Mubadalah.id – Drama Korea tidak pernah kehilangan bahan untuk bercerita dalam setiap temanya. Salah satunya berjudul Tastefully Yours. Berkisah tentang rasa rindu kasih sayang keluarga yang susah terungkapkan. Rasa kerinduan itu terpancar dari seorang yang mencicipi masakan dengan rasa mirip hidangan buatan keluarganya.
Ibunya yang pandai memasak, serta kenangan rasa masakan nenek, membuat kisah ini relate dengan kehidupan kita, bahwa dari masakan kita menjadi kangen pada keluarga. Terutama anggota keluarga yang sudah tiada.
Tastefully Yours adalah drama Korea bergenre komedi romantis. Serial ini terdiri dari 10 episode dan menampilkan Kang Ha-neul sebagai Han Beom-woo, seorang pewaris konglomerat makanan, dan Go Min-si sebagai Mo Yeon-joo, seorang koki berbakat yang menjalankan restoran kecil di Jeonju.
Kisah mereka berfokus pada persaingan dan kolaborasi dalam dunia kuliner yang akhirnya berkembang menjadi hubungan romantis. Han Beom-woo adalah direktur di Hansang, perusahaan makanan terbesar di Korea, yang berambisi mendapatkan tiga bintang dari panduan kuliner fiktif “Diamant Guide”.
Dalam usahanya, ia bertemu dengan Mo Yeon-joo, koki berdedikasi yang menolak untuk menjual resepnya demi keuntungan korporat. Pertemuan ini memicu konflik dan ketertarikan yang membawa mereka bekerja sama di restoran kecil di Jeonju, di mana mereka belajar tentang cinta, kejujuran, dan arti sebenarnya dari makanan yang dibuat dengan hati.
Stereotip dan Konstruksi Sosial tentang Memasak
Cara pandang tradisional pada zaman lampau menganggap memasak adalah pekerjaan domestik yang membuat perempuan terkekang di dalam rumah. Padahal memasak adalah basic life skill yang seharusnya dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan. Sebuah keterampilan untuk bertahan hidup. Ketrampilan memasak lebih penting daripada aktivitas domestik lainnya seperti menyapu, menyetrika dan mencuci pakaian.
Tradisi di Indonesia, mayoritas menganggap bahwa laki-laki yang berada di dapur dianggap turun martabatnya, karena hal tersebut adalah pekerjaan seorang istri. Sebaliknya istri yang tidak bisa memasak dianggap tidak layak mendapat sebutan “istri yang baik”, hanya karena skill memasak tidak ia kuasai.
Nah, mari kita baca ulang konstruksi sosial ini. Memasak adalah suatu keterampilan yang harus kita pelajari sejak anak di usia remaja, seperti keahlian membaca dan menulis. Sebuah keterampilan yang seharusnya setiap manusia mengusainya, karena urusan perut adalah kebutuhan dasar manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Perubahan Norma dan Evolusi Peran di Masa Kini
Generasi sekarang makin menyadari bahwa perempuan punya hak lebih dari sekadar “masak‑macak‑manak” (3M), dan pentingnya peran laki-laki dalam tugas domestik, termasuk memasak. Evolusi peran memasak bisa kita telusuri ke pembagian kerja berdasarkan gender dan biologi manusia purba dahulu kala. Di mana perempuan mengumpulkan atau memasak dan pria berburu.
Konsep “separate spheres” mendukung pemisahan publik dan domestik. Mempertegas peran gender berdasarkan wilayah kegiatan. Jika keterampilan memasak pada zaman nenek moyang kita memang ribet. Karena dahulu memasak di tungku api dengan bahan bakar kayu, atau memakai kompor minyak tanah.
Sedangkan sekarang memasak memakai kompor gas, sangat jauh lebih mudah. Memasak nasi juga memakai magic com yang memakai teknologi listrik. Tidak seperti dulu memakai dandang dengan dua kali proses, ngaru dan adang dalam istilah Jawa.
Era sekarang, memasak menjadi aktivitas yang menyenangkan layaknya meja belajar saat kita membaca buku. Menjadi ruang interaksi anak dan orang tua seperti konten di Ueno Family, kelucuan Ritsuki dan Natsuki yang sering membantu memasak orang tuanya di dapur.
Resep masakan juga bisa kita langsung lihat melalui aplikasi seperti Cookpad, atau Instagram. Aneka masakan nusantara tersaji melalui foto dan tulisan resep yang mudah untuk kita praktikkan.
Memasak sebagai Pekerjaan Perempuan vs Profesional Maskulin
Dalam skema sosial tradisional, memasak domestik kita pandang sebagai tugas perempuan. Anak perempuan sejak kecil diajarkan memasak di samping ibu, disebut dengan istilah mother’s side schema. Hal tersebut memperkuat atribusi gender, dikotomi peran perempuan di ruang domestik.
Namun di ranah profesional, memasak oleh laki-laki seperti chef, sering kita anggap prestise dan maskulin. mulai di resto sampai kapal pesiar. Ada dikotomi: “memasak sebagai pekerjaan rumah sama halnya sikap feminin, adapun memasak secara profesional adalah sikap maskulin.
Stereotip gender apabila laki-laki memasak di dapur maka dianggap kurang maskulin. Sebaliknya perempuan dianggap wajar dan normal memasak di dapur. Jika tidak mampu memasak maka kurang feminin.
Studi di Indonesia menunjukkan masyarakat masih menganggap memasak tugas perempuan dan pria yang memasak dianggap kurang maskulin. Iklan lokal seperti kampanye Kecap ABC. Kalimat “Suami Sejati Mau Masak” mencoba membalik stereotip ini, menunjukkan bahwa suami yang memasak adalah figur ideal dan mencerminkan kesetaraan gender di dapur.
Menurut gender schema theory, individu menginternalisasi peran berdasarkan apa yang teramati di lingkungan. Misalnya, anak yang sering melihat ibu memasak, akhirnya menganggap bahwa memasak adalah tugas makhluk berjenis kelamin perempuan saja.
Conversi Dapur sebagai Ruang Ekspresi
Memasak sebagai pilihan, bukan kewajiban. Memasak harus kita lihat sebagai opsi personal, bukan tugas wajib khusus untuk perempuan. Perempuan memasak bukan karena tertekan, melainkan atas pilihan dan kenikmatan pribadi. Yang terpenting adalah kebebasan untuk memilih: memasak boleh, tapi tidak harus, tanpa takut dianggap tidak “feminin” atau buruk secara moral .
Mengajari anak memotong bahan makanan, adalah bentuk dari pendidikan sejak dini dan kampanye sosial. Mengajarkan memasak dan tugas rumah tangga kepada anak laki-laki dan perempuan, sama pentingnya untuk menumbuhkan norma kesetaraan sejak awal. Pilihan memasak atau tidak, bagi perempuan terutama, seharusnya tanpa tekanan sosial gender.
Dalam rumah tangga, memasak semestinya adalah menjadi tanggung jawab bersama. Pembagian tugas seperti memasak, mencuci, dan kebersihan sebaiknya terbagi rata, bukan otomatis jatuh ke satu pihak saja. Memasak harus memiliki jadwal rutin bergilir supaya adil. Mulai dari ayah, ibu dan anak. Segala jenis kelamin perlu kita libatkan secara sadar di dapur, membangun kebiasaan positif untuk generasi selanjutnya.
Etika Kepedulian
Alih-alih menekankan memasak sebagai beban domestik, lihat dapur sebagai ruang kreatif untuk merawat diri dan keluarga, bereksperimen, atau bahkan tempat kolaborasi dan cinta bersama pasangan. Konsep ini mirip dengan etika kepedulian atau kita sebut dengan ethics of care.
Memasak menjadi tindakan yang penuh perhatian, rasa tanggung jawab, dan tujuan berbagi rasa, bukan sekadar kewajiban. Teknologi dapur modern memungkinkan tugas memasak menjadi lebih ringan dan bisa terakses semua gender. Alloh Berfirman :
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal“. Surat Al-Hujurat ayat 13.
Dalam metode Qira’ah Mubadalah, berumah tangga perlu adanya pembagian tugas domestik secara merata, melalui komunikasi dan kesepakatan. Dapur dapat menjadi ruang ekspresi, kreativitas, dan perhatian kolektif, supaya tercipta dukungan struktural. Menghapus stigma gender tentang peran di dapur, supaya anak-anak belajar membangun peran setara sejak dini, terlepas dari jenis kelamin. Memasak sebagai aktivitas ketakwaan menjalankan perintah Allah SWT. []