Mubadalah.id – Menurut Sigmund Freud, kepribadian manusia berdiri di atas tiga pilar: id, ego, dan super ego. Dengan istilah lain adalah unsur hewani, akal, dan moral.
Perilaku manusia menurut Freud merupakan interaksi dari ketiga pilar tersebut, tetapi kesimpulan Freud tentang manusia adalah homo volens, yakni makhluk berkeinginan yang tingkah lakunya dikendalikan oleh dorongan keinginan alam bawah sadarnya.
Kritik terhadap teori Psikoanalisa Freud adalah kesimpulannya tentang manusia menempatkannya pada makhluk yang tidak merdeka karena ia tunduk pada keinginan bawah sadar. Sebuah kesimpulan yang merendahkan martabat manusia.
Dalam pandangan Islam, kepribadian merupakan interaksi dari kualitas-kualitas nafs, qalb, ‘aql, dan bashirah-nya, interaksi antara jiwa, hati, akal, dan hati nuraninya.
Kepribadian seseorang, selain bermodal kapasitas fitrah bawaan sejak lahir dari warisan genetika orang tuanya, ia juga terbentuk melalui proses panjang riwayat hidupnya. Proses intemalisasi nilai pengetahuan dan pengalaman dalam hidupnya.
Dalam perspektif ini, agama yang diterima dari pengetahuan maupun yang dihayati dari pengalaman ruhani masuk ke dalam struktur kepribadian seseorang.
Orang yang menguasai ilmu agama atau ilmu akhlak (sebagai ilmu) tidak otomatis memiliki kepribadian yang tinggi. Karena kepribadian bukan hanya aspek pengetahuan.
Obsesi membentuk manusia (sebagai individu) yang berkepribadian atau yang berkarakter bisa dimiliki oleh orangtua terhadap anaknya, guru terhadap anak didiknya. Atau oleh seseorang yang memiliki perhatian khusus kepada orang-orang dan anak-anak tertentu.
Oleh karena itu, membangun kepribadian bukanlah pekerjaan sederhana. Ia membutuhkan situasi psikologis dan sugesti yang kondusif bagi intemalisasi nilai. Infrastruktur yang harus kita sediakan bagi pembentukan insan yang berkepribadian antara lain:
Pertama, pengetahuan tentang nilai (values). Kedua, lingkungan yang kondusif. Ketiga, adanya tokoh idola, dan keempat, pembiasaan pola tingkah laku.