

    ASI

    Hak Anak Memperoleh ASI

    Pendidikan Hak Anak

    Hak Anak untuk Mendapatkan Pendidikan

    Jaminan Sosial

    Hak Anak untuk Mendapatkan Jaminan Sosial

    Ibu Berdoa

    Ingin Anak Saleh dan Salehah? Ayah dan Ibu Berdoa Sejak dalam Kandungan

    persaudaraan

    Misi Islam Adalah Persaudaraan Antar Umat Beragama

    Tingkah Laku Sopan

    Pembiasaan Tingkah Laku Sopan Santun

    Tingkah Laku

    Pembiasaan Pada Pola Tingkah Laku Konstruktif

    Psikologis Anak

    Perjalanan Psikologis Usia Anak Menuju Dewasa

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Negara Amnesia, Korban Masih Terjaga: Kami Menolak Lupa atas Tragedi Pemerkosaan 98

Tragedi ini bukan mitos. Ia adalah kenyataan getir yang masih hidup di tubuh perempuan. Selama masih ada satu saja dari kita yang mengingatnya, sejarah itu belum mati.

Layyinah Ch Layyinah Ch
15 Juni 2025
in Publik, Rekomendasi
0
Tragedi Pemerkosaan

Tragedi Pemerkosaan

1.7k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Marah? Mungkin kata itu terlalu naif untuk mewakili rasa geram atas upaya pembungkaman sejarah penjarahan dan kekerasan Mei 1998. Saya memang bukan orang yang fasih dalam kalkulasi politik, tapi saya cukup bisa membaca. Dan sejarah telah menulis bahwa pada Mei 1998, telah terjadi kekerasan brutal, penjarahan, dan pemerkosaan massal yang melukai tubuh-tubuh perempuan dan nurani bangsa ini.

Kalau sejarah adalah ingatan kolektif bangsa, maka negara kita sedang mengalami demensia parah. Bagaimana tidak? Tragedi pemerkosaan massal 1998 yang dulu tercatat dalam laporan-laporan resmi, dokumenter internasional, hingga duka yang tak kunjung sembuh di benak para korban, kini dilengserkan dari ruang sejarah oleh mulut seorang pejabat, sebut saja: Fadli Zon.

Bagaimana bisa sejarah kelam dan trauma bangsa yang menjarah banyak perempuan tak berdaya terlunturkan begitu saja dari catatan sejarah yang berdarah-darah oleh haram kekuasaan.

Barangkali beliau lupa, yang dulu ia lucuti kebijakannya, sekarang ia cucupi jari-jarinya. Ia halalkan segala cara demi menutupi borok kekuasaan yang dulu ia kritik, kini ia pelihara.

Sejarah Indonesia bukan hanya tertulis di buku-buku pelajaran, tapi juga di tubuh-tubuh perempuan yang terseret, dipukuli, dan diperkosa di tengah kobaran api Mei 1998. Sayangnya, tubuh-tubuh itu tak pernah kita beri hak bicara.

Mereka terus terbungkam, dan belakangan tertuduh bohong, dengan alasan basi: data tak valid. Tak terbukti secara kuat dan tak layak menjadi bagian dari narasi sejarah nasional. See! Sejarah memang milik pemenangnya, bukan kebenarannya.

Lebih dari itu, ini merupakan bentuk kekerasan simbolik baru terhadap perempuan—dengan cara menghapuskan jejak penderitaan mereka dari memori kolektif bangsa.

Jika dulu korban terpaksa diam karena malu, kini mereka diam karena terbuang dalam narasi duka sejarah.

Sejarah yang Disetrika, Luka yang Disangkal

Tentu saja kemarahan ini bukan tanpa dasar. Karena fakta-fakta yang tercatat dalam dokumen resmi negara sendiri sudah jelas, meski kini seolah ingin terhapus.

Tragedi Mei 1998 bukanlah dongeng. Komnas Perempuan, Human Rights Watch, dan berbagai lembaga nasional maupun internasional telah mendokumentasikan kekerasan seksual terhadap perempuan. Mayoritas dari etnis Tionghoa—dalam konteks kerusuhan Mei 1998.

Beberapa di antara mereka diperkosa di depan anggota keluarganya. Ada yang terlempar keluar jendela setelah terlukai. Lalu ada yang tubuhnya hangus bersama rumah yang terbakar massa. Ada juga yang selamat, tapi tak pernah sembuh jiwa dan raganya.

Yang luput terdokumentasi justru tanggung jawab negara. Tidak ada satu pun pelaku yang diadili. Tidak ada mekanisme keadilan transisional yang layak. Bahkan permintaan maaf pun tak pernah keluar dari mulut Presiden secara resmi di depan publik. Yang muncul justru: keraguan, penyangkalan, dan kini penghapusan.

Pernyataan Pak Menteri bukan hanya keliru secara historis, tapi juga ngawur secara struktural. Ia memperkuat kultur impunitas dan patriarki. Bahwa tubuh perempuan bisa menjadi korban, lalu ia hapus, dan tak ada yang bertanggung jawab.

Mari kita ulangi pelan-pelan, agar tidak ada yang salah dengar:

“Telah terjadi kekerasan seksual, termasuk tragedi pemerkosaan, dalam peristiwa kerusuhan 13–15 Mei 1998.”

(Laporan Resmi TGPF, 1998)

Laporan ini menyebutkan bahwa TGPF memverifikasi:

  • 52 korban pemerkosaan
  • 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan
  • 10 korban penganiayaan seksual
  • 9 korban pelecehan seksual

Dan itu baru yang berhasil terverifikasi. Banyak korban lain memilih bungkam—karena trauma, karena malu, karena takut. Karena tahu, di negeri ini, korban bisa lebih mudah kita salahkan daripada pelaku kita tindak.

Bahkan Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan Komnas Perempuan mencatat: sebagian besar kekerasan seksual ini terjadi secara sistematis—di rumah, di toko, di depan keluarga, dan dilakukan oleh lebih dari satu pelaku. Banyak korban tidak hanya diperkosa, tetapi juga terbakar hidup-hidup setelahnya. Sebagian tubuh ditemukan hangus bersama puing toko yang terbakar massa.

Aspek Feminis: Ketika Tubuh Perempuan Dijadikan Kolateral

Dalam perspektif feminis, apa yang terjadi dalam Tragedi Pemerkosaan 1998 adalah bentuk paling nyata dari kekerasan sistemik berbasis gender dan ras. Pemerkosaan massal saat itu tidak bisa kita lepaskan dari rasisme terhadap etnis Tionghoa, dan misogini terhadap tubuh perempuan.

Perempuan Tionghoa mereka anggap simbol kekayaan dan keasingan, dan tubuh mereka menjadi “medan peringatan” oleh massa yang termobilisasi sentimen politik.

Biar saya jelaskan: pemerkosaan saat itu bukan soal hasrat pribadi pelaku, tapi bagian dari konstruksi politik kekuasaan yang memanfaatkan tubuh perempuan sebagai kolateral—korban sampingan yang menjadi alat pelampiasan dan peringatan politik.

Ingat! Ini adalah kekerasan struktural.

Maka ketika hari ini seorang menteri secara terang-terangan menghapus tragedi itu dari narasi resmi, kita melihat bahwa kekerasan itu belum benar-benar berhenti. Ia hanya berubah bentuk: dari serangan fisik menjadi penghapusan naratif. Dari perkosaan tubuh menjadi perkosaan ingatan.

Dan pembiaran menjadikannya pelaku kedua.

Duka yang Terus Dilipat: Kita Ingat, Meski Negara Berupaya Tidak

Naiknya pelanggar HAM ke tampuk kekuasaan saja sudah cukup membuktikan bahwa demokrasi di negeri ini tak hanya mudah diretas, tapi juga gampang terlupakan. Tapi penghapusan tragedi pemerkosaan 1998 dari ingatan resmi negara—itu bukan lagi sekadar dosa struktural.

Ini adalah kebengisan yang direncanakan.

Sebuah pengkhianatan yang tidak lahir dari ketidaktahuan, tapi dari keputusan sadar untuk menyangkal penderitaan perempuan. Untuk menghapus tubuh-tubuh yang diperkosa, dibakar, dan terbungkam. Untuk menyamakan luka dengan rumor, dan menjadikan trauma sebagai gangguan bagi citra negara.

Dan ketika seorang menteri, atas nama budaya, menyebut tragedi ini tidak pernah terjadi—kita tidak sedang menyaksikan penulisan ulang sejarah. Kita sedang menyaksikan penghancuran sistematis terhadap kebenaran.

Ini bukan lagi tentang siapa yang menulis sejarah. Ini soal siapa yang berani menuliskannya dengan darah korban sebagai tinta, dan keberpihakan sebagai pena.

Kami ingat, meski negara memilih lupa. Kami berdiri, meski negara terus duduk dalam diam. Karena bagi kami, menyebut kekerasan adalah cara merawat kemanusiaan. Dan melawan lupa adalah satu-satunya cara bertahan di tengah bangsa yang terlalu pandai memaafkan pelaku dan terlalu tega menyalahkan korban.

Kita mungkin tak bisa membuat negara mendengarkan. Tapi kita bisa terus berbicara. Kita bisa menulis, mencatat, dan menyebarkan cerita. Karena sejarah tidak hanya milik arsip negara, tapi juga milik korban dan yang memilih tak melupakan.

Tragedi ini bukan mitos. Ia adalah kenyataan getir yang masih hidup di tubuh perempuan. Dan selama masih ada satu saja dari kita yang mengingatnya, sejarah itu belum mati. []

Tags: Fadli ZonMei 1998Penulisan Ulang Sejarah IndonesiaSejarah IndonesiaTragedi Pemerkosaan
Layyinah Ch

Layyinah Ch

Layyinah CH. seorang ibu, pengajar, yang terkadang menulis sebagai refleksi diri dengan latar belakang pendidikan pesantren dan kajian Islam. Fokus tulisan pada isu keadilan gender, spiritualitas, pendidikan Islam, serta dinamika keluarga dan peran perempuan dalam ruang-ruang keagamaan.

Terkait Posts

Melawan Lupa
Publik

Perempuan Melawan Lupa terhadap Upaya Penghapusan Sejarah

29 Juli 2025
Sejarah Indonesia
Publik

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Revisi Sejarah
Publik

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

19 Juni 2025
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Publik

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

18 Juni 2025
Tragedi Perkosaan Massal
Publik

Tragedi Perkosaan Massal Mei 1998 itu Nyata !!!

16 Juni 2025
Sejarah Perempuan
Publik

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Peminggiran Sejarah Perempuan

16 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sejarah Perempuan Madura

    Membicarakan Sosok Rato Ebu dalam Sejarah Perempuan Madura

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Cantik”, Tak Lebih Dari Sekadar Konstruksi Ontologis Sempit

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Menikah Itu Tidak Apa-apa, Asal Hidupmu Tetap Bermakna

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Letih Mencintai Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hak Anak untuk Mendapatkan Jaminan Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Merana Tidak Diperlakukan Baik Karena Tidak Good Looking itu Pilihan, Tapi Menjadi Mandiri Itu Sebuah Keharusan
  • Hak Anak untuk Hidup
  • Antara Gus Dur, Bendera One Piece, dan Bintang Kejora
  • Hak Anak Memperoleh ASI
  • Tidak Menikah Itu Tidak Apa-apa, Asal Hidupmu Tetap Bermakna

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID